Friday 27 November 2015

Mengundang Masa Kecil


Lagu Iman Adalah Mutiara/Raihan, 10 tahun yang lalu saya mendengarkannya sambil menatap hujan rintik di balik kaca. Pemandangan yang terhampar adalah jalanan menikung khas Cadas Pangeran. Curam dan rawan kecelakaan. Mobil-mobil di sore itu berjalan penuh kehati-hatian. Plang-plang pemberi peringatan agar mengemudi di bawah kecepatan wajar terpampang di mana-mana. Nati kecil memandang ke luar, ke arah para penjaja dagangan. Bukan makanan atau minuman biasa yang dijaja oleh mereka. Namun sejenis sayuran yang mereka ambil langsung dari tebing-tebing Cadas Pangeran, katanya. Sambil terus mendengar lagu raihan, Abi menceritakan apa sayuran itu kepada saya yang terus bertanya-tanya. Ternyata itu jamur. Tapi bukan sembarang jamur yang biasa saya temukan di samping rumah, yang besarnya sama dengan jempol. Jamur yang mereka jajakan besar sekaliii. Sudah besar, lebar pula. Nampak sangat segar ditambah dengan butiran hujan yang menghiasinya. Wajahku semakin menempel di jendela mobil. Seperti lagu dari Grup Nasyid Raihan yang terus mengiringi perjalanan sore itu.

Jika boleh meminta, saya ingin meminta Grup Raihan kembali bangkit meramaikan jagat musik dunia. Saya juga akan meminta kepada mereka agar membuatkan lagu yang tak kalah hebat pengaruhnya dengan album pertama mereka. Jika boleh meminta, tapi tidak bisa. Itu sama saja menuntut sesuatu untuk kembali pada masa lalu. Itu sama saja saya merengek agar bisa kembali ke masa kecil. 



Masa kecil yang tak menghiraukan permasalahan kehidupan yang semakin pelik. Tak disibukkan dengan penjagaan image yang penuh kepura-puraan. Kembali bermain air di samping masjid. Hujan-hujanan di kebun orang. Pulang-pulang membawa beberapa singkong, entah punya siapa, tapi kuniatkan untuk berbagi denga teman-teman pengajian. Atau menaiki tebing di samping tower pesantren dekat rumah. Tanpa harus memikirkan malu atau takut. Atau bermain sepeda sambil terguling-guling jatuh tidak juga kena jera. Hampir selalu gagal ketika mencoba untuk membelokkan stang, dan tidak bisa mengerem ketika jalan menurun sudah mentok, alhasil saya mengerem secara alami: terjerembab di tembok rumah orang. Tapi saat itu sakit ataupun luka tidak seberapa. Tidak pernah sampai menjadi alasan untuk berhenti. Sakit hati dimusuhi teman-teman pengajian karena melarang mereka berlarian di masjid, juga tak membuatku berhenti melakukannya lagi dan lagi. Atau ketika uring-uringan melerai dua teman yang bermusuhan, saya tak lantas berhenti untuk mengadu domba mereka dalam kebaikan. Menyampaikan salam dari satu sama lain, padahal omong kosong hanya akal-akalan saya saja yang jengah dengan permusuhan. Atau ketika berlama-lama berdiskusi dengan Kakak Santri, yang mesantren di bawah asuhan Abi. Mendiskusikan ayat-ayat. Anak SD yang membuat repot santri-santri dengan pertanyaan tak berujung. Tapi tak pernah bosan walau dilakukan berjam-jam. Meninggalkan teman-teman yang asyik bermain “bebentengan” di luar masjid. Saya duduk betah berdiskusi dengan Kakak Santri yang lama kelamaan dia mencari-cari alasan untuk menghentikan diskusi. Semua terasa mengasyikkan. Seperti tak mengenal lelah, bosan, malu, takut ….


Seharusnya hari ini pun tak jauh beda.
Harusya tetap berani bertindak walau sendiri.
Harusnya tetap ceria walau mendapat tekanan.
Harusnya tetap tersenyum walau disakiti.
Harusnya tetap dalam kebaikan walau di tengah arus.
Harusnya tak kenal putus asa walau terjerembab kegagalan berkali-kali.
Harusnya, bagaimanapun masa kecil kita, segala kebaikannya harus tetap ada di diri yang sekarang. 
Bahkan lebih kompleks dengan segala kekokohannya.


Yang harus diingat, kepribadian kita saat ini tidak pernah lepas dari kepribadian kita di masa kecil. Maka menjadi satu hal yang tidak mustahil, kita dapat mengembalikan kebaikan-kebaikan masa lalu. Bisa! Karena jiwa kita hari ini dengan jiwa kita yang dulu adalah SAMA! Kita miliki bekal untuk kembali mengundang mereka menghiasi kepribadian. Tidak semata romantisme mengenang masa yang sudah berlalu.
Seperti lagu Raihan ini. Tentang harapan hamba yang mengiba agar cinta dan rindunya hanya milik Tuhannya, tidak pada yang lain.

~Tuhan hadiahkanlah kasih Mu kepadaku
~Tuhan kurniakanlah rinduku kepada Mu

~Moga ku tahu

~Syukur ku hanyalah milik Mu

Dulu, saya ikut mendendangkan bait-bait syahdu ini dengan tanpa pemaknaan. Tanpa penghayatan pada kata-katanya. Hari ini, saya kembali dapat menikmatinya, dengan menyimak per kata, mendengar dengan perasaan, kemudian memikirkan kedalaman maknanya.

Ini bukti bahwa kita bisa terbang ke masa lalu, kepada aktivitas-aktivitas yang pernah kita lakukan, namun dengan kepribadian yang lebih matang. Lebih memaknai. Lebih berorientasi pada kebaikan yang terencana.

Bagaimana dengan kepribadian masa lalu? Tentu hal ini menjadi modal bagi ketinggian pribadi kita saat ini. Kau yang dulu sangat ceria, yakinkan dirimu bahwa hari ini pun kau dapat menempuh segala rintangan kehidupan dengan keceriaan optimisme! Jika kau tak juga yakin, maka saya bertanya, apa telah amnesia miliki masa kecil yang ceria? Memang jelas beda hari ini dengan masa kanak-kanak, tapi Tuhan tak pernah curang, Dia selalu memberi kehidupan yang berbanding lurus dengan kesiapan jiwa kita.

Kau yang dulunya Sang Pemberani, beranilah untuk kembali menjadi pemberani! Rasakan letupan impianmu, rasakan pula keinginan yang menghentak untuk mewujudkanya. Sama seperti kau sangat menginginkan sebuah mainan, dengan beraninya merengek pada ibu dan ayahmu. Kau pun berani membela teman-temanmu yang disakiti. Kau Sang Pemberani! Undanglah! Undang kembali keberanianmu dalam bermimpi dan mewujudkannya! Tak pernah ada impian yang terlalu besar, yang ada hanyalah kekerdilan dalam berusaha. 

Impian selamanya akan terasa besar dan berat, jika dilakukan dengan usaha yang tersendat-sendat. Beranilah! Berani mendobrak kemalasan yang menggunung. Berani merubah segala kebiasaan buruk. Berani menghadapi resiko ketika diri telah bulat memutuskan untuk berubah menjadi lebih baik! Beranilah untuk berani, hei Sang Pemberani!

Lihat, betapa banyak yang dapat kita undang untuk kembali meramaikan kepribadian kita hari ini. Jangan berhenti untuk bernostalgia dengan mereka. Jiwa-jiwa kanakmu. Karena mereka selalu ada, dan menantimu untuk memainkannya.



###

Nati Sajidah
Bandung, 25 Oktober 2011.


2 comments :

  1. Karya2 sangat nyentuh, menggugah hati & fikiran, setelah baca buku "Crayon Untuk Pelangi Sabarmu" saya jd tau apa arti kehidupan yg sebenar.a, walau hanya sejengkal. Trima kasih buat ba' Nati yg sudah menjadi motivator bagi kami.
    #FLP Ranting DUBA

    ReplyDelete