Saturday 28 November 2015

Saat Disakiti



Bila ada yang merasa bebas menyakiti kita, kita pun memiliki kebebasan untuk menyikapinya. Apakah mempersilakan hati untuk tersakiti, atau mengacuhkan dan tetap melanjutkan kehidupan. Pilihan ada di tangan kita.

Tapi kita punya hati, yang tak bisa begitu saja disakiti!

Ya! Kita punya hati yang tak boleh disakiti, yang berhak atas kedamaian. Apakah ada kedamaian dalam keterpurukan? Apakah ada kedamaian dalam kedendaman? Apakah ada kedamaian di hati yang tak mau memaafkan?

Ketika hati disakiti oleh orang lain, seringkali kita pun ikut menyakitinya lebih-lebih lagi. Dengan apa? Dengan terus mendendam, dengan terus memeluk lutut di ruang keterpurukan.  Kita tak sadar, dengan begitu sebenarnya kita sedang mengekalkan luka kesedihan berumur lebih panjang.

Maka, ketika ada yang bebas menyakiti, ketika itu pula kita miliki kebebasan menyikapinya dengan sebaik-baik sikap.

Memaafkan bukan berarti mengalah, tetapi memilih kedamaian hati. Tidak semua pembalasan harus keluar dari tangan kita. Tuhan Mahaadil.  Dan pembalasan belum tentu membuat hati tenang. Sekali lagi, memaafkan adalah memilih kedamaian hati untuk terus melanjutkan kehidupan. Tidak mudah? Memang. Itulah kenapa memaafkan menjadi akhlaq agung berbuah penghapusan dosa dari Sang Maha. Kata Tuhan; maafkanlah, apakah kau tak mau dimaafkan? 
Menarik diri untuk menenangkan bukan berarti tak punya sikap, tapi sering kali sikap yang diambil dalam keadaan marah selalu berujung penyesalan dan permasalahan yang bertambah. Tenangkan diri, agar semua jelas. Kita baru bisa menangkap ikan saat airnya tenang dan jernih, kan? Sikap terbaik baru dapat kita tampilkan setelah semuanya tenang. Dalam proses menarik diri itu, kita bisa tersedu sambil terus memohon pertolongan Tuhan. Agar ditunjuki jalan yang bukan dituntun oleh nafsu. Tahukah? Kekuatan itu ada saat kita berbagi resah dengan Tuhan sambil terus berdzikir; Allah.. Allah.. Allah..
Memilih membalas hinaan dengan senyuman bukan berarti lemah, tapi kita memilih untuk tidak menyamakan level dengannya. Ketika hinaan dibalas dengan hinaan, maka akan ada dua orang hina. 
Memilih tuli dan tak mengacuhkan suara sumbang bukan berarti membiarkan diri dihinakan, tapi diri begitu sadar; untuk menjadi orang baik tak perlu kita membuktikan. Buat apa? Tetap melaju. Kita baik untuk diri kita. 

Disakiti atau didzhalimi itu seperti kita dilempari batu. Mengapa tak kumpulkan batu-batu itu untuk kita bangun jadi istana? Suatu hari setelah batu-batu itu telah tersusun menjadi istana yang indah, kita akan berterima kasih kepada mereka.

Biarkan mereka hidup dengan kebencian dan segala sikapnya yang menyakitkan. Di sini kita sibuk berbenah diri dan menabung kebaikan. Karena kita tak mau waktu habis begitu saja oleh rasa sakit dan segala duka nian.

Tidak akan ada rasa sakit hati yang membuat kita mati. Tidak akan ada. Tuhan menguji kita Tuhan pula yang memberi garansi; kita sanggup menghadapinya. 

Kita berhak bahagia, maka kita berkewajiban memilih sikap terbaik atas segala kejadian yang menghampiri. 

Nikmati dan hadapi.
Sikapi dengan sebaik-baik sikap, wahai diri.


###
Natisa




5 comments :

  1. Yup...
    Saya sering mengatakan pada diri saya bahwa saya berhak untuk mendapatkan kedamaian hati tanpa interpensi dr burung yang berjuta warna...,karena disakiti.

    Salam kenal ya mbak
    Saya suka tulisannya..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Salam kenal juga Mbak :)
      Semoga kedamaian hati selalu menjadi pilihan kita :)

      Delete
  2. semoga ketulusan menjadi sarapan hati kita, ....

    ReplyDelete
  3. Bukan kebetulan menemukan tulisan Teh Nati yang satu ini. Terimakasih teh 💚

    ReplyDelete