Tuesday 17 November 2015

Ketika Menjadi Sebab dan Akibat

Di kehidupan ini, kadang kita menjadi sebab bagi hidup orang lain. Di lain waktu, kita menjadi akibat dari tindakan orang lain.

"Bagi manusia sebab-akibat itu membentuk peta dengan ukuran raksasa. Kehidupanmu menyebabkan perubahan garis kehidupan orang lain, kehidupan orang lain mengakibatkan perubahan garis kehidupan orang lainnya lagi, kemudian entah pada siklus yang keberapa, kembali lagi ke garis kehidupanmu. Saling mempengaruhi, saling berinteraksi."
Tere Liye, Rembulan Tenggelam Di Wajahmu

Ketika menjadi sebab bagi orang lain, ada kalanya kita sadar, ada kalanya kita tak menyadarinya sama sekali bahwa saat itu kita sedang menjadi penyebab bagi perubahan kehidupan orang lain. Karena kita manusia yang tak pernah selamanya memegang kendali kesadaran akan setiap laku diri, maka sikap terbaik mengisi rantai sebab-akibat itu adalah selalu mengisi setiap kesempatan dengan kebaikan.

Kita tak pernah tahu kebaikan mana yang akan menyelamatkan diri kita, atau yang berdampak pada kehidupan orang lain, maka berbuat baiklah terus. Seperti sahabat agung, Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu, ternyata yang membuatnya masuk surga adalah suatu ketika ia pernah menyelamatkan seekor burung pipit yang sekarat. Kebaikan mana yang berdampak, kita tak pernah tahu. Yang kita tahu dan bisa lakukan hanyalah terus mengisi kehidupan dengan kebaikan.

Itu ketika kita menjadi sebab.

Kehidupan juga mempergilirkan kita sebagai akibat dari tindakan orang lain.
Parahnya adalah ketika orang tersebut tidak menyadari bahwa tindakannya telah menyebabkan permasalahan berefek domino pada kehidupan kita. Berkepanjangan. Merumit di setiap fasenya. Dan dia melenggang, tak menyadarinya. Apa yang bisa dilakukan jika kita menjadi akibat dari sebab yang orang lain perbuat?

Di saat seperti itu sikap yang paling spontan ingin dilakukan pastilah menyalahkan. Menyalahkan dia yang telah membuat semua kerumitan ini terjadi. Namun apakah selesai dengan menyalahkan? Semua telah terjadi.

Di sinilah kita mainkan sudut pandang. Saat kita menjadi akibat, cobalah untuk memahami kondisi ini dengan mulai berpikir dari sudut pandang penyebab. Bahwa kita, seperti yang kita sepakati sebelumnya, tak pernah selalu menyadari sikap mana yang akan  mengubah hidup diri atau orang lain. Begitu pula ia yang menjadi sebab kerumitan hidup kita. Dia tak menyadari efeknya sebesar ini. Maka tinggalkan ia. Yang ada di hadapan kita tinggal kondisi yang harus disikapi. Dengan atau tanpa dia yang menjadi sebab semua ini, kondisi ini sudah ada dalam ketetapan-Nya yang harus terjadi. Yang bisa kita lakukan? Sikapi dan hadapi. Tinggalkan ia yang menjadi sebab semua ini, karena kita memutuskan untuk menjadi akibat yang baik.

Pada nyatanya, kehidupan ini dipergilirkan Allah tak sesempit sebab-akibat. Ada tindakan-Nya yang di luar spektrum sebab atau akibat. Karena sebab-akibat hanyalah teori yang kita kenal, sedangkan ketetapan Allah lebih luas daripada itu. Seperti kita sering bertanya-tanya, mengapa Dia seakan mudahkan jalan bagi keburukan? Mengapa seakan pelik untuk mewujudkan kebaikan? Dimana keadilan Tuhan? Justru di situlah keadilan Tuhan. Berjuta bentuknya. Tak sesempit dugaan atau definisi kita tentang makna adil itu sendiri. Bahkan jika kehidupan ini dihabiskan hanya untuk mengurai makna adilnya Tuhan pun takkan cukup waktu. 

Satu-satunya sikap terbaik menghadapi berjuta bentuk keadilan Tuhan adalah bersangka baik. Karena sering kali ketidaktahuan kita terhadap satu hal adalah bentuk kasih sayang dan perlindungan-Nya dari tahu itu sendiri. Bersangka baik bahwa segala yang berasal dari-Nya pastilah baik akan membawa kita pada penerimaan. Hanya hati yang ridha atau nerimo yang dapat menggerakkan seluruh indra untuk memberikan sikap terbaik. 

Untuk menghadapi setiap kerumitan yang ada, kita bisa memulainya dengan bersangka baik. Lalu hadapi, dan nikmati! 

Sering kali pertanyaan-pertanyaan kehidupan
tak bertemu dengan jawaban,
namun berupa perjalanan yang harus ditempuh,
tanpa diberi tahu akan seberapa jauh,
atau berapa peluh yang akan jatuh,
kita tak pernah tahu,
kecuali dengan terus menempuh perjalanan itu.
Natisa, Crayon Untuk Pelangi Sabarmu, hlm: 78




###
Natisa,
Bandung, 17 November 2015

No comments :

Post a Comment