Saturday 28 November 2015

Saat Disakiti



Bila ada yang merasa bebas menyakiti kita, kita pun memiliki kebebasan untuk menyikapinya. Apakah mempersilakan hati untuk tersakiti, atau mengacuhkan dan tetap melanjutkan kehidupan. Pilihan ada di tangan kita.

Tapi kita punya hati, yang tak bisa begitu saja disakiti!

Ya! Kita punya hati yang tak boleh disakiti, yang berhak atas kedamaian. Apakah ada kedamaian dalam keterpurukan? Apakah ada kedamaian dalam kedendaman? Apakah ada kedamaian di hati yang tak mau memaafkan?

Ketika hati disakiti oleh orang lain, seringkali kita pun ikut menyakitinya lebih-lebih lagi. Dengan apa? Dengan terus mendendam, dengan terus memeluk lutut di ruang keterpurukan.  Kita tak sadar, dengan begitu sebenarnya kita sedang mengekalkan luka kesedihan berumur lebih panjang.

Maka, ketika ada yang bebas menyakiti, ketika itu pula kita miliki kebebasan menyikapinya dengan sebaik-baik sikap.

Memaafkan bukan berarti mengalah, tetapi memilih kedamaian hati. Tidak semua pembalasan harus keluar dari tangan kita. Tuhan Mahaadil.  Dan pembalasan belum tentu membuat hati tenang. Sekali lagi, memaafkan adalah memilih kedamaian hati untuk terus melanjutkan kehidupan. Tidak mudah? Memang. Itulah kenapa memaafkan menjadi akhlaq agung berbuah penghapusan dosa dari Sang Maha. Kata Tuhan; maafkanlah, apakah kau tak mau dimaafkan? 
Menarik diri untuk menenangkan bukan berarti tak punya sikap, tapi sering kali sikap yang diambil dalam keadaan marah selalu berujung penyesalan dan permasalahan yang bertambah. Tenangkan diri, agar semua jelas. Kita baru bisa menangkap ikan saat airnya tenang dan jernih, kan? Sikap terbaik baru dapat kita tampilkan setelah semuanya tenang. Dalam proses menarik diri itu, kita bisa tersedu sambil terus memohon pertolongan Tuhan. Agar ditunjuki jalan yang bukan dituntun oleh nafsu. Tahukah? Kekuatan itu ada saat kita berbagi resah dengan Tuhan sambil terus berdzikir; Allah.. Allah.. Allah..
Memilih membalas hinaan dengan senyuman bukan berarti lemah, tapi kita memilih untuk tidak menyamakan level dengannya. Ketika hinaan dibalas dengan hinaan, maka akan ada dua orang hina. 
Memilih tuli dan tak mengacuhkan suara sumbang bukan berarti membiarkan diri dihinakan, tapi diri begitu sadar; untuk menjadi orang baik tak perlu kita membuktikan. Buat apa? Tetap melaju. Kita baik untuk diri kita. 

Disakiti atau didzhalimi itu seperti kita dilempari batu. Mengapa tak kumpulkan batu-batu itu untuk kita bangun jadi istana? Suatu hari setelah batu-batu itu telah tersusun menjadi istana yang indah, kita akan berterima kasih kepada mereka.

Biarkan mereka hidup dengan kebencian dan segala sikapnya yang menyakitkan. Di sini kita sibuk berbenah diri dan menabung kebaikan. Karena kita tak mau waktu habis begitu saja oleh rasa sakit dan segala duka nian.

Tidak akan ada rasa sakit hati yang membuat kita mati. Tidak akan ada. Tuhan menguji kita Tuhan pula yang memberi garansi; kita sanggup menghadapinya. 

Kita berhak bahagia, maka kita berkewajiban memilih sikap terbaik atas segala kejadian yang menghampiri. 

Nikmati dan hadapi.
Sikapi dengan sebaik-baik sikap, wahai diri.


###
Natisa






Friday 27 November 2015

Mengundang Masa Kecil


Lagu Iman Adalah Mutiara/Raihan, 10 tahun yang lalu saya mendengarkannya sambil menatap hujan rintik di balik kaca. Pemandangan yang terhampar adalah jalanan menikung khas Cadas Pangeran. Curam dan rawan kecelakaan. Mobil-mobil di sore itu berjalan penuh kehati-hatian. Plang-plang pemberi peringatan agar mengemudi di bawah kecepatan wajar terpampang di mana-mana. Nati kecil memandang ke luar, ke arah para penjaja dagangan. Bukan makanan atau minuman biasa yang dijaja oleh mereka. Namun sejenis sayuran yang mereka ambil langsung dari tebing-tebing Cadas Pangeran, katanya. Sambil terus mendengar lagu raihan, Abi menceritakan apa sayuran itu kepada saya yang terus bertanya-tanya. Ternyata itu jamur. Tapi bukan sembarang jamur yang biasa saya temukan di samping rumah, yang besarnya sama dengan jempol. Jamur yang mereka jajakan besar sekaliii. Sudah besar, lebar pula. Nampak sangat segar ditambah dengan butiran hujan yang menghiasinya. Wajahku semakin menempel di jendela mobil. Seperti lagu dari Grup Nasyid Raihan yang terus mengiringi perjalanan sore itu.

Jika boleh meminta, saya ingin meminta Grup Raihan kembali bangkit meramaikan jagat musik dunia. Saya juga akan meminta kepada mereka agar membuatkan lagu yang tak kalah hebat pengaruhnya dengan album pertama mereka. Jika boleh meminta, tapi tidak bisa. Itu sama saja menuntut sesuatu untuk kembali pada masa lalu. Itu sama saja saya merengek agar bisa kembali ke masa kecil. 



Masa kecil yang tak menghiraukan permasalahan kehidupan yang semakin pelik. Tak disibukkan dengan penjagaan image yang penuh kepura-puraan. Kembali bermain air di samping masjid. Hujan-hujanan di kebun orang. Pulang-pulang membawa beberapa singkong, entah punya siapa, tapi kuniatkan untuk berbagi denga teman-teman pengajian. Atau menaiki tebing di samping tower pesantren dekat rumah. Tanpa harus memikirkan malu atau takut. Atau bermain sepeda sambil terguling-guling jatuh tidak juga kena jera. Hampir selalu gagal ketika mencoba untuk membelokkan stang, dan tidak bisa mengerem ketika jalan menurun sudah mentok, alhasil saya mengerem secara alami: terjerembab di tembok rumah orang. Tapi saat itu sakit ataupun luka tidak seberapa. Tidak pernah sampai menjadi alasan untuk berhenti. Sakit hati dimusuhi teman-teman pengajian karena melarang mereka berlarian di masjid, juga tak membuatku berhenti melakukannya lagi dan lagi. Atau ketika uring-uringan melerai dua teman yang bermusuhan, saya tak lantas berhenti untuk mengadu domba mereka dalam kebaikan. Menyampaikan salam dari satu sama lain, padahal omong kosong hanya akal-akalan saya saja yang jengah dengan permusuhan. Atau ketika berlama-lama berdiskusi dengan Kakak Santri, yang mesantren di bawah asuhan Abi. Mendiskusikan ayat-ayat. Anak SD yang membuat repot santri-santri dengan pertanyaan tak berujung. Tapi tak pernah bosan walau dilakukan berjam-jam. Meninggalkan teman-teman yang asyik bermain “bebentengan” di luar masjid. Saya duduk betah berdiskusi dengan Kakak Santri yang lama kelamaan dia mencari-cari alasan untuk menghentikan diskusi. Semua terasa mengasyikkan. Seperti tak mengenal lelah, bosan, malu, takut ….


Seharusnya hari ini pun tak jauh beda.
Harusya tetap berani bertindak walau sendiri.
Harusnya tetap ceria walau mendapat tekanan.
Harusnya tetap tersenyum walau disakiti.
Harusnya tetap dalam kebaikan walau di tengah arus.
Harusnya tak kenal putus asa walau terjerembab kegagalan berkali-kali.
Harusnya, bagaimanapun masa kecil kita, segala kebaikannya harus tetap ada di diri yang sekarang. 
Bahkan lebih kompleks dengan segala kekokohannya.


Yang harus diingat, kepribadian kita saat ini tidak pernah lepas dari kepribadian kita di masa kecil. Maka menjadi satu hal yang tidak mustahil, kita dapat mengembalikan kebaikan-kebaikan masa lalu. Bisa! Karena jiwa kita hari ini dengan jiwa kita yang dulu adalah SAMA! Kita miliki bekal untuk kembali mengundang mereka menghiasi kepribadian. Tidak semata romantisme mengenang masa yang sudah berlalu.
Seperti lagu Raihan ini. Tentang harapan hamba yang mengiba agar cinta dan rindunya hanya milik Tuhannya, tidak pada yang lain.

~Tuhan hadiahkanlah kasih Mu kepadaku
~Tuhan kurniakanlah rinduku kepada Mu

~Moga ku tahu

~Syukur ku hanyalah milik Mu

Dulu, saya ikut mendendangkan bait-bait syahdu ini dengan tanpa pemaknaan. Tanpa penghayatan pada kata-katanya. Hari ini, saya kembali dapat menikmatinya, dengan menyimak per kata, mendengar dengan perasaan, kemudian memikirkan kedalaman maknanya.

Ini bukti bahwa kita bisa terbang ke masa lalu, kepada aktivitas-aktivitas yang pernah kita lakukan, namun dengan kepribadian yang lebih matang. Lebih memaknai. Lebih berorientasi pada kebaikan yang terencana.

Bagaimana dengan kepribadian masa lalu? Tentu hal ini menjadi modal bagi ketinggian pribadi kita saat ini. Kau yang dulu sangat ceria, yakinkan dirimu bahwa hari ini pun kau dapat menempuh segala rintangan kehidupan dengan keceriaan optimisme! Jika kau tak juga yakin, maka saya bertanya, apa telah amnesia miliki masa kecil yang ceria? Memang jelas beda hari ini dengan masa kanak-kanak, tapi Tuhan tak pernah curang, Dia selalu memberi kehidupan yang berbanding lurus dengan kesiapan jiwa kita.

Kau yang dulunya Sang Pemberani, beranilah untuk kembali menjadi pemberani! Rasakan letupan impianmu, rasakan pula keinginan yang menghentak untuk mewujudkanya. Sama seperti kau sangat menginginkan sebuah mainan, dengan beraninya merengek pada ibu dan ayahmu. Kau pun berani membela teman-temanmu yang disakiti. Kau Sang Pemberani! Undanglah! Undang kembali keberanianmu dalam bermimpi dan mewujudkannya! Tak pernah ada impian yang terlalu besar, yang ada hanyalah kekerdilan dalam berusaha. 

Impian selamanya akan terasa besar dan berat, jika dilakukan dengan usaha yang tersendat-sendat. Beranilah! Berani mendobrak kemalasan yang menggunung. Berani merubah segala kebiasaan buruk. Berani menghadapi resiko ketika diri telah bulat memutuskan untuk berubah menjadi lebih baik! Beranilah untuk berani, hei Sang Pemberani!

Lihat, betapa banyak yang dapat kita undang untuk kembali meramaikan kepribadian kita hari ini. Jangan berhenti untuk bernostalgia dengan mereka. Jiwa-jiwa kanakmu. Karena mereka selalu ada, dan menantimu untuk memainkannya.



###

Nati Sajidah
Bandung, 25 Oktober 2011.




Tuesday 17 November 2015

Ketika Menjadi Sebab dan Akibat

Di kehidupan ini, kadang kita menjadi sebab bagi hidup orang lain. Di lain waktu, kita menjadi akibat dari tindakan orang lain.

"Bagi manusia sebab-akibat itu membentuk peta dengan ukuran raksasa. Kehidupanmu menyebabkan perubahan garis kehidupan orang lain, kehidupan orang lain mengakibatkan perubahan garis kehidupan orang lainnya lagi, kemudian entah pada siklus yang keberapa, kembali lagi ke garis kehidupanmu. Saling mempengaruhi, saling berinteraksi."
Tere Liye, Rembulan Tenggelam Di Wajahmu

Ketika menjadi sebab bagi orang lain, ada kalanya kita sadar, ada kalanya kita tak menyadarinya sama sekali bahwa saat itu kita sedang menjadi penyebab bagi perubahan kehidupan orang lain. Karena kita manusia yang tak pernah selamanya memegang kendali kesadaran akan setiap laku diri, maka sikap terbaik mengisi rantai sebab-akibat itu adalah selalu mengisi setiap kesempatan dengan kebaikan.

Kita tak pernah tahu kebaikan mana yang akan menyelamatkan diri kita, atau yang berdampak pada kehidupan orang lain, maka berbuat baiklah terus. Seperti sahabat agung, Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu, ternyata yang membuatnya masuk surga adalah suatu ketika ia pernah menyelamatkan seekor burung pipit yang sekarat. Kebaikan mana yang berdampak, kita tak pernah tahu. Yang kita tahu dan bisa lakukan hanyalah terus mengisi kehidupan dengan kebaikan.

Itu ketika kita menjadi sebab.

Kehidupan juga mempergilirkan kita sebagai akibat dari tindakan orang lain.
Parahnya adalah ketika orang tersebut tidak menyadari bahwa tindakannya telah menyebabkan permasalahan berefek domino pada kehidupan kita. Berkepanjangan. Merumit di setiap fasenya. Dan dia melenggang, tak menyadarinya. Apa yang bisa dilakukan jika kita menjadi akibat dari sebab yang orang lain perbuat?

Di saat seperti itu sikap yang paling spontan ingin dilakukan pastilah menyalahkan. Menyalahkan dia yang telah membuat semua kerumitan ini terjadi. Namun apakah selesai dengan menyalahkan? Semua telah terjadi.

Di sinilah kita mainkan sudut pandang. Saat kita menjadi akibat, cobalah untuk memahami kondisi ini dengan mulai berpikir dari sudut pandang penyebab. Bahwa kita, seperti yang kita sepakati sebelumnya, tak pernah selalu menyadari sikap mana yang akan  mengubah hidup diri atau orang lain. Begitu pula ia yang menjadi sebab kerumitan hidup kita. Dia tak menyadari efeknya sebesar ini. Maka tinggalkan ia. Yang ada di hadapan kita tinggal kondisi yang harus disikapi. Dengan atau tanpa dia yang menjadi sebab semua ini, kondisi ini sudah ada dalam ketetapan-Nya yang harus terjadi. Yang bisa kita lakukan? Sikapi dan hadapi. Tinggalkan ia yang menjadi sebab semua ini, karena kita memutuskan untuk menjadi akibat yang baik.

Pada nyatanya, kehidupan ini dipergilirkan Allah tak sesempit sebab-akibat. Ada tindakan-Nya yang di luar spektrum sebab atau akibat. Karena sebab-akibat hanyalah teori yang kita kenal, sedangkan ketetapan Allah lebih luas daripada itu. Seperti kita sering bertanya-tanya, mengapa Dia seakan mudahkan jalan bagi keburukan? Mengapa seakan pelik untuk mewujudkan kebaikan? Dimana keadilan Tuhan? Justru di situlah keadilan Tuhan. Berjuta bentuknya. Tak sesempit dugaan atau definisi kita tentang makna adil itu sendiri. Bahkan jika kehidupan ini dihabiskan hanya untuk mengurai makna adilnya Tuhan pun takkan cukup waktu. 

Satu-satunya sikap terbaik menghadapi berjuta bentuk keadilan Tuhan adalah bersangka baik. Karena sering kali ketidaktahuan kita terhadap satu hal adalah bentuk kasih sayang dan perlindungan-Nya dari tahu itu sendiri. Bersangka baik bahwa segala yang berasal dari-Nya pastilah baik akan membawa kita pada penerimaan. Hanya hati yang ridha atau nerimo yang dapat menggerakkan seluruh indra untuk memberikan sikap terbaik. 

Untuk menghadapi setiap kerumitan yang ada, kita bisa memulainya dengan bersangka baik. Lalu hadapi, dan nikmati! 

Sering kali pertanyaan-pertanyaan kehidupan
tak bertemu dengan jawaban,
namun berupa perjalanan yang harus ditempuh,
tanpa diberi tahu akan seberapa jauh,
atau berapa peluh yang akan jatuh,
kita tak pernah tahu,
kecuali dengan terus menempuh perjalanan itu.
Natisa, Crayon Untuk Pelangi Sabarmu, hlm: 78




###
Natisa,
Bandung, 17 November 2015


Wednesday 11 November 2015

Bedah Buku di MAN Cipasung


Bertepatan dengan Hari Pahlawan Nasional, saya bedah buku di lingkungan pesantren yang didirikan seorang Kiai yang juga pahlawan penggerak, Abah Ruhiat. Seakan semangat tinggi beliau ikut hadir di hari itu, 300an peserta memenuhi Aula PSBB MAN Cipasung. Antrian registrasi sampai mengular. 




Di balik panggung saya gugup bukan main. Apa yang akan saya sampaikan di hadapan mereka yang luar biasa? Dan selalu, kalimat pamungkas untuk memulai sesuaitu itu berbunyi; bismillah. Sekadar hadir untuk ngalap barokah di tempat mulia ini. Hidup ini untuk mengumpulkan kebaikan diri, maka berikan yang terbaik dari yang kita bisa. Apakah kemudian nantinya jadi bermanfaat untuk orang lain, itu kehendak Allah. Tugas kita hanya: BERKEBAIKAN buat diri sendiri. *mantra itu yang akhirnya aku tancapkan. Bismillah, ini kesempatan untuk ngaji diri.


Alhasil tema itu pula yang dibahas di hadapan adik-adik ceria dan semangat itu. Jadilah EGOIS, melakukan kebaikan ini itu untuk mengumpulkan pundi kebaikan. Alhamdulillah, liar-luar biasa! Menangkap "aha-moment" di mata mereka. Buku CUPS ludes tak bersisa. 

Terima kasih tak terhingga kepada Ibu Kepsek MAN Cipasung, Ibu Hj. Ida Nurhalida yang telah memberikan kesempatan belajar kepada saya. Terima kasih Bu atas nasehat Ibu ini, "Tulis apa yang kamu kerjakan, dan KERJAKAN apa yang kamu tulis." *netes...
Ibu Hj. Ida Nurhalida memberikan sambutan dan nasehat jlebb. Such a present for me..
Terima kasih kepada tim pelaksana dari Ex-cool Broadcast BROWNIS MAN Cipasung yang dipimpin oleh Pak Edo. Terima kasih kepada kawan-kawan dari Bandung yang turut hadir. Terima kasih MC keceee, Fauzi Noerwenda.
Tim Broadcast BRONIS MAN Cipasung
Keseruan acara berlanjut setelah ditutup. Adik-adik menyerbu saya dengan buku tulis dan buku CUPS yang mereka beli. Semoga bisa menjadi jejak untuk kita saling mengingatkan kebaikan. Terima kasih, Bulan Utuh!







Terima kasih semuanya. Kalian liar-luar biasa! MasyaAllah 😙


###
Natisa
November, 2015





Sunday 8 November 2015

Jawaban yang Kau Inginkan

Di hidup ini ada banyak yang tidak dimengerti olehmu. Pertanyaan-pertanyaan kehidupan pribadimu yang kau ingin dapatkan penjelasannya. Keheranan kepada kehidupan orang lain, yang ingin sekali kau temui jawabannya. Banyak sekali. Banyak sekali penjelasan yang ingin kau dapatkan. Sayangnya, tak semua penjelasan yang kamu inginkan itu dapat diperoleh. Sebagian penjelasan yang kau inginkan, kau mendapatkannya, tapi tak memuaskan. Sebagiannya lagi hanya menjadi tanda tanya yang mengambang di udara.

Pernahkah menjadi seorang yang menjelaskan, tapi orang tak puas dengan penjelasanmu?
Pernahkah menjadi seorang yang mendapat penjelasan, tapi kau tak puas dengan penjelasannya?
Pernahkah menjadi seorang yang berharap dijelaskan karena tanda tanyamu besar terhadapnya, tapi dia hanya diam dan tak menjawab?
Pernahkah menjadi seorang yang yakin betul dengan sebuah keyakinan, tapi orang lain tak dapat menerima keyakinanmu?
Pernahkah?

Maka kau akan dapati, bahwa tak setiap penjelasan dapat tersampaikan dengan baik. Tak setiap penjelasan dapat terungkap dengan lisan. Ada orang-orang yang memilih diam, untuk menghindari kesalahpahaman. Ada orang-orang yang memilih menyilakan orang lain bersangka buruk kepadanya, bukan karena benar apa yang disangkakan, melainkan memilih bahasa pendamai; diam. 

Tak selamanya kau memperoleh penjelasan yang kau inginkan, 
Tak selamanya kau memperoleh kepuasan terhadap penjelasan yang ada,
Tak selamanya kau dapat menjelaskan lalu diterima,
Tak selamanya penjelasan yang kau terima dapat memuaskan,
Karena itulah BERSANGKA BAIK diajarkan.

Bersangka baik terhadap pertanyaan-pertanyaan kehidupan yang tak bertemu dengan jawaban. Bahwa semua itu bukan untuk ditanyakan, melainkan untuk dihadapi dan dijalani.

Bersangka baik terhadap penjelasan yang kau tak puas dengannya. Mungkin karena terlalu minim pengetahuan kita, sehingga bahasa dan penjelasannya tak dapat kita terima. Kita hanya perlu sedikit membesarkan ukuran topi, bukan malah memperkecil ukuran kepala. 

Bersangka baik terhadap mereka yang tak mampu menjelaskan. Setelah rentetan pertanyaan keherananmu kau lontarkan, tapi dia tetap memilih diam. Mungkin dia memiliki segudang jawabannya, namun begitu pelik untuk disampaikan. Sehingga dia tak menemukan bahasa untuk mengungkapkannya. Bersangka baiklah padanya, dan doakan ia. Semoga Tuhan memudahkan urusannya. Karena seringkali pertanyaan-pertanyaan hanya akan membuat dia semakin tersudut, bukan malah membantu. Berhentilah memuaskan dirimu sendiri dengan terus meneror dirinya dengan pertanyaan. Percayalah, dengan berhenti bertanya kau telah menolongnya. 


Bersangka baiklah. Karena kita takkan selalu menemukan jawaban. Karena kita takkan selalu terpuaskan oleh jawaban. Bersangka baik; melampaui semua bahasa dan bunyi jawaban. Saat kau bersangka baik, saat itu pula kau telah memutuskan untuk ketentraman hati.  


***
Natisa

Bandung, 8 November 2015


Wednesday 4 November 2015

Di Balik Cover Buku ‪

Barusan ada sahabat kirim BBM. Dia baru saja menyelesaikan membaca Crayon dan berkata, "Sempurna, Nati, bukunya! Typography, ilustrasi, layout, konsep dan isinya... sempurna!"
Tentu saja sahabatku ini berlebihan, buatan manusia tidak ada yang sempurna, bukan? 
😊
 Segala puji hanya milik dan ditujukan kepada Allah Swt.

Lalu ada sahabat lain yang mengirimkan pesan di inbox. "Nati, aku suka cover bukumu! Itu siapa yang bikin?"
Pertanyaannya membuat aku menarik mundur mengingat saat-saat pembuatan cover. Aku bersama kawanku yang ahli desain, Suhaeli Hamdhawi, selama sebulan otak-atik cover. Selama sebulan itu pula hampir 10 cover jadi, tapi tak juga cocok. Sampai-sampai ada kawanku yang selalu menyapa di BBM tiap kali aku ganti DP cover Crayon, "Ganti lagi covernya?" 
😵😂
Akhirnya jalan keluar itu datang melalui nasihat guru kami. Dibuatlah cover Crayon yang kini sudah jadi. Filosofinya begitu dalam. Warna putih yang dijadikan latar adalah lambang kesucian hati yang selalu berusaha untuk bersabar. Warna apapun akan indah di atas latar putih. Begitu pula kehidupan. Sedahsyat apapun ujian, akan terasa indah jika memiliki hati yang sabar. Kita hadirkan warna putih, agar warna-warna kehidupan timbul dengan keindahannya. 
Tulisan 'CRAYON' yang tersusun oleh crayon warna-warni serta arahnya yang tidak sama adalah simbol dari banyak sekali dalam kehidupan ini yang dapat kita lakukan untuk meneguhkan kesabaran. Dalam hal ini, isi Buku Crayon terdiri dari variasi judul adalah CRAYON itu sendiri, yang hadir untuk meneguhkan hati. Buku ini memuat banyak 'crayon'; tentang bagaimana menerima ketetapan Tuhan, bagaimana mengisi jeda antara doa dan yang diharapkan, bagaimana mengusahakan agar hati ridha, tentang bagaimana berpasrah, bagaimana meneguhkan kesabaran agar tak hanya dapat bersabar tapi juga mendapat kebahagiaan. Sebelum naskah ini diterima dengan hangat oleh Quanta Emk, naskah ini sempat ditolak oleh salah satu penerbit yang sedang bertumbuh. Katanya, isinya terlalu variatif. Satu sama lain judulnya seperti tidak saling berkaitan, tidak satu arah. Penerbit ini memintaku merombak ulang sesuai dengan keinginannya. Aku tak mau. Karena justru di sinilah warna-warninya. Ujian manusia beragam. Ketika manusia diuji dengan ujian berat, itulah yang dapat menjadi washilah seseorang mendapat warna yang indah bagi hidupnya. Semua itu tergambarkan dalam tulisan capital CRAYON, tersusun oleh batang-batang crayon yang warna-warni. 


Guru kami pernah berkata, "Ketika kita melakukan kesalahan atau disalahsangkai, maka bersyukurlah. Itu tandanya kita manusia; bukan malaikat yang selalu benar, bukan juga iblis yang selalu salah. Kita manusia."
Ini yang kami tuangkan dalam bentuk coretan pelangi di pojok kanan atas cover. Seperti sebuah coretan kesalahan, tapi justru menjadi indah, karena dimaknai sebagai kemanusiaan yang dapat mengusahakan hati agar selalu sabar dan syukur. Putih.
Sempat editorku, Luky, mengusulkan perubahan cover karena beberapa alasan. Sekali lagi, aku tak mau. Karena ini bukan semata judul, tapi ada pesan yang ingin disampaikan, ada cerita di baliknya. Jika tanpa pengertian Mbak Linda Razad dan Luky buku ini mungkin takkan lahir. Karena kengototan penulisnya 🙈.
Kini Crayon Untuk Pelangi Sabarmu sudah dapat diperoleh di seluruh Toko Buku Gramedia. Beberapa sudah sampai di tangan pembaca. Doa terdalamku, semoga memperoleh kebaikan di dalamnya, semoga berkah, semoga Allah Swt ridha.
Aamiin ya Allah...
###
Natisa