Tuesday 19 January 2016

TAKUT


Tentang kebimbangan yang terus hilir mudik di hati. Tentang kekhawatiran yang melambung tinggi, pelik dikendali. Ketakutan yang berlebih. Kesedihan yang luar biasa mencabik. Termegap mencari pertolongan. Ketenangan. Kedamaian. Dan Tuhan. 

Kau tahu tentang ketakutan? Ialah yang tak ingin kau hadapi, tak ingin kau saksikan, bahkan tak ingin kau mendengarkannya.. Kau takut. Kau takluk.

Sering kali kau pun tak mengakui bahwa kau takut. Kau memaksa diri untuk berpura-pura berani. Menghadapinya, tapi ketakutan masih saja menjadi raja. Maka yang terjadi adalah sikap yang setengah-setangah. Tak totalitas dalam bersikap. Mundur lagi, dan lagi.
Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang diinginkan ketakutan ini? 
Apakah ketakutan ini hanya minta diakui?
Bahwa kita memang takut. Kita miliki hal-hal yang tak kuasa kita hadapi, kita lakoni. Benar-benar mengakui ketidakmampuan diri pada yang ditakuti. Dan bertekuk lutut di hadapan yang Maha Meliputi.

Pada apa-apa yang kau takuti, apakah kau menangkap maksud Tuhan? Benarkah Ia memaksa kau taklukan semuanya? Bukankah Dia tak pernah memberikan ujian di luar batas kemampuan? Lalu apa maksud Tuhan ketika kita dihadapkan pada hal-hal yang ditakuti?

Pengakuan.
Ketakutan ini menuntut kita mengakui. Ialah diri kita memang lemah. Itulah mengapa diperintah berserah.
KepadaNya, kita akui tentang keterbatasan diri. Tentang menggigilnya jiwa di hadapan yang ditakuti.
Tentang termegapnya diri mencari pertolongan. Mengakui kemampuan diri yang terbatas, 
Menyerah di hadapan kemahakuasaanNya.. Biarkan diri melaksanakan apa yang dibisa, sisanya diserahkan kepadaNya..

Kaulah Sandaran Hati*

Segala carut marut kebimbangan itu membuat bertanya-tanya, dimanakah kita kini? Hingga merasa tiada? Yakinkah ku berdiri/ Di hampa tanpa tepi/ 
Kehampaan yang tiada habisnya. Kenapa hampa? Tiadakah pengisinya? Atau kita tiadakan?

Berharap, bisikan bimbinganMu terdengar amat jelas. Namun nyatanya riuh oleh selimpah kekhawatiran...Bolehkah aku/ MendengarMu/ .. agar terang bagaimana meredam cemas, takut, dan harap yang saling bersahut ini. 
Karena diri Terkubur dalam emosi/ Tak bisa bersembunyi/ dariMu.. Maka, Tuhan, sungguh aku dan nafasku/ MerindukanMu..
Bolehkan diri mendengarMu dengan lebih dekat lagi? Karena terpuruk ku di sini/ terangi ia ya sepi/ yang bising oleh kecemasan hati.. dan ku tahu pasti/ Kau menemani/ Dalam hidupku/ Kesendirianku...

Teringat ku teringat/ Pada janjimu ku terikat.. Bahwa aku hambaMu, duhai Tuhan. Ku langitkan semua kegalauan diri kepada kuasaMu yang tak bertepi. Kita hamba dari Tuhan yang Maha Penyayang. Mengapa masih saja menakutkan kejadian-kejadian yang melukai diri? Kita hamba dari Tuhan yang Maha Ada, mengapa masih saja takut ditinggal seorang diri?

Di sepertiga gulita yang Kau ciptakan, hanya sekejap ku berdiri/ Kulakukan sepenuh hati/ menghadapMu, meluahkan kecemasan ini hingga terkuliti. Peduli ku peduli/ Siang dan malam yang berganti/  yang dicari ialah suaraMu. Memohon penguatan. Memohon ketenangan. Memohon penjaminan. Kepada-Mu Sedihku ini tak ada arti/ Jika Kaulah sandatan hati/ Kaulah sandaran hati/ Sandaran hati...

Duhai Tuhan. Bukankah semua ini milik-Mu? Semua ini dari-Mu? Dan diri, hanya diminta untuk menghadapi, begitu kan? Jika lantas setelah menghadapi, ada sesuatau yang hilang, bukankah itu hak-Mu? Jika lantas setelah menghadapi, ada sesuatu yang berubah, bukankah itu pun hak-Mu? Bagian kita? Hanya menjalaninya saja, kan? Dan Kau menjamin, tiada yang datang dari-Mu kecuali itu taqdir terbaik. Mengapa diri masih takut? Apa yang ditakuti? Kau hanya minta diri menjalani, menyikapi, dengan sebaik-baik sikap.

Inikah yang Kau mau/ Benarkah ini jalanMu/ Hanyalah Engkau yang ku tuju/ Pegang erat tanganku/ Bimbing langkah kakiku/ Aku hilang arah/ Tanpa hadirMu/ Dalam gelapnya/ Malam hariku...

Teringat ku teringat/ Pada janjimu ku terikat/ Hanya sekejap ku berdiri/ Kulakukan sepenuh hati/ Peduli ku peduli/ Siang dan malam yang berganti/ Sedihku ini tak ada arti/ Jika Kaulah sandatan hati/ Kaulah sandaran hati/ Sandaran hati..


###
Natisa
Bandung, 19 Januari 2016


Ket:
*yang bertulis italic adalah lirik lagu Sandaran Hati - Letto



Monday 4 January 2016

Memaafkan Tak Berarti Begitu


Memaafkan itu..
Bukan tentang diri mengalah.

Karena nyatanya saat kita memutuskan untuk memaafkan saat itu pula kedamaian hati menang. Memaafkan adalah tentang memilih kedamaian hati. 
Tidak memaafkan itu sama saja seperti membawa beban batu bertumpuk-tumpuk yang dibawa setiap harinya. 

Sering kali enggan memaafkan karena ingin menghukum si pesalah. Begitu? Nyatanya, saat kita tidak memaafkan saat itu pula kita menghukum diri. Membawa-bawa kenangan disakiti. Apa itu tak masuk dalam kategori menyiksa diri?

Sekali lagi, memaafkan bukan berarti kita kalah dia menang. Bukan. Ini tentang pilihan ingin hati tenang. Tak ada urusan sama sekali dengan si pesalah. 

Pihak pertama yang paling diuntungkan saat kita memaafkan adalah diri kita sendiri. Bukan orang lain. Kita memaafkan karena kita berhak bahagia dan miliki hati yang damai. Urusan ingin balas dendam agar si pesalah tahu rasanya disakiti, biarlah itu tidak jadi urusan kita. 

Hidup ini terlalu singkat untuk diisi hati penuh dendam. Apakah ada ketenangan di hati penuh kedendaman?


Memaafkan adalah menyediakan ruang di hati untuk ketersakitan yang pernah dialami. Terima ia. Mau ditolak bagaimana pun toh sudah terjadi. Terima, jadikan ia sebagai salah satu episode kehidupan. 

Memaafkan memang tak sepaket dengan melupakan. Memaafkan memang tak berhenti hanya di mulut, ada hati yang merana mengingat-ingat ketersakitan. Itulah kenapa dalam al-Quran tak ada perintah meminta maaf, adanya perintah memaafkan. Karena memaafkan bukan hal yang mudah. Perlu kelapangan hati, keikhlasan menerima, dan tetap berlaku baik. 

Coba katakan pada diri, bismillah aku memaafkannya. Memaafkannya karena aku ingin kedamaian hati. Lalu datangi ia, berikan senyuman terbaik, ulurkan tangan bantu kesusahannya. Dan rasakan ada perasaan yang mewah di hati. Indah. Megah. 

Memaafkan memang hal yang sulit, tapi tak berarti tak bisa dilakukan. Sertakan dalam doa kita, memohon hati yang lapang yang dapat memaafkan. Kita tak dapat memaafkan, kecuali atas pertolongan Allah. Tinggal kitanya mau minta tolong atau tidak kepada Allah, atau memilih tetap tak memaafkan dan menyiksa diri. 

###
Natisa
Bandung, 4 Januari 2015