Monday 5 November 2018

Menukar Amalan dengan Kehendak Tuhan


Aku pernah seperjalanan antar kota, dengan seorang kawan yang belasan tahun baru berjumpa lagi. Pertanyaan yang baru sempat aku tanyakan padanya hanya satu: Bagaimana kabarmu?

Tapi ternyata satu pertanyaan itu ia jawab berjam-jam, tahu-tahu kami sudah sampai di kota tujuan. Selama kurang lebih 3 jam itu, dia menceritakan kehidupan selepas masa kami sekolah sampai dia saat ini. Ceritanya penuh dengan bunga-bunga keberhasilan, capaiannya yang bisa ke negeri ini dan itu dengan gratis, dihormati banyak orang, dan dipandang sebagai seseorang yg berilmu. Aku kagum, masyaAllah.. Dia berulang kali menekankan, semua capaiannya itu berkat kebaikan dan doanya. Hampir setiap doanya diijabah percis oleh Allah.
Aku termenung. Meraba hati yang mendadak merasa ada sesuatu mengganjal. Tapi aku coba terus menyimak ceritanya yang berapi-api. Ketika dia tak sedang menceritakan dirinya, dia menceritakan orang lain dari sudut pandangnya. Yang rasanya, dia hanya menceritakan sisi tidak baik dari orang tersebut. Seolah diposisikan, yang lain tidak lebih tinggi darinya. Aku semakin tak nyaman duduk. Aku bertanya pada diriku sendiri kenapa tidak nyaman? Padahal aku suka sekali menyimak cerita keberhasilan orang.. tapi kali ini rasanya ada yang lain. Aku berkali-kali berlindung pada Allah agar dijauhkan dari buruk pikiran dan perasaan. Iya, barangkali ini hanya karena polah hatiku saja yang tak baik. 

Dikehendakinya aku seperjalanan dengannya pastilah ada maksud. Allah ingin aku apa dan gimana, ya?

Singkat cerita, kejadian itu berlalu. Tapi masih saja meninggalkan gelisah dan tandatanya. Sampai akhirnya aku terlibat dalam diskusi antara aku, kawanku yang lain, dan sang Guru.
Kawanku bilang, kerabatnya ada yang ditugaskan ke Palu sehari sebelum musibah melanda bumi Palu. Tapi kerabatnya ini entah kenapa enggan, dan memilih ditempatkan di daerah timur lainnya. Kemudian datanglah musibah itu, dan ketika mengetahuinya, si kerabat ini spontan mengucap syukur tak jadi ke Palu. Lalu kawanku ini bertanya, gimana bisa seseorang terselamatkan ataupun terkena musibah? Itu karena apanya?

Guru kami tersenyum dan menjawab, "Kehendak Allah. Bukan karena amalan kita."
Kawanku mengernyitkan dahi. Aku menegakkan posisi duduk. Ini menarik.

Kemudian Guru menjelaskan lebih lanjut, 
"Kebaikan yang kita dapat, itu bukan karena kebaikan kita. Melainkan karena Allah Maha Baik. Jika diyakini semua capaian karena kebaikan kita, berarti kita menganggap amal kita lebih besar dari Allah. Menganggap doa kita lebih besar dari Sang Pengijabah. Dan itu bahaya."

Deg. Ini.. ini ternyata yang membuatku gelisah selepas pertemuan dengan kawan lama beberapa waktu lalu. Selama 3 jam itu, aku merasa ada yang MahaBesar yang ia ceritakan. Tapi bukan Allah..

Betul juga. Jika kita yakin bahwa kebaikan atau capaian diri lantaran kebaikan diri sendiri, maka saat tak ada balasan kebaikan, kita akan bertanya tanya, mempertanyakan janji Allah yang maha membalas. 

Akhirnya kita frustasi dengan hasil yang tak memuaskan. Sudah belasan rakaat dhuha tiap hari, tapi rizki masih terasa seret. Sudah kirim sholawat ribuan kali untuk hajat tertentu, tapi tak kunjung didapat. Sudah doa siang dan malam, tapi masih saja tak berubah. Begitulah, seolah kita sedang barter amalan dengan kehendak Tuhan. Menagih-nagih, mendikte Tuhan.

Ah, ternyata. Sekerdil itu diri, menganggap kehendak Tuhan bisa ditukar dengan amalan yang tak seberapa.

Tapi, bukankah Tuhan berjanji balasan kebaikan adalah kebaikan? 


"Betul. Dan itu diberikannya di akhirat kelak. Karena dunia ini tempat bercocok tanam, hasil atas kebaikan manusia ya di akhirat. Adapun kebaikan-kebaikan yang kita cecapi sekarang, itu atas karunia Allah. Kasih sayangnya Allah.. bukan karena kebaikan kita, jangan GR." Tukas Guru.

Ya Allah. Ternyata karena kebodohan diri, kita sering menuhankan yang lain. Seakan bisa mengatur Tuhan, membarter kehendakNya dengan amalan yg tak seberapa. Jadi kita harus bagaimana?

"Beramal ya beramal saja. Bisa beramalnya saja itu karena kebaikan Allah."
Jadi apa yang kita bisa? Gak ada ternyata. Apalagi menentukan bisa mendapat balasan kebaikan yang begini begitu.

Sekarang ramai orang menafsirkan bencana di Palu dan di tempat lainnya. Yang orang lupa, itu semua kehendak Allah, yang mengerti kehendakNya hanya Allah. Soal adanya tanda-tanda suatu kaum diazab Allah, itu untuk berkaca diri sendiri, bukan lantas dijadikan alat menghakimi orang lain mendapatkan surga atau neraka.

Obrolan kami berlanjut, semakin menarik. Tentang redaksi isi AlQuran yang beragam tema; dari peringatan, azab, sampai berita gembira. Itu untuk siapa? Guruku menjawab dengan kalimat pendek, dan seperti biasa, merenunginya perlu waktu yang sangat panjang.

Semoga lain waktu, aku bisa menuliskannya lagi, untuk mengingatkan diri.


---
Natisa
2018