Thursday 21 December 2017

Dari Motto "An Australian School.."

Anak-anak di Al-Siraat Islamic College siang itu begitu ceria dan percaya diri menceritakan apa yang mereka sukai dari sekolahnya, kata mereka, "I love the teachers, they play with us and made a lot of games! And I love all people here, they come from many countries." Binar mata mereka jujur sekali menyatakan ekspresi tersebut.



Muslim Australia berasal dari banyak kebangsaan. Masing-masing unik dengan perbedaannya, dan hal itu tidak jadi masalah buat anak-anak ini. Mereka malah seneng dengan "warna-warni" kawan-kawannya. Karena perbedaan tersebut dihadirkan secara akrab di kehidupan, dipandang sebagai sesuatu yang fitrah adanya. 
Hal ini dilakukan Al-Siraat College karena mereka memiliki motto: An Australian School in the Islamic Tradition. Jadi pendidikan yang mereka lakukan bertujuan mendampingi proses belajar anak didik dengan islamic methode, agar siap hidup sebagai seorang Australian di negara nan penuh dengan keberagaman. 

“An Australian School in the Islamic Tradition”


Saya tertarik dengan motto ini. Bagaimana menjadi seorang Australia? Menjadi seorang Australian berarti siap dengan perbedaan. Jangan bayangkan penduduk Australia hanya mereka yang berkulit putih. Kami peserta Muslim Exchange Program (MEP) selama dua minggu di Australia dipertemukan dengan orang-orang Australia beragam warna. Yang Chinese, Indian, Afghan, Pakistani, Turkish, Libanian, dll. Saat perkenalan, selalu saja kami bertanya, “Where do you come from?” karena tampilan fisik mereka yang beragam. Jawaban mereka selalu sama dan tegas, “I am Australian.” Pemandu kami  hanya tertawa, katanya, “Memang butuh waktu bagi orang Indonesia untuk menyadari bahwa orang Australia bukan hanya yang berkulit putih. Mereka yang wajahnya asia atau middle east, walaupun lahir dan besar di sini, tetap saja disangka pendatang.”

Rombongan MEP disambut di Istana
Gubernur Jenderal New South Wales
Dari sanalah, saya mencoba untuk meralat pertanyaan tersebut, dan mengendapkan dalam pikiran kalau orang Australia memang beragam. Warnanya, agamanya, etnisnya, dll. Dalam kesempatan penyambutan terhormat dari Gubernur Jenderal New South Wales, Jenderal David Hurley, menegaskan kepada kami betapa beragamnya Australia. Sebagai pimpinan negara bagian NSW, beliau selalu berusaha untuk dapat mengayomi setiap kebutuhan keberagaman tersebut.


Maka motto di sekolah Al-Siraat College tadi begitu menarik dan penting. “An Australian School in the Islamic Tradition”. Keunikan negara Australia yang penuh dengan perbedaan membuat tantangan sendiri bagi penyelenggaraan pendidikan di sana. Setidaknya ketika membacanya pertama kali, saya yang bergulat di dunia pendidikan ini langsung mendapat kesan begini, “Berarti sekolah ini menyiapkan anak didiknya untuk bisa hidup di Australia dengan segalam macam kondisinya; penuh perbedaan baik perbedaan etnis, agama, bahasa, dll.”

Benar saja. Di sekolah islam ini, perbedaan itu tidak dihindari atau ditutupi. Anak-anaknya berasal dari beragam etnis. Gurunya? Tidak semua muslim, padahal sekolah Islam. Bahkan Kepala Sekolahnya pun bukan muslim. Ini sesuatu yang baru bagi saya, karena belum menemukannya di Indonesia. Saat mempresentasikan profil sekolahnya, dengan rendah hati beliau menyilakan guru-guru muslim menjelaskan bagian konsep keislaman. Mereka juga menerima pelamar guru yang beragama lain, asal bukan untuk mengajar di pelajaran agama, dan mau mengikuti aturan sekolah. Seperti, bagi guru perempuan bersedia menggunakan pakaian tertutup termasuk berkerudung. Apa tidak merasa terpaksa? “Saya suka! Karena setiap pagi tidak harus memikirkan bagaimana menata rambut. Tinggal ditutup pakai kerudung, siap deh mengajar ke sekolah!” begitu kata salah satu testimoni guru yang non muslim mengajar di sekolah Islam.

Menyelenggarakan pendididkan untuk siap menjadi seorang Australian juga berarti menyiapkan murid dengan lingkungan dan profesi yang beragam, serta memiliki pikiran terbuka. Saat dibawa keliling seputar ruangan-ruangan sekolah, kami melewati ragam ruangan workshop. Ada ruangan memasak lengkap dengan alat masaknya yang canggih-canggih. Ruangan seni, pembuatan material dari logam dan plastik, olahraga, bahasa, dll.  

Setiap kelas selalu dilengkapi dengan jendela besar-besar. Dengan jendela besar itu, pemandangan langit biru dan hamparan padang hijau terlihat sangat indah menemani pembelajaran berlangsung. Anak tidak dibatasi dengan ruang kotak tertutup, tapi dibiasakan dengan distraksi-distraksi alami dari alam. Toh, hidup memang penuh dengan tantangan, kan? Pendidikan yang terbaik adalah yang bukan hanya menyiapkan anak untuk hidup, tapi membiarkan mereka mencecapi langsung bagaimana kehidupan itu.


Desain sekolah ini juga dibuat terbuka. Banyak ruangan terbuka di antara kelas-kelas dengan langit-langit yang tinggi membuat ruangan semakin terkesan lapang. Saat memasuki gedung SD, saya dibuat jatuh cinta dengan dinding ruangan yang tak dibiarkan kosong. Dinding-dinding itu penuh dengan hasil karya seni murid yang warna-warni. Tidak ada yang seragam, semuanya beragam. Dengan begini setiap anak akan merasa berharga, dan di waktu yang bersamaan mereka menghargai karya orang lain yang berbeda dengannya.

Ada satu lagi yang menarik dari bangunan sekolah Al-Siraat. Beberapa bangunan seperti bangunan ruang karyawan, guru dan toilet dibuat dari bekas kontainer. Sebenarnya ini bangunan sementara sambil menunggu bangunan permanen jadi. Kontainer-kontainer ini bisa dipindahkan kapan saja. Iya, portabel gitu. Sangat fleksibel. Menghadapi kehidupan yang penuh perbedaan memang butuh fleksibilitas yang tinggi. An Australian School banget..



Balcombe Grammer School


Sekolah kedua yang kami kunjungi adalah Balcombe Grammar School. Apa yang saya temui di sini membuat saya terkejut berkali-kali. Seakan kompakan dengan Al-Siraat Islamic Colege, sekolah inklusif kristen ini juga menyiapkan anak-anaknya agar siap menjadi seorang Australian juga.
Sebagaimana klaim saya sebelumnya, sekolahnya orang Australia haruslah sekolah yang menyiapkan anak didiknya akrab dengan perbedaan. Bagaimana bisa akrab dengan perbedaan jika tidak didahului dengan pengetahuan tentang masing-masing perbedaan tersebut?

Di Balcombe Grammar School ini dipelajari berbagai keragaman etnis, agama, dan sejarah. Kami berkesempatan terlibat aktif di kelas sejarah dan kelas perbandingan agama. Di sana ada 10 murid SMA yang sudah menunggu kami, siap dengan pertanyaan-pertanyaannya tentang Islam. Mereka antusias, karena mereka senang mempelajari sesuatu yang berbeda. Bagi mereka, adanya perbedaan adalah untuk saling mengenal. 

Selama diskusi berlangsung, ada seorang Bapak-bapak yang terus mengamati diskusi kami. Saya berbisik bertanya kepada murid yang jadi pasangan diskusi, siapakah beliau? Dengan nada bangga, anak itu mengenalkan bahwa beliau adalah guru sejarahnya. Guru yang mengajarkan agama-agama di dunia. Yang selalu terbuka mengajak anak didiknya menganalisa dan berdialog sehat tentang perbedaan agama. Dari sanalah rasa penasaran saya terjawab. Tadinya saya penasaran bagaimana cara guru mereka mengajar hingga anak didiknya memiliki pemikiran terbuka dan dengan dewasa berdialog. Ternyata gurunya membiasakan mereka melakukan riset, dan dialog terbuka face to face seperti ini. Dari pengetahuan inilah si anak diharapkan bisa memiliki keterbukaan terhadap keberagaman yang ada di sekitarnya. Dan itu saya rasakan sendiri. Menyaksikan mereka dengan terbuka menerima penjelasan saya tentang isu-isu Islam seperti jihad, terorisme, dll. Saya juga melihat proses pendidikan di sini menjadikan murid sebagai pelaku utama, sehingga menumbuhkan kepercayaan diri mereka dalam memiliki pendapat dan bersikap.


Kepercayaan diri itu membuat mereka mengetahui apa yang dibutuhkan bagi dirinya sendiri. Saat saya bertanya kepada Jameela, siswa kelas 10 SMA, mengenai alasannya memilih kelas interfaith, dia menjawab dengan mantap, “Aku pilih kelas Interfaith karena ke depannya aku bakal bekerjasama dengan banyak orang dengan latar belakang yang berbeda. Oleh karena itu aku harus tahu tentang agama-agama. Ini berguna banget buat masa depanku. Berguna agar bisa bergaul dengan banyak orang.” Seumur dia karakternya sudah begitu kuat. Sudah tahu ke depannya akan menjadi apa, dan tahu juga apa yang dibutuhkannya. Saya semakin penasaran ingin bertemu dengan para guru, dan pimpinannya.

Selesai berdiskusi seru dengan mereka, kami diajak ke ruangan hall lagi. Dari ruangan tersebut kami bisa melihat langsung hamparan laut biru, sebab lokasi sekolah ini di atas bukit. Bertambah sempurna dengan udara pegunungannya yang sejuk. Pantas saja murid-murid di sini amat betah, kreatif, dan ekspresinya keluar. Alam sungguh memainkan peranan penting dalam pendidikan.
Di ruangan hall sekolah, ternyata makan siang sudah disiapkan. Menu makanannya amat nikmat. Mereka sengaja memesan menu makanan halal dari Burma yang dimasak oleh orangtua salah seorang muridnya.

Di sanalah kami bertemu dengan Kepala Sekolah yang ramah dan enerjik. Beliau disertai beberapa guru serta pengurus sekolah. Dalam santap siang yang hangat itu saya sampaikan kepada Kepala Sekolahnya, Mr. Matthew Dodd, tentang rasa kagum saya terhadap karakter murid-murid Balcombe School. Selama tur lingkungan sekolah, kami dipandu oleh murid-murid SMP yang dengan cakap menjelaskan tiap detil area sekolah, menjelaskan kegiatan-kegiatan yang berlangsung, dan dengan bangga juga memperkenalkan karya seni siswa dari berbagai level. Menyaksikan karya seninya, saya tidak percaya bahwa itu dibuat oleh anak-anak usia sekolahan. Sangat kreatif. Pemaparan mereka juga sopan, dalam dialog interfaith mereka kritis namun tetap sopan, terbuka, menghormati tamu, dan mengapresiasi pendapat. Akhirnya saya bertanya kepada Kepala Sekolah, apa kunci dari semua kesuksesan ini?
Mr. Matthew Dod berdasi biru sedang menceritakan filosofi sekolahnya.

Beliau tersenyum menyimak kesan kami, dan berkata, “Kami selalu berusaha menyambut tamu dengan hospitality, maka segala cerita di sekolah kami dapat tersampaikan dengan baik. Saya rasa itu diajarkan semua agama, ya?”
Semua pemaparannya rasanya layak dijadikan kata-kata mutiara dunia pendidikan. Tiap yang saya saksikan dan rasakan dari sekolah inklusif ini ternyata memang cerminan dari jati diri kepala sekolahnya. Beliau ingin tamu yang berkunjung ke sekolahnya, lalu bisa bertemu para muridnya as a person, not as a place. Beliau yakin setiap orang akan merasa berharga ketika diajak berpartisipasi. Karena itulah para muridnya dilibatkan dalam penyambutan, dan para tamunya dilibatkan dalam proses pembelajaran mereka. Pada proses pembelajaran pun para murid dijadikan sebagai pelaku utama. Kepala sekolah yang rendah hati ini bercerita bagaimana dia mendidik muridnya agar menghargai proses. Dengan memberikan sejumlah uang yang nilainya besar, beliau menantang muridnya untuk membuat café di lingkungan sekolah. Mulai dari desain ruangan, apa yang akan dijual, rencana anggaran, strategi marketingnya, hingga ke pelaporannya, semua dilakukan oleh murid. Bapak yang mengepalai bagian kurikulum menambahkan, bahwa pendidikan di sekolah ini terpusat dari dua poin utama, yaitu integrated (banyak pelajaran terintegrasi dalam satu tema) dan experience based (anak-anak meng-alam-i langsung pembelajaran).
Cafe yang dibuat oleh Siswa Balcombe Grammar School

Desain furniture, produksi makananya, dan strategi marketingnya juga dilakukan oleh para siswa
Begitu juga dengan hukuman. Ada salah satu hukuman di sekolah ini yaitu dengan memberikan benih tumbuhan. Murid yang terkena hukuman harus menanam benih tersebut, dan merawatnya hingga berbuah. “Let them growing, enjoy, and learn from the process,” satu kata mutiara lagi yang keluar dari Bapak Kepala Sekolah.

Balcombe Grammar School juga memiliki program homestay dalam rangka menjembatani dua budaya yang berbeda. Di program homestay ini, host family yang berasal dari Australia menyambut student yang berasal dari luar sebagai bagian dari keluarganya. Kedua belah pihak saling mempelajari keberagaman satu sama lain. Dan program ini amat melibatkan emosi. “Dengan melibatkan emosi, proses pembelajaran apapun akan lebih mendalam. Khususnya program homestay ini, bisa menjembatani dua budaya yang berbeda akan sangat intensif. Ini juga usaha kami mewujudkan sekolah inklusif.” Kata Kepala Sekolah menjelaskan.

Betul sekali. Terlebih yang terlibat di sini bukan hanya anak didik saja, tapi juga keluarga. Salah satu contohnya, ada murid yang berasal dari keluarga Australia menjadi host family murid asal Cina. Dengan program homestay ini, di antara keduanya terjalin hubungan emosi yang kuat. Saling mempelajari budaya dan agama satu sama lain. Saya jadi teringat dengan seorang kawan yang penah satu tahun menjadi murid pertukaran di Amerika. Antara kawan saya ini dengan host familynya terjalin ikatan yang kuat hingga sekarang. Host family-nya menjadi paham tentang agama Islam, karena sehari-hari menyaksikan langsung bagaimana kawan saya mempraktikkan ajaran Islam. Dari pemahaman tersebut, host-family-nya punya respect yang tinggi terhadap Islam.
Saat memberikan cinderamata "Si Cepot" kepada Sekolah Balcombe. Saya menemukan persamaan antara sekolah ini dengan karakter Cepot yang disukai oleh semua orang karena keterbukaan dan kerendahanhatinya.

Bersama siswa-siswi SMP Balcombe yang menjadi pemandu kami.

Setiap poin penting yang saya dapat dari kesuksesan sekolah ini, rasanya seperti ditarik balik kepada apa yang sudah saya lakukan bersama tim dalam dunia pendidikan. Selama membuat konsep besar untuk tiga sekolah dari berbagai level ataupun melatih para guru dan menjalankan pembelajaran, Mentor kami selalu menekankan pentingnya memahami sesuatu yang berbeda, perbedaan justru jadi bahan pembelajaran yang kaya, menghargai manusia dengan memanusiakannya, baik itu murid ataupun guru. Memanusiakan murid dengan menjadikannya lakon utama pembelajaran. Memanusiakan guru dengan terus memberikan mereka media belajar dan penghargaan yang mulia. Mentor kami juga senang sekali membuat pembelajaran yang melibatkan emosi manusia yang paling intim; bahagia, sedih, terkejut, menyesal, bahkan marah. Dengan emosi-emosi itu pembelajaran yang didapat lebih melekat.

Menyaksikan kebaikan-kebaikan yang ada pada Balcombe Grammar School membuat saya optimis terhadap apa yang sudah dan tengah dilakukan. Barangkali saat ini belum terlihat hasilnya, malah Allah perkenankan melihat hasil orang lain dulu yang memiliki pendirian yang sama. Jadi semakin mantap terhadap apa-apa yang sudah, sedang, dan akan dilakukan kami di dunia pendidikan.

Semua nilai yang disebutkan di atas adalah nilai-nilai yang sangat islami. Jika Al-Siraat Islamic College memiliki motto “An Australian School in the Islamic Tradition”, kalau dibolehkan saya ingin memberikan motto pada Balcombe Grammar School, yaitu, “An Australian School, with islamic values”. Setidaknya itulah kesan yang saya rasakan. Kehangatan mereka menyambut tamu menempati ruang tersendiri di hati kami. Tidak aneh sekolah ini bisa tumbuh dalam kurun waktu kurang satu dekade. 

Dari Motto "An Australian School..." ke Pesantren

Dari motto “An Australian School in the Islamic Tradition”, saya melihat pengejewantahannya adalah dengan menyelenggarakan pendidikan yang seirama dengan peribahasa, dimana kaki berpijak, di situ langit dijunjung. Pendidikan kedua sekolah ini terterima di Australia, karena mereka memiliki pengetahuan yang baik akan adat istiadat setempat.

Saya seperti diajak bercermin tentang pendidikan di Indonesia. Kita memiliki lembaga pendidikan tertua dan orisinil yaitu Pesantren. Banyak pesantren salaf dinamakan para kiainya dengan nama dusunnya. Seperti Pesantren Cipasung di Tasikmalaya, Pesantren Babakan Ciwaringin di Cirebon, Pesantren Tebu Ireng di Jombang, dll. Agar apa? Penghormatan terhadap masyarakat setempat. Di Pesantren juga terkenal budaya ngalogat, yaitu memberi makna pada Kitab Kuning. Bahasa yang digunakan saat ngalogat tergantung pada lokasi pesantrennya. Jika pesantrennya ada di tanah sunda, maka memberi makna pada Kitab Kuning dengan bahasa Sunda. Begitu pula jika di tanah Jawa. Soal pendidikan karakter, Pesantren telah memulainya jauh-jauh hari. Santri tidak hanya belajar mengaji, tapi juga mengaji diri. Mandiri mengurus diri, berinteraksi dan melayani masyarakat. Di Pesantren pun seorang santri terbiasa dengan perbedaan, karena santri-santri di sebuah pesantren berasal dari berbagai daerah Indonesia. Mereka juga dibuat akrab dengan perbedaan mazhab dan ikhtilaful ulama. Semua itu dilakukan karena para Kiai tahu betul, bahwa pesantren benar-benar an Indonesian school. Sekolah untuk orang Indonesia, yang mempelajari keindonesiaan, agar dapat hidup dan berkarya untuk Indonesia.

Pendidikan yang begni, yang menurut hemat saya, pendidikan terbaik. Pendidikan yang memanusiakan manusia, setiap pihak tidak pernah berhenti belajar, kepemimpinan yang penuh teladan, dan komitmen terhadap nilai-nilai yang diusung.




***
Nati Sajidah
Konsultan Pendidikan
Alumni Muslim Exchange Program (MEP 2018) Australia-Indonesia


Monday 17 July 2017

Menyalakan Kembali dengan Mematikan

Dulu, berselancar di dunia internet waktunya terbatas. Sepulang ngampus, mampir di Warnet 1-2 jam untuk mencari hal-hal yang sedang ditelusuri. Di antara tab browser yang terbuka, tab Facebook dibuka untuk sekadar hiburan. Mengintip kabar sahabat dan kerabat. Jika sedang kelebihan inspirasi, aku menulis notes atau status. Menulis berparagraf-paragraf, dan membaca banyak tulisan sahabat. Kita saling mengapresiasi, berdiskusi, dan berbalas komen.

Dalam waktu yang terbatas itu pula, aku membuka aplikasi YM. Janjian dengan beberapa sahabat untuk ngobrol di YM di waktu yang telah ditentukan sebelumnya. Obrolan menjadi sangat hangat dan berbobot, sebab kami hanya memiliki waktu yang terbatas. Emoji-emoji YM menjadi hiburan tersendiri untuk mewakili perasaan kami; rindu, terbahak-bahak menertawakan obrolan yang tidak terkira, atau bahkan menangis. 

Dulu, scrolling kepoin hidup orang ada waktunya, ngobrol atau chatting ada waktu dan tempatnya.
Hanya 2 jam, atau 3 jam jika sedang punya uang lebih, setelah itu aku keluar dari Warnet dengan hp jadulku. Kembali ke dunia nyata. Bercengkrama dengan sahabat, berdiskusi asik tentang beragam hal, khusyuk menyelesaikan target hafalan dan bacaan, atau sekadar duduk santai menikmati sepi. Tanpa terdistraksi oleh notifikasi. Dulu, jika ada waktu menunggu biasanya akan digunakan untuk membaca atau menulis di layar hape yang ukurannya tak lebih dari 3 cm. Sekarang, waktu menunggu berjam-jam seakan tidak terasa karena dihabiskan dengan scrolling.. scrolling.. scrolling.. sampai mata pening. And then just realized that ourself dind't do anything. 

Hari ini, rasanya live in the moment menjadi sangat mahal harganya. Sebab dunia maya seakan tak lagi punya waktu, tapi keseluruhan waktu bisa dijadikan ruang untuk dunia maya. Atau kita yang sudah ditarik ke dalamnya?  Kepala dan hati disesaki oleh limpahan informasi yang tak bisa dibendung. Limpahan informasi tersebut seakan menjadi sampah yang mengendapkan inspirasi-inspirasi diri. Jika tak bisa mengendalikannya, tontonan itu semua akan menjadikan diri sebagai penonton yang bodoh. Yang memuja pada apa yang tampak, yang mengritik padahal tak tahu yang sebenarnya, yang kehabisan waktu dan belum melakukan apa-apa sebagai karya.

Sadar tidak sadar, tampilan yang kita lihat, baca, atau ikuti, menjadi gumpalan dalam jiwa. Diri menjadi sibuk dengan kehidupan orang lain. Sibuk mengomentarinya, sibuk membandingkan kondisi diri dengannya. Lalu kita lalai dengan kondisi sendiri. Apa yang sudah didapat? Apa yang akan dilakukan? Apa yang sudah diperbuat?

Sebab rindu pada ruang dan waktu yang dahulu dimiliki. 
Sebab rindu pada nyala-nyala inspirasi diri. 
Sebab rindu "menjadi aku" di "waktu yang ada", 
maka sepanjang tahun ini aku melakukan beragam puasa secara bertahap. Menonaktifkan notifikasi pada Handphone, dan memasang mode diam. Menengok hape jika mau saja. Tidak ada notifikasi grup WA, BBM, atau social media. Smartphone-ku seperti hape jadulku dulu. Untuk social media, aku berpuasa dengan deaktivasi Facebook, dari awal tahun 2017 sampai sekarang. Dan beberapa kali berpuasa Instagram, dari mulai tidak memposting, tidak scrolling, dilanjutkan dengan mencopot aplikasi, dan ujungnya; deaktivasi. Di waktu yang bersamaan, setiap ada keinginan untuk "berbuka", aku alihkan ke hal-hal nyata, seperti; membaca buku, menulis, menelaah, berdiksusi, berjalan-jalan, atau sekadar duduk manis dan say hallo pada orang-orang sekitar. Apa yang aku rasakan? I feel more ALIVE than ever! Jadi banyak tulisan yang tertulis dan buku yang terbaca, diskusi yang lebih hidup dan berbobot, dan merasakan live in every moment. Ternyata frasa hidup jadi lebih hidup itu bukan bohong. 

Kok bisa begitu? Aku tidak tahu apakah ada teorinya, tapi tidak sekali aku merasakan, ketika kita mengajak diri untuk bersosialisasi, berbaur dengan manusia lainnya, maka ada sisi dalam hati yang bersorak gembira. Bahagia yang tidak bisa digambarkan. Memang betul di dunia maya kita pun bersosialisasi, tapi panca indera kita tak merasakannya secara langsung. Tidak merasakan hangatnya genggaman tangan kawan saat kita menjabat tangannya, apalagi pelukannya, Tidak merasakan secara langsung bagaimana hati merekah melihat senyum manisnya. Panca indera kita ada dan ingin memainkan perannya. Hanya dengan bersosialisasi di dunia nyata kita bisa melakukannya. 

Dari berpuasa ini pula, aku merasa hidup menjadi lebih sederhana. Tidak rumit. Tidak banyak "diganggu" oleh hal-hal yang kita tidak bisa mengendalikannya. Sesederhana; jika ingin buka jendela, tinggal buka. 

Lalu kemarin, ada sebuah pesan masuk ke WA. Dari nomor yang tidak aku simpan dalam Hp. Beliau berucap salam, dan bertanya kemana akun-akun social mediaku? Karena sedang galau, jadi beliau mencari akun instagramku. Berharap dapat termotivasi atau tercerahkan, katanya. 

Aku membalasnya dengan mengucapkan terima kasih, dan.. "Iya, maaf Mbak. Lagi sedikit berpuasa." 

Dari pesan tersebut pula, aku sadar. Sesuatu di dunia ini pasti memiliki beberapa sisi. Di sisiku, aku harus berpuasa. Di sisi lain, ternyata keberadaan kita di dunia maya ada manfaatnya untuk sebagian orang. 

Semoga Allah Swt memberikan bimbinganNya pada kita semua.. Kapan membuka jendela, kapan menutupnya, atau kapan kita keluar darinya. 



---
www.pelangisabar.blogspot.co.id
Natisa
yang sedang berpuasa


Thursday 25 May 2017

Pengakuan

Di beberapa episode kehidupan, manusia tak jarang minta pengakuan. Apalagi di zaman serba upload dan share seperti saat ini. Membuka sedikit wilayah privasi kepada publik, untuk mendapat pengakuan. Bahkan tanpa diminta, dia akan dengan sukarela membeberkannya. Memang, motifnya tak selalu mencari pengakuan, tapi bukan tak mungkin hal itu adalah salah satu alasannya. Pe-ng-aku-an. Itu tidak salah, amat manusiawi malah.

Ingin diaku agar begini dan begitu. Ingin disamakan dengan yang lain, bahwa "aku" pun begini dan begitu. Keinginan itu bisa berasal dari rasa tidak-aman, unsecure. Merasa diri harus sama, merasa diri harus menegaskan, merasa diri terancam. 

Lalu tak lama lagi kita akan disapa oleh Bulan Ramadhan. Di bulan ini ada satu amal ibadah yang memusnahkan pe-ng-AKU-an. Dimana kita diminta untuk memberikan yang terbaik tanpa dapat meng-upload atau share amalan tersebut. Apakah itu? Puasa. Siapakah yang dapat mengetahui dengan benar kualitas puasa kita? Kita bisa saja mengatakan saya sedang berpuasa, tapi itu hanya ucapan. Bukan lahiriah seperti gerakan shalat, atau besaran zakat/infaq. Mengenani kualitas puasa itu sendiri hanya Allah yang tahu.

Itulah kenapa puasa menjadi satu-satunya ibadah paling intim. Hanya Allah dan hambaNya yang tahu. Kalkulator pahala bagi ibadah puasa ini tidak lagi berlaku. Allah Swt menegaskan, puasa dinilai langsung oleh Allah. Tak lagi pakai hitungan. Maka musnahlah keinginan untuk diaku oleh manusia, yang ada tinggal pengakuan dari yang sejati: Tuhan Semesta Alam. Pengakuan dari-Nya dapat berbuah keridhaan. Jika Ia telah ridha, apalagi yang kita butuhkan?

Seseorang berpuasa atas kesadarannya sebagai hamba. Ia tak hanya menahan lapar dan dahaga, tapi juga merayu diri agar hati dan panca indra ikut berpuasa. Mengikis keinginan untuk diaku, dan memutlakkan hati agar segala ibadah sejatinya untuk mendapatkan pengakuan dari Tuhan yang Satu.

Ramadhan membimbing manusia untuk mendapatkan pengakuan sejati. 
Biarlah sunyi di mata manusia, sebab ridha dan pengakuan Allah di atas segala-galanya.



Marhaban ya Ramadhan 🌷

===

Natisa
Pelabuhan Badas, 1438 H.


Monday 15 May 2017

A Night at a Cafe in Papua



This is about my new friend from another country, you can call her Xhe (actually not her real name). We spent 1 week in Papua for a project. Several days went nomally, until we sat at a cafe in thrid day of our project. That night is the best night we ever had in Papua. That's conversation is still in my mind.


Xhe said to me that she was impressed with my personality. How could it be? Because, Xhe said, I am a calm person and I have an emphatetic soul. Guess what? I was laughing to her joke. "No.. No! I am serious!" she said.

Am I a calm person? No! Seriously. Then I told her about how rebelious I am, how I have many questions about life, how I complain for many things. So, how can I be claimed as a calm person? 

She looked at me deeply. "Nati, it's okay that you have many questions. There's nothing wrong with all of it. Sometimes, people become a wise person because they let the questions exist. It makes them compromise with their life. I found you as an honest person. You asked me about my reason why I choose to be an agnostic. You asked me because you really wanted know, not to judge me. And you told me about your spiritual journey. I feel it comes from your sincere soul. Rebellion happens because you are honest with yourself. There is nothing wrong with it. All you need is keep being who you are because you are on the right track as long as you have faith in it. The sincere soul can bring you to the right track. That's why I don't need religion. Haha." 

We laughed.

The way she appreciates me makes me feel blessed, and ask to my self; why don't you thank yourself?

When she asked me, why do I need religion to knowing God? I try to find the best answer I have. I don't really think that God and religion is separated. Because religion comes from Him. For example, I know Him through Al Quran. So I push myself to learn Al Quran more intensive, and I find many of God's guidances are in the Quran which are summarized into a religion. So the religion isn't made by human, but used by them. One of her reasons being agnostic is because people only use religion for their will. Yes, I can't ignore about them, but for myself religion guides me to become a better person. 

"No. I think you become a better person because you want to. It comes from your soul. You decided to be it. Not because of your religion!" said Xhe firmly.

"Why do you not have the same thought when you looking at a man who behaves badly? You thought that people only use religion for their personal bad ambition. But when you look at man with a good behavior, you said that comes from his soul, not because he uses his religion." 

She laughed, and pointed at me, "Yeah. You make me rethink. That humans need something to believe. Either to God or religion. O, I love our talk tonight, anyway!"

She raised her glass, asked me to toast. Cheers.

Then we got back to Homestay with lots of happiness. We are happy to know each other, not to judge, but to feel blessed to be human.

I agree with her thought, that humans need something to believe in.

In another day, I share this story to my friend, Nisaul or Saul. She said,


"Many people say that an agnostic means doubting or not believing or not having faith in anything. For me, everyone believes in something, everyone has faith in something. They just believe in a different thing than we do. Afterall, we all believers."

Agree! Because "believe in 'something'" is a human needs. 

When human lost his faith, they lost his power and hope. We all need a source of Power, and there is one thing more important than having a faith: It's who we have faith in.


---
Natisa
Papua, April 2017


Friday 5 May 2017

Kau Bertahan, Kau Diam?

Hasil dari perjuangan bisa jadi tak melulu berupa kemajuan. 

Kau dapat bertahan, pun sebuah perjuangan. Sebab bukan sesuatu yang mudah untuk mampu bertahan di tengah kondisi yang tak nyaman. Berapa banyak soalan di luar dugaan dapat kau damaikan? Sekali lagi, itu bukan hal yang mudah.



Di balik kebertahanan seseorang, ada harap dan juang yang tak putus walau berkali dihantam ombak keputusasaan. Namun baginya hanya ada dua pilihan; terus bergerak maju, atau tegar bertahan. Tak ada pilihan mundur ke belakang.


Apalagi jika kau terus tersenyum saat mampu bertahan. 

Tersenyum pada target-target yang seakan mengolokmu, karena tak mampu mencapainya. 

Tersenyum pada anggapan orang bahwa kau seakan tak ada kemajuan. 

Tersenyum pada standar masyarakat yang mengharuskanmu menyamai mereka. 

Tersenyum, sebab dugaan itu salah. 



Kau bertahan, bukan berhenti. 

Kau bertahan, karena masih terus berjuang. 

Dan untuk terus berjuang kita tak perlu pengakuan. 


Tersenyum saat kau berusaha merenda asa yang baru, lagi dan lagi, setiap saat asa itu redup tak berjawab. Kau tersenyum, sebab bagimu perjuangan bukan sekadar memperoleh hasil yang diinginkan. Sebab bagimu, perjuangan adalah caramu menunjukkan kehidupanmu. Keberadaanmu. Kecintaanmu pada Pemberi kehidupanmu. 


Tersenyum saat kembali menyadari bahwa perjuangan adalah ranahmu, sedangkan hasil mutlak wilayah-Nya. 

Tersenyum saat kembali merayu diri; biarlah aku tetap menjadi makhluk yang bertuhan, bukan makhluk yang merebut peran Tuhan.


Tersenyumlah, karena kau tak mau bertemu Tuhanmu dengan muka tertekuk, bukan? 

Tersenyumlah, sebab kebertahananmu bermakna megah. 


---
Natisa,
Papua, 2017.


Saturday 22 April 2017

Aku Tidak Menghindar. Aku Hanya Butuh Waktu.

"Aku tidak menghindar. Aku hanya butuh waktu," katamu siang itu.

Karena sejatinya memang kita tak pernah bisa menghindar. Kehidupan selalu menuntut kita menuntaskan hal-hal yang kita hindari. Mereka seakan ingin mengungkapkan, bahwa diri kita sebenarnya mampu menyelesaikan. Ini hanya tentang kemauan. Dan juga keberanian.

Keberanian berdiri melihat permasalahan dengan segala kepelikannya. Merunut setiap benang kusut yang ada. Menguraikannya satu per satu. Berlapang dada menerima kesalahan diri, serta menasehati agar mau melakukan perbaikan ke depan. 

Keberanian melihat tantangan yang kemungkinan bermunculan jika melakukan keputusan-keputusan besar, itu bukan hal yang mudah. Tapi menyerah bukanlah pilihan. Ketika kau pilih mundur, maka akan kau lihat betapa sudah banyak ketakutan, kekhawatiran, tantangan yang seakan membuatmu mati, ternyata sudah kau taklukkan. 

Tak ada. 
Tak ada pilihan menyerah. 

Tuhan Pemeliharamu ingin kau maju. Membuktikan doa-doamu, bahwa kau benar-benar mau. Buktikan, bahwa kau bukan seorang pendoa yang manja. Kaulah pendoa, kau jua pejuang dari terjawabnya doa. 

Betul,
Kau tak menghindar.
Hanya butuh waktu.
Sebab kau sadar,
Untuk hadapi permasalahan tak bisa reaktif.
Melainkan perlu diri yang reflektif.

Untuk dapat memandang persoalan bukan sebagai perhentian, kau perlu kejernihan hati. Yang tak berhenti hanya sebab terbawa perasaan. Kau perlu hati yang jernih, yang tak semata melihat kemampuan diri. Kita akan cepat putus asa jika hanya melihat kemampuan diri. Hilangkan keakuan. Apa yang dapat dilakukan oleh kemampuan terbatas kita? Akui saja setiap kelemahan, ketakutan, dan kekhawatiran. Kita bikin NOL diri kita, di hadapan Kekuasaan yang hakiki. 

Itulah hati yang jernih. Yang dapat merasa hamba, di hadapan Sang Kuasa.

Pada akhirnya kau akan tersadar. Kau tidak sedang bersaing mengalahkan orang lain. Tidak. Kau hanya dengan dirimu. Dan Tuhanmu,

Tidak. Kau tidak sedang menghindar.
Kau hanya butuh waktu.
Untuk tidak mengisinya dengan ragu. 



----
Natisa,
2017


Thursday 23 March 2017

Linglung Seharian yang Ujungnya Buat Ngedapetin Pembelajaran Berhargaaaa

Hari ini dicoba sama kelinglungan.. Grasak grusuk berangkat dari rumah jam 4 pagi menuju stasiun.. di tengah perjalanan, ngecek dompet KTP gak ada. Alamat gak akan bisa masuk kan.. akhirnya pulang lagi ke rumah. Obrak abrik tetep gak ada, yaudah pasrah ambil passport aja. Sambil nyiapin foto KTP yang tersimpan di email.

Di tengah jalan, baru inget nyimpen KTP di salah satu saku ransel yang dibawa. Bener aja ada.. hiks, tau gitu ga usah pulang dulu ke rumah (yakan ga tauu). Sampai stasiun masih dengan terengah-engah menuju check in online, cus ngetik kode booking yang baru semalam pesen tiketnya, dan... FAILED. Gak bisa check in! Apa karena telat? Segera tanya petugas Loket, tau ngga knp? ternyata aku salah pesen tanggal, harusnya mesen tiket hari ini, malah tanggal besok 😫😓😷. Mbak2nya nawarin reschedule ke hari ini, iya juga aku baru kepikiran, eh tapi apa masih ada kursi? Alhamdulillaah ada.
Akhirnya tambah biaya reschedule, dan bernafas sedikit lega.

Cus ke Jalur 6 nyari kereta Argo Parahyangan. Ga tau kenapa pikiran ama kaki lagi gak sinkron, asal masuk gerbong aja. Taunya salah gerbong dong.. dari gerbong paling ujung ke ujungnya lagi, 2 KALI nyari baru ketemu. 
Kirain drama udah selesai.. Ternyata masih lanjut. Sampai di Gambir-Jkt jam 08.30an pesen Ojek, 2x fail sementara waktu mefet banget meeting jam 9. Akhirnya dapet, jalan deh menuju daerah Kuningan. Belum jauh jalan, tiba-tiba si Mamang berhenti. Kirain ada apa, taunya? Dia ga hapal jalan 😓.. setelah berdrama abis di jalanan, sampe juga di gedung tujuan. 

Udah sampe di Lantai 10, nelpon temen-temen kok pada ga ada. Kok bisa Nati duluan? Bener aja, aku SALAH GEDUNG. Gemeterrrr pengen nangisss. Ya Salaaaam. 
Tahan tahan tahan.. Nahan diri buat ga maki-maki diri sendiri yang ceroboh ga lihat seksama nama gedung di undangan meeting, nahan diri buat nangis sesenggukan di depan mbak2 resepsionis yang prihatin lihat bocah bawa dua gembolan. Tahannn. Fokus, harus segera ke gedung yang benernya. Alhamdulillah si Mbak yang tadi berwajah prihatin itu bantu aku buat pesen Ojek, dan nunjukin jalannya arah kemana. 

Lanjut pesen ojek menuju gedung yang BENER, yang jaraknya mayan 20 menit pakai motor. Sampai di gedung yang bener, kaki udah lemes, muka kusut masai. Apalagi hati, jangan ditanya. Baru duduk ambil nafas, mataku tertuju ke semua orang yang duduk rapi dengan masing-masing laptop di depannya. Eh, bukannya meeting kali ini koordinasi aja ya? Kok pada bawa laptop? "Kan hari ini sekalian tes sistem eLearning terbaru, Nat. Laptop kamu mana?" jawabn temenku yang di samping. DUERRRRR! Laptopku ga dibawa...lemes... kenapa.. kenapa.. Drama ini... kapan kau berakhir.    

Hiks.. aku teh kunaon atuuh. Baru dicoba dengan dicabut konsentrasi aja rasanya kepayahan. Butuh Akua? Bukan butuh akua, atau galon, atau torn aer sekalian. Ini mah kudu banyak istighfar. Kaki, pikiran, hati, semuaaa butuh pengendali. Sebaik-baik pengendali ya Tuhan Pemelihara.. astaghfirullaah.. jeda dulu jeda dulu.. melipir, biar hidup ga ketar ketir.. kata guru saya, ini indikasi hati butuh asupan dzikir lebihhhhhhh luber lagi.. 😭

Akhirnya nekat minta rekan di Kantor kirimin laptop via Ojek online. Nekat banget. Itu laptop yang baru dibeli sama perusahaan, kalau misal terjadi apa-apa bakal lebih gede lagi drama yang terjadi (apasiiiih). Bismillaah.. Aku titipin sama Engkau ya Allah.. aku mah udah lelah pisan mengandalkan kemampuan diri. Aku nyerah ya Allah.. semua bisa-ku gak ada apa-apanya. Semua itu karena Kuasa-Mu.. Nangis. Selang 30 menitan, laptop yang diantar tiba, masyaAllah.. amannnn.. makasih ya Allah.. Makasih mbak2 ojek (iya, dapet driver ojeknya perempuan yang baik hati banget.. semoga berkah berlimpah buat Mbaknya..) 

Siang hari pas adzan dzuhur, aku nyari mushola di gedung yang luas itu. Ketemu ruangan luas dan besar. Di pintunya tertulis; MUSHOLLA. Pas masuk, nyesss.. 

Ya Allah.. udah gak punya kata-kata lagi. Aku gak akan menyalahkan hari, atau mengatakan ini hari yang sial. Ngga akan. Takut makin kualat memaki waktu yang Engkau saja menjadikannya sebagai salah satu sumpah dalam AlQuran. Ngga... Semua ini semata-mata karena kelalaian diri. Astaghfirullah.. Selepas shalat dzuhur, datang kedua temanku yang akan mengerjakan shalat. Mereka heran sama aku, yang mungkin, berwajah nelangsa pisan. Aku ceritain kejadian-kejadian seharian itu. Pas nyeritaian tiket yang salah tanggal, satu temenku nyeletuk, "Alhamdulillaah ya masih tersedia kursi di tanggal ini..". Deg. Iya.. Alhamdulillah.. Iya, banyak yang harus aku syukuri di tengah-tengah kelinglungan ini.

Alhamdulillah ada yang anter-anter dari rumah ke stasiun, pas nyampe stasiun penjaga loketnya baik nawarin reschedule, alhamdulillah masih trsedia tiket hari itu, alhamdulillah walaupun sampai 2x bolak balik ke rumah dan stasiun tapi ttep kekejar waktunya. Waktu nyusurin gerbong dan bolak-balik juga, pas ketemu tempat duduknya ternyata dapet yang luas-yang disampingku kosong jadi bisa tiduraaaan sepanjang jalan.. pas naek ojek juga walaupun lieur muter2 tapi alhamdulillah aman dan selamat.. Bisa kan kalau Allah berkehendak keselamatan dan keamanannya dicabut. Astaghfirullah.. 
pas salah gedung juga para karyawannya baikkkk nunjukin aku jalan.. pas nyampe gedung yang bener juga alhamdulillah meetingnya belum mulai.. jadi punya waktu buat bernafas.. pas laptop ketinggalan, dan ada yang anterin, alhamdulilaah dapet driver yang amanah.. 


Masya Allah 😄😍.. ALHAMDULILLAAAH... banyaaaaak banget yang bisa disyukuri. Cuma kadang kemanusiaan yang dikuasai hawa nafsu ini selalunya fokus ama yang kurang-kurangnya. Padahal banyakkkkkk banget nikmat lainnya. Masya Allah.. mungkin ini hikmahnya..

Selalu cari yang baiknya.. pasti ada. Semuram apapun keadaannya, pasti ada kebaikan yang ingin Allah kehendaki buat kita. Pasti ada yang bisa di-syukuri. Yakiiiiinnnn. Dan ketika hati kita mulai jernih dapat mensyukuri sesuatu di antara rentetan kemuraman, seketika itu juga nyesssss jadi lebih tenang, damai... Alhamdulillaah.


---
Natisa
21 Maret 2017



Monday 6 March 2017

Kearifan Diri yang Menjaga Negeri




Bertemu dengan Novi dan Ibunya di Sentra Tenun Desa Poto, Kecamatan Moyo, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Ibunya, Ibu Jaida, adalah ketua kelompok tenun tradisional di sana. Aku takjub memegang karya tangan telaten itu. Kain tenun tebal dengan pattern apik, dan warna merah yang menyala. Untuk membuat kain ini beliau menghabiskan waktu 1 bulan. Beliau bercerita tentang seorang desainer dari Jakarta yang sengaja mendatanginya untuk meminta pada Ibu Jaida, mengubah pattern pada kain tenunnya. Untuk kemudian diolah menjadi bahan baju hasil desain si Desainer tersebut.


Seharusnya ini menjadi tawaran menarik. Mengingat desainer tersebut sudah kondang, dan berniat membawa kain tenun Ibu Jaida ke pasar yang lebih luas lagi. Tapi ternyata Ibu Jaida mundur. Karena apa...? "Saya tidak mau mengubah khas daerah saya, Sumbawa. Kalau saya berani mengubah, lalu dia akan membawa kain ini ke pasaran, trus dibilangnya ini tenun Sumbawa, padahal khas Sumbawa bukan begitu..siapa yang akan salah? Saya! Makanya saya mundur. Saya gak mau mengubah ciri khas Sumbawa. Biar desainer itu nyari orang lain saja." .

Andai setiap orang memiliki idealisme yang kuat seperti Ibu Jaida, maka makna modernisasi takkan bergeser makna seperti yang terjadi sekarang-sekarang ini. .


Menjadi modern bukan berarti latah pada hal-hal yang sedang "in". Menjadi maju bukanlah dengan mengekor, dan meninggalkan kekhasan diri. Sebaliknya. Negara atau budaya yang maju, justru mereka yang dengan kokoh memegang kearifan lokalnya, tanpa berhenti belajar untuk terus memperbaiki dan menciptakan karya-karya barunya. .

Sikap tawasuth atau moderat dalam hal ini digambarkan dengan kalam ulama yang masyhur; "Menjaga tradisi-tradisi lama sembari menyesuaikan dengan tradisi-tradisi modern yang lebih baik." Seperti Ibu Jaida. Beliau tetap telaten berkarya dalam tenun khas Sumbawa, sambil terus memperluas kerjasama baik dengan pemerintahan atau swasta. .

Mengapa makanan sushi dari Jepang bisa tenar di mana-mana? Karena mereka punya keukeuh tidak ingin mengubah, malah ingin orang lain pun ikut menikmati makanan khasnya. 

Berandai-andai Sate Maranggi kelak ada dimana-mana. Bala-bala haneut, tauco Cianjur, dan kawan-kawannya, tak lagi hanya daerah setempat yang tahu, tapi orang lain pun juga mengenali bahkan menikmatinya. 

Syaratnya apa? Seperti Ibu Jaida, ia memiliki sense of belonging. Rasa memiliki. Ketika kita memiliki sesuatu yang disayangi, kita inginkan yang terbaik baginya. Selalu memeliharanya, dan selalu ingin orang lain tahu tentangnya. 


Dari pedalaman Sumbawa, aku menyaksikan keteguhan seorang wanita dapat menjadi kekuatan bagi kearifan lokal tempatnya. Terima kasih, Ibu Jaida. Hatimu mencipta tenun kecintaan pada negeri ini.


---
Natisa
Sumbawa, 2016


Tuesday 3 January 2017

Reflektif pada Blawuritas Dunia

Kemarin, aku memposting gambar di bawah ini di akun instagram @natisa_23. Lalu mempersilakan kawan-kawan memberikan caption atau tulisan di bawah gambar tersebut. Bebas, apapun. Aku ingat perkataan salah seorang dosenku. Beliau berkata, bisa jadi orang yang menerima perkataan kita dapat lebih memaknai ketimbang makna yang sebenarnya kita miliki. Begitu pun juga maksudku mempersila kawan-kawan followers untuk menuliskan caption di bawah gambar ini, aku ingin mendapatkan kejutan pemaknaan dari mereka. Aku ingin belajar.

Dan betul. Ada dua kawan menuliskan caption indah, lalu aku menuliskan komentar juga di bawahnya, dengan segala keterbatasan pemahamanku terhadap pemaknaan mereka.
@eanggirospidia "Manusia yang lalai, layaknya dedaunan, ia akan berguguran menempa musim. Namun tak begitu dengan iman, ia akan terus bersemi dan kokoh menuju Ilah."
@natisa_23: “Mengapa ranting kering itu seperti ingin menyapa rimbun? Barangkali ia rindu merimbun. Sebab tak pernah ada hati yang mati, jika masih ada kecintaan pada kebaikan, walau setitik.”
@katsurayya “Karena semua makhluk berawal dari ketiadaan, dan akan kembali menuju ketiadaan. Bukankah waktu berjalan begitu cepat? Saat kulihat ranting itu sudah kembali berdaun dan berbunga, hingga akhirnya ditinggalkan kembali oleh daun dan bunganya. Selagi itu, sudah berapa banyak kita berbuat?”
@natisa_23 “Jika ini semua tentang waktu, meranggas ataupun merimbun bukan lagi persoalan. Jika ini semua tentang waktu, betul katamu, ini tentang seberapa giat berbekal; baik ketika kita meranggas atau merimbun.”
---
Inilah yang aku pelajari; satu gambar, banyak pemaknaan. Mana pemaknaan yang benar? Mana pemaknaan yang dikehendakiku sebagai pemilik gambar? Ternyata hidup tidak melulu terkait benar dan salah. 

Mengutip perkataan Mas Sabrang (alias Noe, vokalis band Letto), saat mengomentari hasil penelitian Pak Fahmi Basya terkait Candi Borobudur peninggalan Nabi Sulaiman. Mas Sabrang bilang, “Bahwa segala sesuatu tidak bisa hanya diringkus dalam dua kotak benar atau salah. Realitas tidak sesederhana itu, kenyataan tidak hitam putih. Seperti lensa fokus sebuah kamera. Ketika kita memotret bunga kalau lensanya tidak fokus, nanti bisa kita lihat hasilnya blawur. Tapi hasil yang blawur itu benar atau salah? Kan hasilnya tetap benar bahwa itu “bunga” meskipun blawur.” 

Aku sering bercengkrama dengan banyak pembaca buku yang kutulis, Crayon Untuk Pelangi Sabarmu, untuk sekadar menyimak pemaknaan mereka dari buku tersebut. Tidak jarang aku terkejut oleh pemaknaan yang tak pernah terpikirkan oleh aku sendiri sebagai penulis. Aku pun tidak bisa menyalahkan mereka, jika tidak sepemaknaan denganku. Sebagaimana ketika ada yang membaca tulisanku, lalu dia merasa tulisan itu ditujukan untuk dirinya. Padahal? Aku tersenyum saja. Mungkin pemaknaan itulah yang ia dapatkan, yang ia inginkan. Beda lagi jika pembaca dengan tulus bertanya kepada penulis, apa yang dikehendaki penulis dengan menuliskan ini itu. Maka penulis dapat dengan leluasa menjelaskan. Pada kasus ini, aku mempersilakan kawan-kawan membuat pemaknaan sendiri terhadap gambar yang aku posting. Apapun pemaknaan yang lahir, itulah yang dikehendakinya. Aku tidak bisa menyalahkan, walau aku pribadi memiliki pendapat yang lain.

Mas Sabrang juga kerap ditanya awak media terkait lirik-lirik lagunya yang sarat makna. Bahkan temanku menafsirkan lagunya Sebelum Cahaya, sebagai lagu ajakan untuk tahajjud. Mas Sabrang hanya tertawa dan berujar, “Ya bebas saja. Kalau ada yang memaknai begitu, berarti dia menginginkan pemaknaan begitu. Setiap orang bebas memaknai.”

Aku terdiam saat menyimak komentar Mas Sabrang ini. Ternyata, memersilakan orang untuk berasumsi tidak semudah yang dibayangkan. Apalagi jika asumsinya itu jauh dari kenyataan yang ada. Ada sisi hati yang ingin membela, atau meninggikan suara. Namun, jika saja kita bisa menarik diri terlebih dahulu, kita akan sadar. Bahwa semua ini tentang menyimak manusia, yang memang dicipta berbeda. Kesalahpahaman ada, karena adanya perbedaan. Sedikit saja kita merayu diri untuk menyimak mereka yang berbeda, maka yang akan kita dapatkan adalah tambahan khazanah berpikir. Dengan begitu, kita akan bereaksi secara proporsional. Menyikapi mereka yang berbeda bukan sebagai musuh, tapi sebagai kesempatan untuk memicu diri membangun jalinan komunikasi yang efektif. Seperti menantang diri; bisa ga lu ngertiin pemahaman dia? bisa ga lu ambil pelajaran dari pemikirannya? bisa ga lu sampaikan pendapat pribadi ke dia dengan baik? 

Sering kali kenyataan yang ada
bukan menuntut kita bersikap reaktif,
melainkan reflektif.
Karena ilmuku masih cetek, aku sadar, apa-apa yang lalu lalang di dunia ini bukan untuk diringkus ke dalam dua kotak; benar atau salah, tapi ini tentang apa yang aku pelajari dari itu semua. Tentang benar dan salah? Ah, ilmuku masih dangkal. Untuk urusan itu aku ikut kata guruku saja. Selebihnya, aku jadikan sebagai pembelajaran. Santri salawasna.

--
Nati Sajidah

3 Januari 2017.