Tuesday 3 January 2017

Reflektif pada Blawuritas Dunia

Kemarin, aku memposting gambar di bawah ini di akun instagram @natisa_23. Lalu mempersilakan kawan-kawan memberikan caption atau tulisan di bawah gambar tersebut. Bebas, apapun. Aku ingat perkataan salah seorang dosenku. Beliau berkata, bisa jadi orang yang menerima perkataan kita dapat lebih memaknai ketimbang makna yang sebenarnya kita miliki. Begitu pun juga maksudku mempersila kawan-kawan followers untuk menuliskan caption di bawah gambar ini, aku ingin mendapatkan kejutan pemaknaan dari mereka. Aku ingin belajar.

Dan betul. Ada dua kawan menuliskan caption indah, lalu aku menuliskan komentar juga di bawahnya, dengan segala keterbatasan pemahamanku terhadap pemaknaan mereka.
@eanggirospidia "Manusia yang lalai, layaknya dedaunan, ia akan berguguran menempa musim. Namun tak begitu dengan iman, ia akan terus bersemi dan kokoh menuju Ilah."
@natisa_23: “Mengapa ranting kering itu seperti ingin menyapa rimbun? Barangkali ia rindu merimbun. Sebab tak pernah ada hati yang mati, jika masih ada kecintaan pada kebaikan, walau setitik.”
@katsurayya “Karena semua makhluk berawal dari ketiadaan, dan akan kembali menuju ketiadaan. Bukankah waktu berjalan begitu cepat? Saat kulihat ranting itu sudah kembali berdaun dan berbunga, hingga akhirnya ditinggalkan kembali oleh daun dan bunganya. Selagi itu, sudah berapa banyak kita berbuat?”
@natisa_23 “Jika ini semua tentang waktu, meranggas ataupun merimbun bukan lagi persoalan. Jika ini semua tentang waktu, betul katamu, ini tentang seberapa giat berbekal; baik ketika kita meranggas atau merimbun.”
---
Inilah yang aku pelajari; satu gambar, banyak pemaknaan. Mana pemaknaan yang benar? Mana pemaknaan yang dikehendakiku sebagai pemilik gambar? Ternyata hidup tidak melulu terkait benar dan salah. 

Mengutip perkataan Mas Sabrang (alias Noe, vokalis band Letto), saat mengomentari hasil penelitian Pak Fahmi Basya terkait Candi Borobudur peninggalan Nabi Sulaiman. Mas Sabrang bilang, “Bahwa segala sesuatu tidak bisa hanya diringkus dalam dua kotak benar atau salah. Realitas tidak sesederhana itu, kenyataan tidak hitam putih. Seperti lensa fokus sebuah kamera. Ketika kita memotret bunga kalau lensanya tidak fokus, nanti bisa kita lihat hasilnya blawur. Tapi hasil yang blawur itu benar atau salah? Kan hasilnya tetap benar bahwa itu “bunga” meskipun blawur.” 

Aku sering bercengkrama dengan banyak pembaca buku yang kutulis, Crayon Untuk Pelangi Sabarmu, untuk sekadar menyimak pemaknaan mereka dari buku tersebut. Tidak jarang aku terkejut oleh pemaknaan yang tak pernah terpikirkan oleh aku sendiri sebagai penulis. Aku pun tidak bisa menyalahkan mereka, jika tidak sepemaknaan denganku. Sebagaimana ketika ada yang membaca tulisanku, lalu dia merasa tulisan itu ditujukan untuk dirinya. Padahal? Aku tersenyum saja. Mungkin pemaknaan itulah yang ia dapatkan, yang ia inginkan. Beda lagi jika pembaca dengan tulus bertanya kepada penulis, apa yang dikehendaki penulis dengan menuliskan ini itu. Maka penulis dapat dengan leluasa menjelaskan. Pada kasus ini, aku mempersilakan kawan-kawan membuat pemaknaan sendiri terhadap gambar yang aku posting. Apapun pemaknaan yang lahir, itulah yang dikehendakinya. Aku tidak bisa menyalahkan, walau aku pribadi memiliki pendapat yang lain.

Mas Sabrang juga kerap ditanya awak media terkait lirik-lirik lagunya yang sarat makna. Bahkan temanku menafsirkan lagunya Sebelum Cahaya, sebagai lagu ajakan untuk tahajjud. Mas Sabrang hanya tertawa dan berujar, “Ya bebas saja. Kalau ada yang memaknai begitu, berarti dia menginginkan pemaknaan begitu. Setiap orang bebas memaknai.”

Aku terdiam saat menyimak komentar Mas Sabrang ini. Ternyata, memersilakan orang untuk berasumsi tidak semudah yang dibayangkan. Apalagi jika asumsinya itu jauh dari kenyataan yang ada. Ada sisi hati yang ingin membela, atau meninggikan suara. Namun, jika saja kita bisa menarik diri terlebih dahulu, kita akan sadar. Bahwa semua ini tentang menyimak manusia, yang memang dicipta berbeda. Kesalahpahaman ada, karena adanya perbedaan. Sedikit saja kita merayu diri untuk menyimak mereka yang berbeda, maka yang akan kita dapatkan adalah tambahan khazanah berpikir. Dengan begitu, kita akan bereaksi secara proporsional. Menyikapi mereka yang berbeda bukan sebagai musuh, tapi sebagai kesempatan untuk memicu diri membangun jalinan komunikasi yang efektif. Seperti menantang diri; bisa ga lu ngertiin pemahaman dia? bisa ga lu ambil pelajaran dari pemikirannya? bisa ga lu sampaikan pendapat pribadi ke dia dengan baik? 

Sering kali kenyataan yang ada
bukan menuntut kita bersikap reaktif,
melainkan reflektif.
Karena ilmuku masih cetek, aku sadar, apa-apa yang lalu lalang di dunia ini bukan untuk diringkus ke dalam dua kotak; benar atau salah, tapi ini tentang apa yang aku pelajari dari itu semua. Tentang benar dan salah? Ah, ilmuku masih dangkal. Untuk urusan itu aku ikut kata guruku saja. Selebihnya, aku jadikan sebagai pembelajaran. Santri salawasna.

--
Nati Sajidah

3 Januari 2017.