Friday 24 June 2016

JIWA-JIWA MENARA


Kekhawatiran adalah sangkaburuk yang diiyakan.

Jika Ramadhan adalah sekolah bagi jiwa, maka kekhawatiran pun dapat dibinanya. Dengan apa?

Dengan meyakini, bahwa setiap apa-apa ada masanya. Ada waktu untuk berbekal diri, saat sahur. Ada waktu untuk menahan; saat imsak dan berpuasa. Ada waktu untuk berbuka; saat maghrib tiba. Semua kita lakukan tepat pada waktunya. 


Mengapa terjadi kekhawatiran? Karena kita hidup di hari ini, tapi malah merisaukan masa depan. Atau sebaliknya, kita hidup di hari ini, tapi terus menggelisahkan masa lalu. Semacam berusaha keras mengintip masa depan, dan menarik-narik benang masa lalu. Akhirnya tak pernah benar-benar hidup di hari ini.
Mengkhawatirkan sesuatu tak kan mengubah apa pun di masa depan dan masa lalu. Tak.
Mengikis kekhwatiran dapat dimulai dari paling asas; jangan iyakan sangka buruk yang datang. Nabi Musa khawatir saat diperintah mendakwahi Fir'aun, lalu ia datang dengan pengaduannya kepada Allah. Nabi Yunus khawatir dengan tiga kegelapan yang menyelimutinya, lalu ia datang dengan menyimpuhkan diri dan hatinya.
Bedanya kita dengan para nabi mulia itu ada pada bagaimana cara menyikapi sangkaan buruk yang datang. Apakah akan segera diiyakan, lalu tetawan olehnya. Ataukah membawanya kepada Allah Sang Maha Meliputi, lalu adukan kelemahan diri dalam mengelola prasangka dan memohon petunjuk-Nya.
Karena bersangka baik bukan sebuah sikap yang dapat diaktifkan oleh tombol ON-OFF, melainkan ia olah jiwa dan olah rasa. Memenangkan iman atas nafsu. Memenangkan kendali diri atas sikap terburu-buru.
***

Menara Masjid Agung Bandung itu tinggi menjulang. Terik matahari yang menyengat membuat si menara melahirkan bayangan yang melebar di lapangan hijau. Bayangan itu dimanfaatkan orang-orang untuk berteduh. Jika dilihat dari angkasa akan sangat kontras sekali kumpulan manusia membentuk shape menara, berteduh di bawah bayangannya.
Menjadilah seperti menara. Ia tegak dan kokoh, karena pondasi imannya yang kuat. Menginsyafi diri sebagai makhluk lemah yang memiliki Tuhan yang Maha Kuasa. Hidup bertuhan, dan tak sekali-kali merebut peran Tuhan.
Menjadilah seperti menara. Ia meninggi bukan untuk angkuh. Melainkan agar seruan adzannya dapat menjangkau lebih luas lagi. Ia meninggi, melangitkan segalanya kepada Sang Penguasa.
Menjadilah seperti menara. Saat terik matahari menerpanya, ia malah melahirkan bayangan yang kemudian dijadikan tempat berteduh oleh manusia. Karena ia kokoh pondasi (imannya), tinggi (pengharapannya). Maka "jiwa-jiwa menara" itu, tak kan lantas rapuh oleh sangkaburuk, apatah lagi runtuh oleh seonggok kekhawatiran.
Sebab ia yakini, ada Tuhan yang Maha Meliputi.
***

Nati Sajidah
Inspirasi dari Milad 1 Tahun ‪#‎GerakanHusnuzhon‬
Masjid Agung Bandung, Jum'at, 18 Ramadhan 1437 H.