Thursday 21 December 2017

Dari Motto "An Australian School.."

Anak-anak di Al-Siraat Islamic College siang itu begitu ceria dan percaya diri menceritakan apa yang mereka sukai dari sekolahnya, kata mereka, "I love the teachers, they play with us and made a lot of games! And I love all people here, they come from many countries." Binar mata mereka jujur sekali menyatakan ekspresi tersebut.



Muslim Australia berasal dari banyak kebangsaan. Masing-masing unik dengan perbedaannya, dan hal itu tidak jadi masalah buat anak-anak ini. Mereka malah seneng dengan "warna-warni" kawan-kawannya. Karena perbedaan tersebut dihadirkan secara akrab di kehidupan, dipandang sebagai sesuatu yang fitrah adanya. 
Hal ini dilakukan Al-Siraat College karena mereka memiliki motto: An Australian School in the Islamic Tradition. Jadi pendidikan yang mereka lakukan bertujuan mendampingi proses belajar anak didik dengan islamic methode, agar siap hidup sebagai seorang Australian di negara nan penuh dengan keberagaman. 

“An Australian School in the Islamic Tradition”


Saya tertarik dengan motto ini. Bagaimana menjadi seorang Australia? Menjadi seorang Australian berarti siap dengan perbedaan. Jangan bayangkan penduduk Australia hanya mereka yang berkulit putih. Kami peserta Muslim Exchange Program (MEP) selama dua minggu di Australia dipertemukan dengan orang-orang Australia beragam warna. Yang Chinese, Indian, Afghan, Pakistani, Turkish, Libanian, dll. Saat perkenalan, selalu saja kami bertanya, “Where do you come from?” karena tampilan fisik mereka yang beragam. Jawaban mereka selalu sama dan tegas, “I am Australian.” Pemandu kami  hanya tertawa, katanya, “Memang butuh waktu bagi orang Indonesia untuk menyadari bahwa orang Australia bukan hanya yang berkulit putih. Mereka yang wajahnya asia atau middle east, walaupun lahir dan besar di sini, tetap saja disangka pendatang.”

Rombongan MEP disambut di Istana
Gubernur Jenderal New South Wales
Dari sanalah, saya mencoba untuk meralat pertanyaan tersebut, dan mengendapkan dalam pikiran kalau orang Australia memang beragam. Warnanya, agamanya, etnisnya, dll. Dalam kesempatan penyambutan terhormat dari Gubernur Jenderal New South Wales, Jenderal David Hurley, menegaskan kepada kami betapa beragamnya Australia. Sebagai pimpinan negara bagian NSW, beliau selalu berusaha untuk dapat mengayomi setiap kebutuhan keberagaman tersebut.


Maka motto di sekolah Al-Siraat College tadi begitu menarik dan penting. “An Australian School in the Islamic Tradition”. Keunikan negara Australia yang penuh dengan perbedaan membuat tantangan sendiri bagi penyelenggaraan pendidikan di sana. Setidaknya ketika membacanya pertama kali, saya yang bergulat di dunia pendidikan ini langsung mendapat kesan begini, “Berarti sekolah ini menyiapkan anak didiknya untuk bisa hidup di Australia dengan segalam macam kondisinya; penuh perbedaan baik perbedaan etnis, agama, bahasa, dll.”

Benar saja. Di sekolah islam ini, perbedaan itu tidak dihindari atau ditutupi. Anak-anaknya berasal dari beragam etnis. Gurunya? Tidak semua muslim, padahal sekolah Islam. Bahkan Kepala Sekolahnya pun bukan muslim. Ini sesuatu yang baru bagi saya, karena belum menemukannya di Indonesia. Saat mempresentasikan profil sekolahnya, dengan rendah hati beliau menyilakan guru-guru muslim menjelaskan bagian konsep keislaman. Mereka juga menerima pelamar guru yang beragama lain, asal bukan untuk mengajar di pelajaran agama, dan mau mengikuti aturan sekolah. Seperti, bagi guru perempuan bersedia menggunakan pakaian tertutup termasuk berkerudung. Apa tidak merasa terpaksa? “Saya suka! Karena setiap pagi tidak harus memikirkan bagaimana menata rambut. Tinggal ditutup pakai kerudung, siap deh mengajar ke sekolah!” begitu kata salah satu testimoni guru yang non muslim mengajar di sekolah Islam.

Menyelenggarakan pendididkan untuk siap menjadi seorang Australian juga berarti menyiapkan murid dengan lingkungan dan profesi yang beragam, serta memiliki pikiran terbuka. Saat dibawa keliling seputar ruangan-ruangan sekolah, kami melewati ragam ruangan workshop. Ada ruangan memasak lengkap dengan alat masaknya yang canggih-canggih. Ruangan seni, pembuatan material dari logam dan plastik, olahraga, bahasa, dll.  

Setiap kelas selalu dilengkapi dengan jendela besar-besar. Dengan jendela besar itu, pemandangan langit biru dan hamparan padang hijau terlihat sangat indah menemani pembelajaran berlangsung. Anak tidak dibatasi dengan ruang kotak tertutup, tapi dibiasakan dengan distraksi-distraksi alami dari alam. Toh, hidup memang penuh dengan tantangan, kan? Pendidikan yang terbaik adalah yang bukan hanya menyiapkan anak untuk hidup, tapi membiarkan mereka mencecapi langsung bagaimana kehidupan itu.


Desain sekolah ini juga dibuat terbuka. Banyak ruangan terbuka di antara kelas-kelas dengan langit-langit yang tinggi membuat ruangan semakin terkesan lapang. Saat memasuki gedung SD, saya dibuat jatuh cinta dengan dinding ruangan yang tak dibiarkan kosong. Dinding-dinding itu penuh dengan hasil karya seni murid yang warna-warni. Tidak ada yang seragam, semuanya beragam. Dengan begini setiap anak akan merasa berharga, dan di waktu yang bersamaan mereka menghargai karya orang lain yang berbeda dengannya.

Ada satu lagi yang menarik dari bangunan sekolah Al-Siraat. Beberapa bangunan seperti bangunan ruang karyawan, guru dan toilet dibuat dari bekas kontainer. Sebenarnya ini bangunan sementara sambil menunggu bangunan permanen jadi. Kontainer-kontainer ini bisa dipindahkan kapan saja. Iya, portabel gitu. Sangat fleksibel. Menghadapi kehidupan yang penuh perbedaan memang butuh fleksibilitas yang tinggi. An Australian School banget..



Balcombe Grammer School


Sekolah kedua yang kami kunjungi adalah Balcombe Grammar School. Apa yang saya temui di sini membuat saya terkejut berkali-kali. Seakan kompakan dengan Al-Siraat Islamic Colege, sekolah inklusif kristen ini juga menyiapkan anak-anaknya agar siap menjadi seorang Australian juga.
Sebagaimana klaim saya sebelumnya, sekolahnya orang Australia haruslah sekolah yang menyiapkan anak didiknya akrab dengan perbedaan. Bagaimana bisa akrab dengan perbedaan jika tidak didahului dengan pengetahuan tentang masing-masing perbedaan tersebut?

Di Balcombe Grammar School ini dipelajari berbagai keragaman etnis, agama, dan sejarah. Kami berkesempatan terlibat aktif di kelas sejarah dan kelas perbandingan agama. Di sana ada 10 murid SMA yang sudah menunggu kami, siap dengan pertanyaan-pertanyaannya tentang Islam. Mereka antusias, karena mereka senang mempelajari sesuatu yang berbeda. Bagi mereka, adanya perbedaan adalah untuk saling mengenal. 

Selama diskusi berlangsung, ada seorang Bapak-bapak yang terus mengamati diskusi kami. Saya berbisik bertanya kepada murid yang jadi pasangan diskusi, siapakah beliau? Dengan nada bangga, anak itu mengenalkan bahwa beliau adalah guru sejarahnya. Guru yang mengajarkan agama-agama di dunia. Yang selalu terbuka mengajak anak didiknya menganalisa dan berdialog sehat tentang perbedaan agama. Dari sanalah rasa penasaran saya terjawab. Tadinya saya penasaran bagaimana cara guru mereka mengajar hingga anak didiknya memiliki pemikiran terbuka dan dengan dewasa berdialog. Ternyata gurunya membiasakan mereka melakukan riset, dan dialog terbuka face to face seperti ini. Dari pengetahuan inilah si anak diharapkan bisa memiliki keterbukaan terhadap keberagaman yang ada di sekitarnya. Dan itu saya rasakan sendiri. Menyaksikan mereka dengan terbuka menerima penjelasan saya tentang isu-isu Islam seperti jihad, terorisme, dll. Saya juga melihat proses pendidikan di sini menjadikan murid sebagai pelaku utama, sehingga menumbuhkan kepercayaan diri mereka dalam memiliki pendapat dan bersikap.


Kepercayaan diri itu membuat mereka mengetahui apa yang dibutuhkan bagi dirinya sendiri. Saat saya bertanya kepada Jameela, siswa kelas 10 SMA, mengenai alasannya memilih kelas interfaith, dia menjawab dengan mantap, “Aku pilih kelas Interfaith karena ke depannya aku bakal bekerjasama dengan banyak orang dengan latar belakang yang berbeda. Oleh karena itu aku harus tahu tentang agama-agama. Ini berguna banget buat masa depanku. Berguna agar bisa bergaul dengan banyak orang.” Seumur dia karakternya sudah begitu kuat. Sudah tahu ke depannya akan menjadi apa, dan tahu juga apa yang dibutuhkannya. Saya semakin penasaran ingin bertemu dengan para guru, dan pimpinannya.

Selesai berdiskusi seru dengan mereka, kami diajak ke ruangan hall lagi. Dari ruangan tersebut kami bisa melihat langsung hamparan laut biru, sebab lokasi sekolah ini di atas bukit. Bertambah sempurna dengan udara pegunungannya yang sejuk. Pantas saja murid-murid di sini amat betah, kreatif, dan ekspresinya keluar. Alam sungguh memainkan peranan penting dalam pendidikan.
Di ruangan hall sekolah, ternyata makan siang sudah disiapkan. Menu makanannya amat nikmat. Mereka sengaja memesan menu makanan halal dari Burma yang dimasak oleh orangtua salah seorang muridnya.

Di sanalah kami bertemu dengan Kepala Sekolah yang ramah dan enerjik. Beliau disertai beberapa guru serta pengurus sekolah. Dalam santap siang yang hangat itu saya sampaikan kepada Kepala Sekolahnya, Mr. Matthew Dodd, tentang rasa kagum saya terhadap karakter murid-murid Balcombe School. Selama tur lingkungan sekolah, kami dipandu oleh murid-murid SMP yang dengan cakap menjelaskan tiap detil area sekolah, menjelaskan kegiatan-kegiatan yang berlangsung, dan dengan bangga juga memperkenalkan karya seni siswa dari berbagai level. Menyaksikan karya seninya, saya tidak percaya bahwa itu dibuat oleh anak-anak usia sekolahan. Sangat kreatif. Pemaparan mereka juga sopan, dalam dialog interfaith mereka kritis namun tetap sopan, terbuka, menghormati tamu, dan mengapresiasi pendapat. Akhirnya saya bertanya kepada Kepala Sekolah, apa kunci dari semua kesuksesan ini?
Mr. Matthew Dod berdasi biru sedang menceritakan filosofi sekolahnya.

Beliau tersenyum menyimak kesan kami, dan berkata, “Kami selalu berusaha menyambut tamu dengan hospitality, maka segala cerita di sekolah kami dapat tersampaikan dengan baik. Saya rasa itu diajarkan semua agama, ya?”
Semua pemaparannya rasanya layak dijadikan kata-kata mutiara dunia pendidikan. Tiap yang saya saksikan dan rasakan dari sekolah inklusif ini ternyata memang cerminan dari jati diri kepala sekolahnya. Beliau ingin tamu yang berkunjung ke sekolahnya, lalu bisa bertemu para muridnya as a person, not as a place. Beliau yakin setiap orang akan merasa berharga ketika diajak berpartisipasi. Karena itulah para muridnya dilibatkan dalam penyambutan, dan para tamunya dilibatkan dalam proses pembelajaran mereka. Pada proses pembelajaran pun para murid dijadikan sebagai pelaku utama. Kepala sekolah yang rendah hati ini bercerita bagaimana dia mendidik muridnya agar menghargai proses. Dengan memberikan sejumlah uang yang nilainya besar, beliau menantang muridnya untuk membuat café di lingkungan sekolah. Mulai dari desain ruangan, apa yang akan dijual, rencana anggaran, strategi marketingnya, hingga ke pelaporannya, semua dilakukan oleh murid. Bapak yang mengepalai bagian kurikulum menambahkan, bahwa pendidikan di sekolah ini terpusat dari dua poin utama, yaitu integrated (banyak pelajaran terintegrasi dalam satu tema) dan experience based (anak-anak meng-alam-i langsung pembelajaran).
Cafe yang dibuat oleh Siswa Balcombe Grammar School

Desain furniture, produksi makananya, dan strategi marketingnya juga dilakukan oleh para siswa
Begitu juga dengan hukuman. Ada salah satu hukuman di sekolah ini yaitu dengan memberikan benih tumbuhan. Murid yang terkena hukuman harus menanam benih tersebut, dan merawatnya hingga berbuah. “Let them growing, enjoy, and learn from the process,” satu kata mutiara lagi yang keluar dari Bapak Kepala Sekolah.

Balcombe Grammar School juga memiliki program homestay dalam rangka menjembatani dua budaya yang berbeda. Di program homestay ini, host family yang berasal dari Australia menyambut student yang berasal dari luar sebagai bagian dari keluarganya. Kedua belah pihak saling mempelajari keberagaman satu sama lain. Dan program ini amat melibatkan emosi. “Dengan melibatkan emosi, proses pembelajaran apapun akan lebih mendalam. Khususnya program homestay ini, bisa menjembatani dua budaya yang berbeda akan sangat intensif. Ini juga usaha kami mewujudkan sekolah inklusif.” Kata Kepala Sekolah menjelaskan.

Betul sekali. Terlebih yang terlibat di sini bukan hanya anak didik saja, tapi juga keluarga. Salah satu contohnya, ada murid yang berasal dari keluarga Australia menjadi host family murid asal Cina. Dengan program homestay ini, di antara keduanya terjalin hubungan emosi yang kuat. Saling mempelajari budaya dan agama satu sama lain. Saya jadi teringat dengan seorang kawan yang penah satu tahun menjadi murid pertukaran di Amerika. Antara kawan saya ini dengan host familynya terjalin ikatan yang kuat hingga sekarang. Host family-nya menjadi paham tentang agama Islam, karena sehari-hari menyaksikan langsung bagaimana kawan saya mempraktikkan ajaran Islam. Dari pemahaman tersebut, host-family-nya punya respect yang tinggi terhadap Islam.
Saat memberikan cinderamata "Si Cepot" kepada Sekolah Balcombe. Saya menemukan persamaan antara sekolah ini dengan karakter Cepot yang disukai oleh semua orang karena keterbukaan dan kerendahanhatinya.

Bersama siswa-siswi SMP Balcombe yang menjadi pemandu kami.

Setiap poin penting yang saya dapat dari kesuksesan sekolah ini, rasanya seperti ditarik balik kepada apa yang sudah saya lakukan bersama tim dalam dunia pendidikan. Selama membuat konsep besar untuk tiga sekolah dari berbagai level ataupun melatih para guru dan menjalankan pembelajaran, Mentor kami selalu menekankan pentingnya memahami sesuatu yang berbeda, perbedaan justru jadi bahan pembelajaran yang kaya, menghargai manusia dengan memanusiakannya, baik itu murid ataupun guru. Memanusiakan murid dengan menjadikannya lakon utama pembelajaran. Memanusiakan guru dengan terus memberikan mereka media belajar dan penghargaan yang mulia. Mentor kami juga senang sekali membuat pembelajaran yang melibatkan emosi manusia yang paling intim; bahagia, sedih, terkejut, menyesal, bahkan marah. Dengan emosi-emosi itu pembelajaran yang didapat lebih melekat.

Menyaksikan kebaikan-kebaikan yang ada pada Balcombe Grammar School membuat saya optimis terhadap apa yang sudah dan tengah dilakukan. Barangkali saat ini belum terlihat hasilnya, malah Allah perkenankan melihat hasil orang lain dulu yang memiliki pendirian yang sama. Jadi semakin mantap terhadap apa-apa yang sudah, sedang, dan akan dilakukan kami di dunia pendidikan.

Semua nilai yang disebutkan di atas adalah nilai-nilai yang sangat islami. Jika Al-Siraat Islamic College memiliki motto “An Australian School in the Islamic Tradition”, kalau dibolehkan saya ingin memberikan motto pada Balcombe Grammar School, yaitu, “An Australian School, with islamic values”. Setidaknya itulah kesan yang saya rasakan. Kehangatan mereka menyambut tamu menempati ruang tersendiri di hati kami. Tidak aneh sekolah ini bisa tumbuh dalam kurun waktu kurang satu dekade. 

Dari Motto "An Australian School..." ke Pesantren

Dari motto “An Australian School in the Islamic Tradition”, saya melihat pengejewantahannya adalah dengan menyelenggarakan pendidikan yang seirama dengan peribahasa, dimana kaki berpijak, di situ langit dijunjung. Pendidikan kedua sekolah ini terterima di Australia, karena mereka memiliki pengetahuan yang baik akan adat istiadat setempat.

Saya seperti diajak bercermin tentang pendidikan di Indonesia. Kita memiliki lembaga pendidikan tertua dan orisinil yaitu Pesantren. Banyak pesantren salaf dinamakan para kiainya dengan nama dusunnya. Seperti Pesantren Cipasung di Tasikmalaya, Pesantren Babakan Ciwaringin di Cirebon, Pesantren Tebu Ireng di Jombang, dll. Agar apa? Penghormatan terhadap masyarakat setempat. Di Pesantren juga terkenal budaya ngalogat, yaitu memberi makna pada Kitab Kuning. Bahasa yang digunakan saat ngalogat tergantung pada lokasi pesantrennya. Jika pesantrennya ada di tanah sunda, maka memberi makna pada Kitab Kuning dengan bahasa Sunda. Begitu pula jika di tanah Jawa. Soal pendidikan karakter, Pesantren telah memulainya jauh-jauh hari. Santri tidak hanya belajar mengaji, tapi juga mengaji diri. Mandiri mengurus diri, berinteraksi dan melayani masyarakat. Di Pesantren pun seorang santri terbiasa dengan perbedaan, karena santri-santri di sebuah pesantren berasal dari berbagai daerah Indonesia. Mereka juga dibuat akrab dengan perbedaan mazhab dan ikhtilaful ulama. Semua itu dilakukan karena para Kiai tahu betul, bahwa pesantren benar-benar an Indonesian school. Sekolah untuk orang Indonesia, yang mempelajari keindonesiaan, agar dapat hidup dan berkarya untuk Indonesia.

Pendidikan yang begni, yang menurut hemat saya, pendidikan terbaik. Pendidikan yang memanusiakan manusia, setiap pihak tidak pernah berhenti belajar, kepemimpinan yang penuh teladan, dan komitmen terhadap nilai-nilai yang diusung.




***
Nati Sajidah
Konsultan Pendidikan
Alumni Muslim Exchange Program (MEP 2018) Australia-Indonesia