Thursday 29 October 2015

Yang Mengutuk Yang Menyayangi

Selama ini hanya mendengarkan dan menyimak taushiyah dan keberlimpahan ilmu Buya Yahya dari media Al-Bahjah baik streaming tc, radio, atau kumpulan artikelnya di Web Buya ini. Jadi ketika dapat kabar Buya ada majlis di Bandung, senangnya bukan main. Sampai berdegup hati ini ketika pertama kali menatap dan mendengar langsung Buya menyampaikan nasehat. Kemarin, 28 Oktober 2015, adalah kali kedua aku ikut pengajian Gurunda Buya Yahya di Masjid UPI Bandung. 

AlMukarram Buya Yahya

Yang Mengutuk

Seorang jama'ah bertanya tentang hukum banci dalam Islam, dan bagaimana pelaksanaan ibadahnya.

Buya Yahya menjawab, "Banci itu ada beberapa kategori. Ada yang terlahir dengan dua kelamin, untuk kategori ini Islam telah menyediakan aturan-aturan ibadahnya secara khusus. Ada juga banci dalam artian laki-laki berdandan dan berprilaku layaknya wanita, ini Allah kutuk. Dan CUKUP ALLAH yang mengutuk. Buya belum ada kesempatan nyamperin banci-banci itu, belum tahu kenapa mereka melakukan hal itu. Jadi Buya tidak BERANI untuk mencap, atau menghakimi mereka."

Semoga Allah Swt melimpahkan kasih sayang pada Buya. Memberikan keteladanan kepada kami, bagaimana seharusnya bersikap. Manusia seringkali mengambil wilayah yang bukan wilayahnya. Seperti mengutuk manusia lain, atau mengkafirkan. Padahal kita belum sempurna betul mengetahui duduk perkaranya. Biarlah Allah yang mengutuk, karena Dia yang Maha Mengetahui. Apa ada yang dapat menandingi kutukan dan azab Allah Swt? Kita hanya bisa menyikapi dengan sebaik-baik sikap dan tetap husnuzhon. Cukup Allah yang mengutuk.

Dengan Kasih Sayang-Mu..

Pernah meminta sesuatu, lalu dikabulkan tapi dengan cara yang tidak enak? Aku ingat seorang kawan selalu mengandaikan berat badan yang ideal. Keinginannya itu tidak pernah luput dimasukkan ke dalam doa-doanya. Hingga suatu hari dia salah makan dan keracunan. Fatalanya dia mengalami diare akut berhari-hari. Setelah itu dia baru sadar doanya dikabulkan, dia kehilangan beberapa kilo! Tapi dengan cara sakit.

Apa ada yang salah dengan cara kita berdoa? Aku temukan tipsnya dari sepotong nasehat Buya kemarin. Buya Yahya berkata, ketika kita memohon kepada Allah Swt, awali dan akhiri  permohonan tersebut dengan asma kasihsayang-Nya.

Misal, seseorang terus menerus melakukan dosa yang sama. Dia sadar dia salah, tapi tak berdaya untuk keluar. Maka berdoalah minta kekuatan kepada Allah Swt, "Ya Allah yang Maha Penyayang, berikan aku kekuatan untuk berhenti dari maksiat dan dosa ini, dengan kasih sayang-Mu ya Allah.."

Bisa jadi Allah Swt mengeluarkan ia dari kondisi tersebut dengan kemahaperkasaan-Nya atau dengan kelembutan-Nya. Dengan kemahaperkasaan-Nya, orang itu bisa tiba-tiba celaka hingga tak bisa lagi melakukan dosa yang sama. Atau orang tersebut bertemu dengan seseorang yang dapat membimbingnya keluar dari kondisi maksiat. Dibimbing secara perlahan. Ini kemahalembutan Allah Swt.

Allah Mahaadil lagi Maha berkehendak atas pilihan kehendak-Nya, dan kita sebagai makhluk yang lemah hanya dapat bergantung kepada-Nya melalui doa-doa kita. Seringkali kita ini sombong, terlalu mengandalkan kemampuan diri. Maka doa adalah bukti kita ini hamba. Tak berdaya kecuali dengan Allah yang Mahakuasa.


Sunday 25 October 2015

Memilih Sikap



Ada dua cara untuk mengabadikan seseorang dalam pikiran, yaitu: mencintainya atau membencinya. Terbukti banyak manusia yang keluar masuk dalam kehidupan kita, namun yang membekas adalah yang dicinta atau dibenci, yang mencintai atau membenci kita.

Seorang pembenci tak memiliki waktu untuk mencintai. Bahkan jika pun ia dicintai, lebih banyak kecurigaan yang menghampiri. Segala sesuatu terlihat menyebalkan dan tak memuaskan. Mengapa? Karena hatinya diliputi kebencian. Seberlian apapun batuan, baginya tetap batu.

Seorang pencinta tak memiliki waktu untuk membenci, begitu pula ia tak punya waktu untuk sekedar menghiraukan yang membencinya. Bahkan ia balas kebencian dengan cinta. Karena ia tak punya bahasa kecuali cinta. Siapakah ia? Ialah lelaki agung, Nabi Muhammad Al-Musthofa. Ia balas caci maki kakek buta yahudi di pasar dengan cinta. Disuapinya tiap hari di tiap waktu makan. Dibelainya tanpa banyak kata. Mengapa Sang Nabi tak membalas segala tuduhan dan cacian si kakek? Tak bisa. Karena beliau hanya memiliki bahasa cinta.

Hari ini kita tak hidup bersama lelaki agung itu. Yang memiliki semesta cinta untuk setiap ummatnya, bahkan untuk setiap manusia. Hari ini cinta dikerdilkan. Hanya sebatas hubungan spesial antara dua manusia. Hari ini rasanya sulit untuk menumbuhkan cinta pada sesama, karena kebencian telah sedemikian dihidupkan. Apakah ia mengajarkan untuk mencintai sesuatu harus menghidupkan kebencian pada sesuatu yang lain?

Ada dua cara untuk mengabadikan; mencintai atau membenci. Pilihan kita akan menentukan bagaimana kehidupan kita. Sibuk mencintai hingga tak punya ruang membenci. Selalu positif dalam menyikapi segala sesuatu. Atau memilih sibuk membenci, hingga segalanya terlihat tidak beres, tak ada yang menyenangkan. Dan terlihat seakan semua pantas untuk dibenci.

Teringat nasehat Charles Swindoll, katanya, hidup kita ditentukan oleh hanya 10% saja peristiwa yang menimpa diri kita. Sebanyak 90%-nya adalah cara kita bereaksi terhadap yang 10% itu.

Demikianlah, saat ini, esok pagi, dan hari-hari berikutnya, akan ditentukan oleh sikap dan respons kita pada hal terderkat yang terjadi dalam hidup kita sekarang.

Kita memiliki dua pilihan landasan bersikap; mencintai atau membenci. Hidup ini sekali, tak sayang jika mendasari segalanya dengan membenci?


###
Natisa
12011437-25102015


Saturday 17 October 2015

Terusir Menuju “Rumah”







Tahukah kau tentang Rumah?
Ia tempat atau manusia?

Tuhan berkehendak,
Aku dikenalkan pada rumah, yang bukan tempat, bukan pula manusia.

Sore itu,
Saat genderang pekik keculasan manusia terdengar amat sayat,
aku mencari rumah.
Untuk hati yang kecewa
Untuk segudang tanya yang tersasar pada jawab
Untuk luka perih yang makin menganga
Untuk sebongkah hati dan jiwa yang terusir

Tertatih aku menapak mencari rumah
Mengetuk satu-satu
Mericau pada dia dan dia
Tapi dimana rumah?

Aku mencari rumah
Tapi rumah berbentuk itu tak mampu obati
Aku mencari rumah
Tapi manusia membuatku lelah

Kemudian bersajak pada bumi,
Mengapa keterusiran selalu pada apa yang terasa sudah dimiliki?
Mengapa kekecewaan selalu pada siapa yang telah dipercayai?
Mengapa luka justru ditoreh pada hati yang mencinta?
Mengapa dilepas saat sudah menggenggam?
Mengapa?

Bumi retak,
Oleh sebuah jawab yang berbisik,

Bukankah rasa keterusiran, kekecewaan dan luka itu 
timbul saat ada rasa me-mi-li-ki?
Bagi Tuhan mudah untuk memberi dan mencabut
Agar apa?
Agar kita mengaku tak punya apa-apa

Langit pecah,

Aku di sini kuyup
Aku di sini terasing
Aku di sini,
di beranda sebuah rumah

‘rumah’ keterlepasan dari segala rasa memiliki
‘rumah’ ketidakterpautan dari segala ambisi
‘rumah’ keterkosongan dari segala ‘aku’ yang ingin diakui

di sini,
di rumah kosong
yang hanya terisi Kemahaan Tuhan
keter-nol-an hamba

Terima kasih, Tuhan,
atas hadiah ‘rumah ini’


###
22 Jumada Ats-tsani 1435 H.

dan 

4 Muharram 1437 H, 
keterusiran itu terjadi lagi. 
Terima kasih, Tuhan.
Ini melegakan.
:)