Wednesday 30 September 2015

Manusia di Persimpangan Usaha dan Hasil



Tentang hasil,
Ia datang dengan dua pilihan; berhasil atau gagal. Membahagiakan atau mengecewakan. 
Jika manusia berlebihan dalam memikirkannya hanya akan membuat hati gelisah, karena memikul apa-apa yang bukan perkaranya. Tentang penentuan hasil, mutlak hak Tuhan.

Tentang usaha,
Ia berupa perjalanan. Menjanjikan sejuta rasa dan pengalaman.
Menapaki setiap jengkalnya adalah menikmati sejuk dan terik, landai dan terjal. Ditemani pemandangan yang menakjubkan. Inilah maqom manusia. Maka lakoni, hadapi, dan nikmati.

"(Dia) yang menciptakan kematian dan kehidupan. Untuk menguji di antaramu siapa yang paling BAIK AMALnya." (AlMulk: 2)

Hidup ini ternyata bukan tentang hasil. Melainkan tentang proses perjalanan membaikan usaha. Mengapa masih menggelisahkan hasil? 
Hidup ini bercocok tanam. Membaikan usaha dari proses awal sampai akhir. Dibarengi doa yang juga bagian penting dari usaha. Jika berdoa adalah berusaha, maka pengijabahannya mutlak hak Tuhan.

Hidup ini sepanjang nafasnya adalah berdoa. Dikabulkan serta merta, atau ditangguhkan, atau bahkan diganti dengan yang lebih baik, ah itu urusan Tuhan. Bukan bagian kita.

Hidup ini sepanjang hayatnya berdoa. 
Berdoa karena itu bagian usaha. 
Berdoa karena kita manusia. 
Berdoa karena kita cinta.


***
-Natisa
Jakarta, 30 September 2015



Wednesday 23 September 2015

Ibu Yusuf dan Segelas Teh Manis

Aku tak pernah tahu nama aslinya. Beliau biasa disapa Ibu Yusuf. Usianya sekitar 60-an lebih, tapi semangatnya luar biasa. Semenjak suaminya meninggal, Ibu Yusuf memilih untuk berkelana dari masjid ke masjid. I'tikaf dan menghadiri kajian-kajian. Salah satu masjid yang paling disukainya adalah Masjid Al-Hikmah, di Jl. Bangka, Mampang Prapatan, Jaksel. Tempatku dan kawan-kawan menghafal Al-Quran.
Waktu itu, tahun 2008 Jakarta dilanda banjir besar. Hujan deras sudah turun dari sore hari. Gemeletuk gigiku menahan dingin di lantai 3 Masjid Al-Hikmah. Aku dan beberapa kawan sengaja duduk di lantai keramik yang tak berkarpet, agar tidak diserang kantuk saat mengulang hafalan al-Quran. Sore begini seharusnya kami sudah pulang, tapi karena hari ini akan ada kajian ba'da isya, kami niatkan akan i'tikaf sampai esok pagi.

Di tengah murajaah, Ibu Yusuf datang. Seperti biasa beliau membawa dua jinjingan tas yang setia menemani perjalanannya. Bajunya basah terkena derasnya hujan di luar. Setelah menyalami kami satu per satu dan menyimpan bawaannya, beliau mengambil pakaian ganti, lalu pergi ke toilet untuk membersihkan badan. Tak lama berselang, Ibu Yusuf sudah sibuk mengeluarkan seplastik daun teh dan gula putih. Ini rutinitas beliau di setiap masjid manapun, beliau akan membuat teh manis beberapa gelas. Aku dan kawan-kawan selalu kebagian teh manis hangatnya. Harum daun teh asli serta hangatnya nikmat sekali. Tentang rutinitasnya ini beliau berkata, 
"Saya denger dari Pak Ustadz di Masjid anu, kita itu harus punya amal andalan. Amal andalan saya ya ini. I'tikaf di masjid sambil bikinin teh manis buat yang ada di masjid." Ujar Ibu Yusuf dengan logat jawanya yang khas. 
Aku berhenti menyeruput teh manis. Menatap kagum pada kesederhanaan beliau. Lalu amal andalanku apa ya?

"Nati, tadi saya dengar kajian di sini dibatalin. Ikut saya yuk, ke Masjid DT. Kita ikut kajian di sana aja. Setelah maghrib ini." Aku segera melihat ke balkon masjid. Hujan masih deras. "Bu, masih hujan. Emangnya ibu gak capek? Baru aja dateng udah mau pergi lagi."
"Nggak, kan udah seger minum teh. Ayo, kita naik bajaj aja." Sejujurnyaaa aku enggan ikut. Selain karena hujan deras, uang saku mahasiswi di akhir bulan selalu memprihatinkan. Tapi bukan Ibu Yusuf namanya kalau rayuannya gak nampol. Akhirnya aku mengikuti langkah Ibu Yusuf ke luar masjid. Tak disangka hujan benar-benar deras. Bajaj yang kami stop banyak yang menolak, hingga akhirnya ada juga bajaj yang kena rayuan maut Ibu Yusuf. Benar juga. Jalanan banyak yang ditutup. Banjir dimana-mana. Sampai di Masjid DT, hampir seluruh pakaianku kuyup. Bagaimana mau ikut kajian? Ibu Yusuf terkekeh melihatku yang manyun bete. "Kita di dapurnya aja. Masih kedengeran kok kajiannya. Sambil saya mau bikinin teh buat panitia di sini." Aku melongo. Ya Allah. Kayaknya beliau gak rela jika ada waktu yang terlewatkan tanpa kebaikan, tanpa amal andalannya. Ibu Yusuf dengan ceria membuat teh manis untuk sejumlah panitia. Saat aku membawakan baki dan membagikan teh manis, wajah-wajah para panitia itu cerah menyambut. Mungkin ini yang dirasakan oleh Ibu Yusuf, kebahagiaan dalam melayani mereka yang berbuat kebaikan. Indahnya.
Sebelum pulang, seorang dari mereka memberikan oleh-oleh kerupuk udang ke Ibu sambil menghaturkan terima kasih atas segelas teh manisnya yang nikmat. Waktu menunjukkan jam 10 malam dan hujan makin deras. Ibu Yusuf pengen pulang saat itu juga, agar bisa i'tikaf di Masjid Al-Hikmah. Aku ikuti saja. Hujan bukan mereda malah semakin deras. Bukan main derasnya. Dordar halilintar di luar sana membuat aku makin berpikir dramatis; bajaj ini bisa saja terguling terbawa arus banjir atau tertiup angin. Lalu aku ditelan hilang! Ibu Yusuf yang duduk di sampingku berbisik, "Nati, kamu bawa uang gak? 10 ribu ada?" Buyar drama ketakutanku, berganti jadi cemas. "Gak ada Bu. Cuma ada 5 ribu." 
Ibu Yusuf nyengir, "Sini 5 ribunya. Sisanya kita bayar pake kerupuk aja, ya?!" Belum sempat aku larang, Ibu Yusuf sudah 'menggoda' supir bajaj dengan sejuta jurus rayuannya, "Bang, kita ini abis pulang ngaji Aa Gym, kehabisan uang. Saya doain abang makin lacar rezekinya. Anak-anak Abang pada sholeh dan berhasil semua. Ini saya adanya 5ribu, terus kita punya kerupuk barokah nih dari pengajian. Abang bawa aja semuanya!" Aku menggigit bibir sambil tertunduk, tak kuasa melihat respon si Abang.
Tiba di Masjid al-Hikmah disambut kawan-kawan dengan wajah khawatir, dan juga kaget melihatku basah kuyup. Barulah dari mereka aku tahu, malam itu sejumlah daerah Jakarta lumpuh total. Jadi... baru saja aku bersama seorang Ibu usia 60-an tahun menerjang banjir? Bu, satu lagi yang aku pelajari dari ibu: kegigihan dalam berbuat baik!
Ada lagi yang membuat aku kagum pada Ibu Yusuf. Pernah suatu kali, kelompok tahfidz kami melaksanakan mabit untuk muraja'ah atau mengulang hafalan al-Quran 10 juz. Aku memilih untuk mengulang hafalan Juz 21 yang di dalamnya terdapat Surat As-Sajdah dan Luqman. Saat asyik muraja'ah dengan mata terpejam, tiba-tiba aku merasa ada yang ikut mengulang surat yang sama. Ternyata Ibu Yusuf yang mengikuti, dan tanpa melihat mushaf! "Ibu hafal al-Quran? Subhaanallah. Saya kalah!" Ibu Yusuf tersenyum merendah, "Gak pernah diniatin ngapal sih. Tapi dijadiin wirid aja." Lagi-lagi aku kagum. Subhaanallah. Amal andalan dan wirid adalah aktivitas yang membutuhkan keistiqomahan tingkat tinggi. Kita bisa saja semangat untuk satu hal, tapi menjaga semangat itu lebih berat.
Selepas kuliah, aku sudah jarang ke kawasan Masjid Al-Hikmah. Hampir 4 tahunan lebih tidak bertemu dengan sosok bersahaja itu. Menurut kawan-kawan yang tinggal dekat masjid, Ibu Yusuf sudah lama tidak terlihat di Masjid Al-Hikmah. Ingin sekali silaturahim lagi dengan beliau, tapi repotnya Ibu Yusuf tak pernah membawa ponsel. Anak-anak kandungnya protes karena sang ibu sulit dihubungi. Ibu Yusuf bersikeras tak mau punya HP, mengganggu ketenangan ibadah katanya. Dan lagi, "Kalau mau cari saya, ya tinggal ke masjid saja." Seperti hari itu. Sepulang kerja aku mampir ke Masjid Blok M Square untuk ngadem dan ikut shalat. Sekilas ada bayangan seorang ibu yang membawa dua tas jinjing. Langkahnya amat aku hafal, apalagi bau tehnya. "Ibu Yusuuuf!" Aku berteriak sambil menghampiri. Beliau masih seperti dulu betah berlama-lama di masjid. Kami berpelukan, kangen! "Ibu, ini kartu nama saya. Hubungi saya kalau mau ke Bandung atau mau ngajak i'tikaf bareng."
Beberapa bulan berlalu, hingga kemarin sore ada 2 panggilan tak terjawab dari nomor yang tak dikenal. Aku telpon balik. Suara di sebrang sana menyapaku hangat penuh kerinduan. "Natii, ini Ibu Yusuf. Inget kan?" Deg. "Ibuu, gimana kabarnya? Ibu dimana sekarang? Ini pakai HP siapa?" Aku membrondongnya dengan pertanyaan. Ibu Yusuf terkekeh. "Aku lihat kamu di koran Republika. Aku gemeeees. Aku bilang ke orang-orang aku kenal kamu. Pernah bayar bajaj pakai kerupuk.." tawanya berderai. Aku geli dan juga haru. Beliau banyak mengajariku kesungguhan yang tulus. Ketulusan yang sungguh.
Betapa capaian diri kita hari ini adalah kebaikan-kebaikan orang di sekitar kita. Kepemurahan Allah menutup aib diri. Dan semoga hanya kebaikan yang bertambah di setiap detiknya.

Rasanya tak ada yang bisa menyaingi Teh Manis rasatulus-mu, Bu.

---
Tol Cipularang, 12 Jan 15



Monday 21 September 2015

Agar Bermanfaat? Jadilah Egois!


Sebuah pesan masuk melalui salah satu messenger. Ungkapan sama dari orang yang berbeda, yang selama beberapa bulan terakhir ini sering menyapaku;
"Terima kasih, sudah menuliskan Crayon Untuk Pelangi Sabarmu. Benar-benar menjadi sahabat meneguhkan kesabaran."

Ya Rabb. Selalu bahagia saat menerima ungkapan senada. Jika bukan karena Allah, satu aksara pun aku tak bisa menuliskannya. Jika tanpa izin-Nya, tak akan ada buku ini. Tak akan berbekas apa pun. Ini semua tentang kuasa Allah. Aku hanya raga yang diperkenankan untuk menjadi perantara. Dan aku bersyukur karenanya.

Menurut mereka, seakan-akan aku menuliskan buku ini khusus untuknya. Padahal tak. Murni ini kuasa Allah. 

Seperti saat aku mendapatkan komentar untuk salah satu postingan di blog ini. Dia bertanya bagaimana caranya agar bisa bermanfaat untuk orang lain lewat tulisan? Aku mencoba mencari jawaban yang pas. Tapi aku gagal menemukannya. Karena aku merasa tak pernah benar-benar merencanakan skenario menjadi orang yang selalu memberi manfaat. Mungkin juga karena aku masih jauh dari maqom tersebut. Yang aku lakukan kemarin dan saat ini, hanya menjadi diri sendiri. Terus belajar dan belajar. Pun saat menulis. Aku berusaha menasehati diriku. Merekamnya dalam jejak tulisan. Aku wanti-wanti diriku; orang pertama yang mendapatkan manfaat dari tulisan ini adalah diriku. Orang pertama yang harus mengamalkan semua nasehat dalam buku ini juga diriku. Bahkan jika tak ada satu pun yang membacanya, maka buku ini lahir untuk pembaca tunggal, yaitu aku. 

Peringatan itu yang selalu guruku wasiatkan, jadilah egois saat beramal. Melakukan segala jenis kebaikan untuk diri sendiri. Dengan begitu, kita akan mengupayakan yang terbaik dari yang kita bisa. Kebaikan akan menebar magnetnya ke sekitar, sehingga akan mengundang penerima manfaat. Untuk kita sebagai pelaku, kita hanya bertugas melakukan kebaikan. Apakah kebaikan itu kemudian bermanfaat untuk orang lain atau tidak, hanya Allah yang berkuasa menggerakkan hati hambaNya. Tugas kita melakukan kebaikan dengan kemampuan terbaik saja. Kebaikan, sebelum ia berguna untuk orang lain, diri kitalah penerima manfaat pertamanya. Begitu pula dengan kejahatan. Sebelum kejahatan kita merugikan orang lain, diri kitalah yang pertama kali merugi. Lakukan kebaikan semata-mata karena kita berhajat atas kebaikan itu, karena kita membutuhkannya. Perkara kebaikan itu berguna atau tidak untuk orang lain, biarlah Allah Swt yang mengatur. Allah ta'ala pemilik dan penggerak hati. 

"Jika kamu berbuat baik [berarti] kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri."  (QS. Al-Isra: 7)

Kembali ke pertanyaan di kolom komentar tadi, bagaimana caranya agar dapat bermanfaat untuk orang lain? Aku berusaha menjawabnya sekaligus menasehati diri; jadilah diri sendiri, jadiah egois! Lakukan kebaikan apa pun yang dimampu, semata-mata karena hajat diri dan mengejar ridha Allah. Selain itu, serahkan semuanya kepada Allah Sang Pengatur.


-Natisa


***
Tentang 'Jadilah egois saat beramal' diulas lebih lengkap di Buku Crayon Untuk Pelangi Sabarmu pada halaman 80.


Thursday 17 September 2015

Melepaskan Belenggu Menjemput Kenikmatan Syahdu

Tahukah, kawan. Jika kau tak lakukan hal ini, maka 3 ikatan setan akan terus mengikatmu sepanjang hari. Menjadikan badan malas bergerak, tak berhasrat berkebaikan, galau hati yang tak menentu dan segala belenggu itu membuat hari tak produktif. Hal apa itu? Apa 3 ikatan itu?


Rasulullah shallallahualaihi wa sallam bersabdaSetan mengikat pada tengkuk setiap orang di antara kalian dengan 3 ikatan (simpul) ketika kalian akan tidur. Setiap simpulnya ditiupkanlah bisikannya (kepada orang yang tidur itu): “Bagimu malam yang panjang, tidurlah dengan nyenyak.” Maka apabila (ternyata) ia bangun dan menyebut nama Allah Ta’ala (berdoa), maka terurailah (terlepas) satu simpul. Kemudian apabila ia berwudhu, terurailah satu simpul lagi. Dan kemudian apabila ia sholat, terurailah simpul yang terakhir. Maka ia berpagi hari dalam keadaan segar dan bersih jiwanya. Jika tidak (yakni tidak bangun sholat dan ibadah di malam hari), maka ia berpagi hari dalam keadaan kotor jiwanya dan malas (beramal shalih).” (Muttafaqunalaih)

Bayangkan jika hari-hari kita berlalu tanpa shalat malam. Berapa ikatan setan yang membelenggu kita? Tak perlu heran lagi jika hati sering galau, tak tenang, tak berhasrat melakukan apa-apa, rasanya hanya ingin bermalas-malasan, dan hobi sekali menunda-nunda pekerjaan. Sebabnya karena diri merelakan untuk dibelenggu setan.

Bangunlah di seperti malam. Rasakan sejuknya air wudhu membasahi tubuh kita. Masuk ke dalam pori-pori. Melancarkan peredaran darah yang sebelumnya istirahat. Bukalah jendela lebar-lebar. Menghirup udara segar hingga masuk ke paru-paru. Lalu menggelar sajadah penuh pengharapan di kesunyian malam. Hati bergetar, "Duhai Tuhanku, aku datang saat manusia terlelap. Aku datang memenuhi panggilanMu. Di waktu saat Engkau menyeru, 'Adakah hamba yang meminta? Akan Kuberi.' Maka duhai Tuhanku, aku datang dengan segenap jiwa. Di sepertiga malam, dengan segudang keluh dan semesta harap."


"Allahu Akbar"
Takbir memecah sunyi. Mengagungkan Penguasa gelapnya malam. Mengerdilkan segala selain Ia. Semuanya tiada. Hanya Ia. Bahkan ujian atau mushibah yang dihadapi, segalanya lenyap. Larut bersama hening dan doa shalat. "Tuhanku, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untukMu. Mengapakah aku masih dihiraukan oleh hiruk pikuk dunia, jika tujuan hidupku sebenarnya bukan untuk itu? Bukankah aku hidup untukMu? Maka duhai Tuhanku, jika dengan ujian ini aku dapat meraih ridhaMu, ridhakanlah aku. Jika dengan ujian ini aku dapat terus ibadah kepadaMu, ridhakanlah hatiku. Jika dengan ujian ini aku dapat menjemput kematian terindah, ridhakanlah Aku. Jika dengan semua ini Engkau ridha, maka karuniakanlah aku hati yang ridha. Duhai Tuhanku yang Mahakasih..."

Hamba menyelami sunyi malam yang pikuk oleh kenikmatan syahdu. Bagaimanakah menjelaskan kebahagiaannya? Kebahagiaan bertemu menghadap Sang Pencipta. Merasa ditatap penuh kasih. Merasa disimak dengan mesra. Dan didekap dalam kemahalembutanNya.

Hati sang hamba ruah dengan ketentraman yang tak terdefinisi. Lebih dari sekadar jawaban akan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini menyesakkan hatinya. Lebih dari sekadar kalimat hiburan yang biasa ia terima dari orang-orang sekitar. Ketentraman tak terdefinisi. Bahkan definisi kata telah gagal merangkai. Ini kebahagiaan yang purna.

3 ikatan itu terlepas dengan cerai berai. Maka sang hamba penuh ceria menyambut hari. Senyum tak lepas dari wajahnya. Lisannya tak berbicara kecuali kebaikan. Akalnya yang telah tersejuki air wudhu dan udara sepertiga malam, menjadi amat mudah berpikir mencerna. Hatinya penuh suka cita mengerjakan segala pekerjaan di hadapan. Tangannya selalu siap membantu. Kakinya ringan melangkah berkarya. Hari-harinya bahagia. Karena ia hidupkan seperttiga malam, memenuhi panggilan, mendirikan shalat. Menghadap penuh ketaatan.