Sunday 25 December 2016

Ya Sudahlah .. Sampai Mati


Keingininan kita untuk menggapai sesuatu, sebab menganggap sesuatu tersebut itu amat indah, amat megah jika kita raih. Lalu benak dipenuhi angan yang mengandai. Membayangkan bagaimana diri berada di posisi yang diinginkan. Meraih apa yang diimpikan. Seakan surga dunialah di sana; jika semua yang diinginkan tercapai. Layaknya seorang anak kecil yang dihadiahi baju lebaran oleh ibunya. Jauh hari sebelum hari raya tiba, matanya tidak pernah lepas dari pakaian barunya itu. Membayangkan bagaimana eloknya ia, semua mata memandang padanya, dan ia merasa menjadi anak yang paling bahagia. Oh indahnya bermimpi. 

Nyatanya, sering kali apa yang diimpikan lebih indah daripada ketika menempuhnya. Mengapa? Karena ketika kita memimpikannya, kita tak harus melewati aral rintang, tikungan-tanjakan. Seperti ketika kau melihat pegunungan yang indah dari kejauhan. Indah. Apakah mau menuju ke sana? Siapkah dengan segala kejutannya? Ketika terus menempuh menujunya, terus menghadapi segala rintangannya, tapi seakan tak pernah jua sampai, apa yang akan dilakukan? Aku akan berdendang lagu Ya Sudahlah dari Bondan Prakoso feat Fade2Black ini...
Ketika mimpimu yang begitu indah,
tak pernah terwujud..ya sudahlah
Saat kau berlari mengejar anganmu, 
dan tak pernah sampai..ya sudahlah
Ya sudahlah, nikmati saja perjalanan ini, sambil terus memiliki kekaguman pada apa yang diangankan. Adapun capaian yang tak sesuai target waktu, hey, bukankah kita bisa membuat target yang baru? Atau sekalian saja tak usah lagi membuat target, dan mulailah menikmati perjalanan ini. 

Kawan, langkah kita menuju apa yang diimpikan tetaplah terhitung sebagai usaha. Tengok ke belakang, begitu banyak yang telah kita lakukan dan taklukan. Ego diri, ketakutan yang mencekam, keputuasaan yang datang tiba-tiba; kita telah banyak melalui itu semua. Dan betapa indah kepribadian yang telah terbentuk dari semua tempaan itu. Jika kau lelah memandang ke impian di depan yang seakan tak pernah tercapai, bolehkanlah dirimu menengok ke belakang. Berikan keistimewaan pada dirimu, dengan apresiasi segala capaiannya. Sungguh, betapa berharganya seorang diri yang terus berusaha dan bersabar atas segala ambisi yang ada. 
Apapun yang terjadi, ku kan slalu ada untukmu
Janganlah kau bersedih..coz everything’s gonna be OKAY

Yak. Kau tak pernah sendiri. Ada 'aku' di dalam aku. Ada AKU pada aku. 
Semua akan baik-baik saja, selama kita berusaha dan miliki keyakinan. Jika pun impian itu tak pernah tercapai, bukankah indah memandang pegunungan itu dari kejauhan? Ikhlaskan diri pada kondisi kini, dengan tak berhenti mengayuh langkah lagi. Barangkali kita tak disampaikan ke sana dengan tepat, sebab Tuhan melindungi kita dari bahaya yang tak pernah kita tahu. Bukankah kita sepakat, sering kali Tuhan menguji sekaligus melindungi. Menolak, tapi sebenarnya memberi. Banyak sekali yang kita dapat dari permintaan yang (seakan) ditolak, seperti kejadian-kejadian yang bisa saja tidak pernah terjadi jika kita tidak ditolak; pertemuan-pertemuan yang istimewa, hati yang berbicara penuh bijaksana. Semua itu pemberian ketika permintaan ditolak. Sadari begitu banyak yang kita peroleh, melebih apa yang kita minta dan impikan. 

Jika menoleh ke belakang sudah dilakukan, mari kita melaju lagi. Ini sebuah perjalanan yang menyenangkan, bukan? Kau dapat berjeda untuk beristirahat, atau memperbaiki perbekalan yang ada.

Hey, mari kita berdendang lagi. Kali ini dari Letto, Sampai Nanti Sampai Mati:

Kalau kau kejar mimpimu...salut
Kalau kau ingin berhenti..  ingat tuk mulai lagi
Tetap semangat, dan teguhkan hati
Di setiap hari, 
sampai nanti, 
sampai mati
...
Tetap semangat dan teguhkan hati
Di setiap hari sampai nanti
Tetap melangkah dan keraskan hati
Di setiap hari
sampai nanti, sampai nanti, 

sampai mati.
Selama nafas dihembus, selama itu pula kita akan berusaha. Sampai mati.
Sebab kita ketahui pasti, Tuhan tak pernah membebani agar kita capai sebuah status. Melainkan hanya diperintah berusaha. Tuhan tak pernah membebani agar kita pintar, hanya meminta untuk selalu terus mencari ilmu. Dia pun tak pernah memerintah kita untuk kaya, hanya meminta kita untuk selalu menjemput rizki-Nya. Dia sayangi kita, Dia hanya meminta kita berusaha. Sampai mati.



***
Natisa
Bandung, 25 Desember 2016





Sunday 16 October 2016

Ketika Tulisanmu Di-copas

Secara manusiawi mah yah.. Tulisan sendiri dikutip tanpa sumber, dan disebarluaskan, dan dianggap sebagai tulisannya...itu rasanya atiiit... Sakitnya tuh entah dimana. Hehe.
Dan di situlah momen buat kembali nengok niat nulis, apakah untuk diakui-dikenali nama diri atau agar tersampaikan pesan? Jika tujuannya yang kedua, pada kenyataannya pesan tersampaikan bisa dengan atau tanpa nama si penulis. Hanya saja ada yang dilanggar di sini. Pelanggaran tata kaidah pengutipan. Kalau kata temen saya mah, Nisa'ul Fithri Mardani Shihab, ini tentang beradab atau tidak seseorang dalam membuat tulisan. 
Kita memaafkan pelanggaran, dan karena menyayangi dia yang melanggar maka kita memberikannya teguran atau pelajaran.

Kalau alasan tidak mengutip sumber asli itu agar terlihat orisinil hasil pemikirannya, justru sebaliknya..dengan mengutip sumber aslinya di situlah intelektualitas seseorang terlihat.
Pada akhirnya, si saya memahami rasa sakit diplagiasi itu wajar adanya. Dan menasehati diri dengan nasehat Aa Gym bagaimana menyikapi seseorang yang berlaku buruk kepada kita, yaitu dengan menjadikannya:
 Ladang bersyukur bukan kita yang bersikap jelek 
 Ladang menegur diri, agar kita tidak melakukan hal yang sama
 Ladang memaafkan dan mendoakan kebaikan yang berlaku jelek pada kita.

Alhamdulillaah 'alaa kulli haal.. Jadi bener kata guru saya, hidup mah seni bagaiamana MENYIKAPI kejadian-kejadian.
Masih kata Aa Gym, "Ga ada ruginya dibenci, yang rugi itu kalau kita yang jadi pembenci."
Iyah, gak ada ruginya diplagiasi, yang rugi itu kalau kita yang jadi plagiator.
Aa nambahin lagi, "Yang membahayakan diri kita adalah keburukan diri sendiri, bukan keburukan orang lain."
Duh, hatur nuhun yah, hey kamu yang memplagiasi.. Saya jadi ngerasa ngena gini dinasehatin Aa. ^_^

###
Nati Sajidah


Monday 10 October 2016

Salah Kirim Buku dan Cara Kerja Tuhan yang Tak Terduga

Tadi pagi ngirimin buku Crayon Untuk Pelangi Sabarmu ke salah satu pembaca, sebut saja namanya Bunga, pakai jasa GoSend karena alamatnya masih sekitaran Bandung. Dia ngasih alamat di Perumahan Tentram Indah (tentunya alamat asli disamarkan).
Dikirimlah buku tersebut pagi sekitar jam 7. Setelah Mamang GoSend sampe rumah Bunga, ga ada siapa2, satpam perumahan juga ga ada. Bunga ditelpon juga gak ada jawaban. Mamang GoSend nelpon aku, minta pertimbangan baiknya gimana. Aku tanya di sekeliling situ ada orang atau tetangga yg bisa dititipi tidak, dia jawab, "Ada sih, Teh. Tapi cuma orang lalu lalang aja. Takutnya bukunya ga sampai ke Teh Bunga." 
Aku pikir, iya juga.. ya udah aku minta dia kirim balik lagi aja ke rumahku. Alhamdulillah si mamang gojeknya amanah, ga mau nyerahin buku ke sembarang orang..

Baru deh pas siangan, Bunga bales WA. Dia baru ada di rumah.. Cus aku pesen GoSend lagi. Beberapa menit kmudian dijemput sama si Amang gojek, ga sampe sepuluh menit ada laporan kalau buku udah sampe di alamat tujuan. Tapi Bunga bilang belum nerima. Bingung deh.. Mana si Amang GoSendnya sulit dihubungi pulak.
Dua jam kmudian ada yang nelpon.. Nomor yang ga dikenal.. Dia ngaku namanya BUNGA. Karena aku belum pernah kontak langsung dengan Bunga jadi aku kira ini Bunga yang pesan Buku. Ternyata eh ternyata.. Dia emang nerima buku tsb, dan merasa aneh dapat buku ini karena ngerasa ga pernah ngasihin alamatnya ke siapapun, dia juga baru pindah kos ke tempat tersebut. Dia malah nanya aku dapat alamatnya dari siapa? Lah, makin bingung, masak iya seseorang semalam sebelumnya pesan buku trus ngasihin alamat, lalu keesokan harinya mendadak amnesia kalau dia udah ngasihin alamatnya..
Dia juga sama-sama bingung dan berusaha menjelaskan,
"Namaku juga BUNGA, Teh. Rumahku bukan di Perumahan Tentram Indah No A1, tapi di JALAN Tentram Indah No 1A!"

Oalaaaaah.. Ini kebetulan yang cantik benerrr!
Bunga yang asli tinggal di PERUMAHAN Tentam Indah, Bunga-yang-salah-sasaran tinggal di Jalan Tentram Indah, yang manaaa itu cuma beda belokan aja, gak sampe 1km! Dan ada dua Bunga di sana.
Karena masing-masing ga tau jalan, jadinya si saya ngirimin GoSend lagi dari Bunga-yang-salah-sasaran ke Bunga-yang-seharusnya-dituju, dan jarak mereka cuma beda belokan. Hehe.
Ini teh sesuatu pisan ih..
Padahal yah si Mamang GoSend yang pertama itu bisa aja asal ngasihin buku ke orang yang ada, dan beres tugasnya. Tapi dia milih untuk hati-hati. Gimana pun juga orang nitipin sesuatu ke kita atas dasar kepercayaan, bukan cuma mindahin barang dari titik A ke titik B. 
Bunga-yang-salah-sasaran juga sebenarnya kalau dia mauuu, ya terima aja bukunya, toh nama dia juga Bunga. Kan asik dapet buku gratisan. Tapiii dia bilang, "Maaf ya Teh, bukunya udah Bunga buka plastiknya, kirain beneran buat Bunga. Tapi ini aneh banget. Bunga ga mesen apa-apa, dan Bunga baru pindahan ke sini. Takutnya penerima aslinya malah kebingungan pesanannya ga sampai-sampai."

Superb.
Emang bener yah, gak ada kebetulan di dunia ini. Yang ada adalah kejadian yang sama sekali di luar prediksi kita. Karena setiap kejadian disetting sama Tuhan yang Maha Kuasa, yang cara kerjaNya ga akan bisa dipikirin sama logika akal manusia. Kitanya aja yang dikit-dikit pengen tercerna secara logika, padahal ga semua bisa diukur logika manusia, logikanya sendiri ciptaan. Dipikir-pikir cukup absurd juga, mau ngukur pola kerja Pencipta dengan selalu menggunakan ciptaan.. Dan karena ga ada kebetulan di dunia ini, maka tiap kejadian pastiiii bawa sesuatu untuk dipelajari. Gak gitu aja terjadi.

Mungkin salah satunya adalah biar si saya bersyukur.. Dipertemukan dengan orang-orang baik itu emang jenis lain dari rizki. Alhamdulillaah.. 
Nuhun ah..


###
Nati Sajidah


Tuesday 27 September 2016

"NATI, SIAPA TUHANMU?"

Sore itu kami diajak duduk melingkari sebuah batu kristal yang dipercantik dengan kalung bebungaan. 
Suasana menjelang matahari tenggelam di dalam komplek Green School, Sibang Kaja, Bali, terasa sangat tenteram dengan alunan nyanyian alam, gesekan dedaunan bambu, suara-suara serangga bersahutan, dan aliran sungai ayung. Salah seorang panitia Educator Course membimbing kami untuk melakukan Mindfulness. Sebuah metode mirip meditasi-tapi beda, dimana kami dibimibing untuk memusatkan perhatian sedemikian rupa, menghayati apa yang sedang dilakukan, tanpa melakukan penilaian.

Sejenak merasakan badan dengan seutuhnya kesadaran. Mendengarkan suara-suara di sekeliling. Mengulas apa yang terjadi seharian, menerima segala bentuk perasaan, dan let it go. 
Biasanya mindfulness dilakukan oleh para guru GS sebelum memulai pelajaran. Sekitar 10-15 menit.

Mindfulness sore itu terasa istimewa, hampir dua jam kami diberikan waktu untuk s a d a r. Diajak untuk bersatu dengan alam, menyimak apa yang ada dalam diri, dan mensyukuri nikmat-nikmat. Aku merasa diberi waktu untuk "pause", menyimak ke kedalaman diri, tanpa sedikitpun menilai/judge. Diiringi alunan musik yang bernada lambat, para peserta mulai menyanyikan lagu-lagu "pujian".
Aku duduk di samping Michelle, seorang ibu yang berasal dari Sydney. Karena tak ma(mp)u mengikuti nyanyian, aku pilih mindfulness dengan cara sendiri; dzikir sore. Menyimak lamat-lamat dzikir yang terucap, menelisik maknanya, seakan alam ikut bertasbih dengan caranya. Tiba di surat An-Nas, aku terpaku. Allah membahasakan diriNya sebagai Tuhan Manusia. Bukan sekadar Tuhannya orang Islam. Saat itu aku duduk bersama sekitar 30-an orang dari berbagai negara dan juga keyakinan, menyanyikan puja pujian rasa syukurnya. Pikiranku melayang, ya Allah kami semua makhlukMu. Aku yakin, semua hati di sini menyadari adanya Sang Maha yang menggerakkan kehidupan sedemikian rupa. Aku yakin, semua hati di sini bersyukur akan segala nikmat, nikmat yang telah Kau limpahkan. Aku yakin, kami semua adalah makhlukMu, dalam tatapanMu. Dengan bahasa masing-masing, dengan sedikit cahaya kesadaran sebagai makhluk, tunjukkanlah kami jalan yang lurus.. Ihdinasshiraathal mustaqiim..
Michelle melirikku yang sibuk komat-kamit sendiri. Lalu dia terdiam, menghentikan nyanyiannya dan membenarkan posisi duduknya. Dia pun mulai komat-kamit sendiri.
Dua jam berlalu, akhirnya sesi Mindfulness ini selesai.
Sambil berjalan pulang menuju Lodge, aku terus berfikir mengenai mindfulness ini, yang mengajari kesadaran terhadap apa yg dilihat, didengar, dan dilakukan. Tidak sekadar gerak random atau rutinitas, tapi benar-benar living in the moment. Begitu mungkin definisi lain dari khusyu'. Aku bergidik ketika membayangkan, andai di setiap shalat, dzikir, dan doa kita benar-benar hadir, benar-benar sadar. Apa yang akan terjadi?
Tiba-tiba seseorang dari belakang menyusul mensejajarkan langkahnya denganku. Tanpa basa-basi, dia bertanya,
"Nati, who is your God?" 
Dia, Michelle! Wajahnya penuh tanya.
Tadi Michelle bilang apa? Oh, dia bertanya siapa Tuhanku. Mungkin karena tadi dia melihatku tidak mengikuti nyanyian puji-pujian seperti yang lainnya, atau mungkin karena melihat pakaianku yang tertutup beda dengan yang lainnya, atau mungkin penasaran dengan apa yang aku baca? Belum sempat aku jawab, dia kembali bertanya, "is He in heaven or in Earth?"

Pertanyaan tentang Tuhan.. Ya Allah, hanya Engkau yang dapat menjelaskan siapa Engkau.. 
"My God is who created me, dan yang menciptakan surga juga bumi." Jawabku. Wajahnya masih menyimpan tanda tanya besar. Aku berusaha untuk menahan penjelasan yang lebih rumit, padahal di kepala ini udah pengen jelasin 20 sifat wajib Allah yang di antaranya Allah berbeda dengan makhlukNya yang membutuhkan tempat, atau letupan2 tafsir surat Alfatihah dimana Allah mengenalkan Zat-Nya dari ayat pertama sampai ayat ketiga. Aku tahan. Dia membutuhkan jawaban dari yang dia tanyakan, bukan semua isi kepalaku, dan aku belum tahu arah pertanyaannya kemana. Seperti yang kuduga dia kemudian bertanya, "Tadi kamu baca apa?"

"Tadi aku baca doa-doa yang diajarkan Tuhanku lewat nabinya, Nabi Muhammad Saw. Doa-doa itu ada dalam kitab suci kami, Al-Qur'an."
Kerutan di dahinya bertambah, "Tuhanmu berkata-kata? Apa isi dari doa-doa itu?"
Aku mereview kembali apa yang kubaca tadi; alfatihah, penggalan ayat-ayat surat AlBaqarah, surat-surat pendek, dan beberapa doa dari hadits Nabi. Jadi apa isi semua doa itu?
"Iya, Tuhanku berfirman kepada Nabi kami, seluruh firmanNya adalah petunjuk hidup bagi kami. Doa-doa yang tadi aku baca isinya meminta perlindungan kepada Allah Swt, memujaNya, dan menyampaikan rasa syukur kepadaNya yang telah menciptakan, melindungi, dan memelihara makhluk-Nya."
Raut muka Michelle seketika cerah, "So beautiful, Nati!"
Aku bertanya balik, "Michelle, tadi selama dua jam kamu membaca apa?"
Michele tersenyum manis. Mata beningnya ikut berbicara,
"Aku menyampaikan rasa terima kasihku, rasa syukurku kepada My Jesus, He saves my life. Suamiku meninggal dalam usia muda pernikahan kami. Aku membesarkan anak-anakku sendirian. Aku bersyukur aku dapat melalui masa-masa sulit. Jika tanpaNya sepertinya aku gak akan bisa melalui semua itu."

Lalu mengalirlah cerita hidupnya yang luar biasa. Sambil menyimak ceritanya tanpa sengaja mataku menangkap ukiran tato di lengannya. Sebuah kalimat yang indah, "Don't cry because it's over, smile because it happened." Kalimat yang penuh kekuatan dan penerimaan.
Dia menceritakan kesedihan hidupnya, tapi sama sekali aku tak menangkap raut kesedihan melainkan kebahagiaan. Hati yang penuh syukur. Bayangkan, dia selama dua jam tadi komat-kamit mengucapkan rasa syukurnya, dengan bahasanya sendiri. Apakah aku bisa dalam waktu dua jam melakukan hal yang sama? "Bercengkrama" dengan Tuhan selama itu, tidak meminta apa pun-tidak mengkomplain apa pun-tidak merajuk sedikit pun, hanya bersyukur. Apakah bisa? Apakah rasa syukur ini yang membuatnya mampu melalui cobaan-cobaan hidupnya? Allah Swt menjanjikan kepada yang bersyukur, niscaya akan Ia tambah nikmatNya. Apakah hati yang kuat adalah bentuk lain "tambahan nikmat" bagi makhluk-Nya yang bersyukur? Semakin aku sadar, bahwa bersyukur ialah cara termudah untuk bersabar.
Aku menggenggam tangannya yang lembut, "Michele, you really own beautiful heart, beautiful soul!" Aku berkaca-kaca, dan tak menyangka wanita 50 tahunan itu pun sama harunya. Dia menghentikan langkahnya, dan memelukku, mencium kedua pipiku. "Oo Nati! Aku baru kali ini bertemu orang seperti kamu. Baru kali ini aku merasa berharga!" 
Kami terhanyut bahagia yang ambigu. Masih terdekap keheranan mengapa dia begitu terharu. Aku hanya mengungkapkan rasa kagumku kepada hatinya yang penuh syukur. Rasa cemburuku.

Masya Allah.. 
Teringat perkataan Imam At-Tabari dalam kitab tafsirnya. Makna Rabb tak sekadar Tuhan. Rabb ialah Al-Khaaliq; yang menciptakan. Rabb ialah Al-Maalik; yang Menguasai. Rabb ialah Sang Pemelihara. Dan Allah adalah Rabbul 'aalamiin.. Tuhan Pencipta-Penguasa-Pemelihara semesta alam.

Dialah Rahman Rahim. Yang kasihNya dirasakan oleh semua makhluk-Nya, baik yang beriman ataupun tidak. Senja itu, aku menyaksikan kuasa dari Kasih SayangNya, yang mengokohkan hati rapuh menjadi sekuat senyuman indah di langit jingga.
Bila manusia benar-benar khalifah Allah di muka bumi, wakil Allah di muka bumi, dan Allah adalah Rahman Rahim; maka semoga aku termasuk dari sekumpulan para pecinta yang menghadirkan Rahmatan lil 'alamin ...


###
Nati Sajidah
27 Sept 2016

Memori dari Educator Course yang diselenggarakan Green School Bali, 29 Agustus - 2 September 2016.


Sunday 11 September 2016

Berenang dan Tuma'ninah

Apa yang membuatmu takut?
Mungkin bayangan sebuah keidealan capaian, dan kondisi diri yang merasa tak mampu menggapai.

Seorang pelatih renang sambil memegang peluitnya, ia menyeru pada si murid yang berulang kali kepayahan berenang, "Nak! Ketakutan itu yang membuatmu tidak menikmati berada di dalam air. Kamu berenang bukan untuk sampai ke tujuan, tapi nikmatilah setiap gerak tubuhmu."

Menikmati. Tapi sering kali pikiran kita digendangi penghakiman; kamu salah! Kamu tidak benar melakukannya! Seharusnya tidak begitu!

Lagi-lagi Bapak pelatih renang itu menenangkan hati si murid, "Terus saja bergerak, jangan kepikiran ini salah atau tidak. Kalau pun salah tinggal diperbaiki."

Kali ini si murid menyela, "Karena sadar aku salah, aku jadi panik, Pak! Dan tenggelam!"

Bapak pelatih itu tertawa mendengar keluhan muridnya, "Padahal kalau kamu biarkan diri mengambang saat tenggelam, badanmu akan menemukan "nafasnya" sendiri. Kepanikan yang membuat dirimu semakin tenggelam, Nak!"

Barangkali begitu adanya. Bayang-bayang keidealan, rasa rendah diri, penghakiman hati, dan kepanikan ketika melakukan kesalahan membuat diri tak bisa menikmati. Malah ketakutan semakin membesar menguasai hati.

Si murid menarik nafas dalam-dalam, kemudian dikeluarkannya secara perlahan. Mencoba memperbaiki cara berpikirnya, ia berkata pada diri sendiri, "Baik, kamu tak perlu mencapai ujung sana. Kamu hanya perlu menggerakkan kaki dan tangan. Gerakkan dua kali kaki, lalu tangan 1kali. Tak apa jika salah, it's okay! Diperbaiki setelahnya saja!"

Kemudian dia menyelam. 2 kakinya bergerak nyaris sempurna, disusul secara terburu-buru dengan gerakan tangan yang penuh interval. Dia kalut. Dia melakukan kesalahan! Tapi berusaha terus bergerak. Gerakannya semakin lama semakin tak karuan. Dia melupakan satu hal!

Kepalanya muncul di permukaan dengan nafas yang terengah. Di ujung kolam Sang Pelatih tersenyum mengacungkan jempol, "Bagus! Ada yang kamu lupa, ya?"

"Aku berusaha tidak panik saat tenggelam tadi, Pak. Tapi sesak, aku tidak menemukan nafasku!"

"Itu karena kamu terburu-buru berpindah dari satu gerakan ke gerakan. Agar tidak panik kamu perlu jeda. Berjedalah 3 detik, baru lanjut ke gerakan setelahnya. Rasakan badanmu mengambang di atas air. Ingat, ini bukan tentang cepat atau sampai."

Si murid menggigil di dalam air. Dia sadar telah mengabaikan jeda, karena merasa harus tepat dan cepat. Ternyata ada yang lebih dari kedua itu, yaitu bergerak secara sadar. Untuk sadar, kita perlu jeda di antara perpindahan gerak.

Apa yang membuatmu takut? Mungkin bayangan sebuah keidealan capaian, dan kondisi diri yang merasa tak mampu menggapai. Berjedalah. Kita hidup di dunia tidak sedang bersaing dengan siapa pun. Kecuali sebuah janji untuk terus memperbaiki diri.

Apa yang membuatmu takut? Mungkin kepanikan saat terjatuh, lalu diri dilputi penghakiman diri. Berjedalah. Melakukan kesalahan adalah kebaikan, sepanjang diikuti dengan perbaikan. Tak mengapa bersalah. Tandanya dirimu sadar apa yang harus dilakukan. Maka terus bergerak untuk memperbaiki.

Apa yang membuatmu takut? Mungkin karena lupa berjeda. Sejenak saja mengambil jeda antara satu episode ke episode lainnya. Untuk membenahi niatan awal diri, meresapi perjalanan yang sudah dilalui, dan melakukan hal yang lebih baik lagi. 

Seperti tuma'ninah dalam tiap gerakan shalat.
Seperti jeda waktu mustajab antara adzan dan iqomah.

###
Nati Sajidah 




Saturday 10 September 2016

They Taught Me How Islam Being Practiced

I believe Islam is the way of life, more than a religion. In Islam, we are taught to bring blessings, prosperity, and love for the entire universe (according to one of the verses in Holy Book Al-Quran). Our Prophet, the Prophet Muhammad (peace be upon him), his name means praiseworthy. Because he has a very commendable attitude to fellow human beings despite different groups and religions, animals, and environment.

I'm so grateful that I was be a part of EducatorCourse last week. I met many friends from different countries. I gained a lot of inspiration about how Islam is practiced which also inspired me to follow their acts.

Among the 25 participants from 13 different countries, there were friends from Depok and Hong Kong who choose not to drink cow's milk. The reason is because they know very well the process of how the cow was forced to produce milk. Cows suffer on dairy farms. They told me, “Cows produce milk for the same reason that humans do, but calves on dairy farms are taken away from their mothers when they are just 1 day old. They are fed milk replacers (including cattle blood) so that their mothers’ milk can be sold to humans.” One of them said to me firmly,”If we drink cow's milk, we took part in the cruel process.”

Another friend from Thailand is an activist who shows a great concern in saving elephant. She said, “Elephants skeletal structuring is not designed to carry weight on their backs, but rather weight from below. Many Elephants end up with deformed and broken backs as a result of years of long hours spent carrying tourists around. Walk beside elephants, it should be enough NOT riding them please! Just learn and stay with Giants.” Whoa! It changed my mindset. Before she told me, I didn't actually realize about that fact. She and her friends created a group: Cruelty Free Elelove. They created campaign for tourists to not riding elephants, and let them live freely in the forest. She also created and published a list of Cruelty Free Places Elephant Experiences to Visit Thailand.
I think she was very lucky, that she could do something meaningful with her love and passion for animals. And so does another one of my friend from Hong Kong.
Her father started an organic farm in Zhongshan, China, with a few companion animals and the intention to build a small petting zoo.
She managed to build a pretty solid team of animal caretakers, vet consultants, a stable population of around 100 animals - rabbits, pigs, dogs, turkeys, chickens, ponies, mules and cats - with a good standard of welfare and quality of life for each animal. She also scrapped the idea of a 'zoo' and instead made it into a sanctuary in the sense that the animals are NOT there for our entertainment, and they will be safe and protected in her care for the rest of their lives.

Actually I am neither an animal lover nor a hater. But what has been done by my friends made me realize about animal's rights.

The inspiration has not yet  finished. These ones about saving environment.
There was a friend from Jakarta who do not continuously use soap because of her concern about water pollution.  She choses to use coffee as a scrub as an alternative.
Green School also has a program Bio Bus. They had 3 buses which fuel is made from used cooking oil (UCO). On Wednesdays, they patrol the streets of Sibang, Ubud, Canggu and beyond, collecting UCO from local warungs and restaurants in exchange for their homemade Bio Soap. According to an article here, it is stated that: 
UCO is often used well beyond expiry and can be reheated 30+ times for frying food.  Making matters worse, middlemen may bleach or pump the UCO with chemicals before reselling to local eateries. This food is known to contain carcinogens and has been linked to pulmonary disease. River ways are another common and often final destination for UCO. Dumping UCO causes acidification and affects Bali’s watersheds and ecosystems. Polluted water threatens irrigation for growing staple foods and stresses coral reef ecosystems.Bio Bus saves the environment and health of Bali and provides their partner Lengis Hijau with a supply of UCO to be converted into Biodiesel.

Another one was Sanne, a member of the GS Events Team. When Educator Course was completed, she provide all workshop material, even those which we did not ask, but very useful. I asked her, why do I feel a very collaborative atmosphere in Green School, including her very hospitable attitude, I mean she was not exclusive about all the school's concept and documents. Then I got a wonderful answer, she said, “We like to involve our community as much as we can, because a sustainable future requires everyone, to take action by working together.”

Wow.
I learned a lot from them. I just realized many things.

My friends were very concerned whether their behavior causes damage to other beings or not. Whether their food choices would destroy nature or not. Whether her behavior could harm others or not. They actually calculated everything. In addition, they make the action to save the environment from the smallest thing that can be done, become an initiator and create movement to care about environment.

Everything they do has been taught in Islam. So I learned a lot how Islam being practiced from them. Like the spirit of bringing blessings and prosperity for the universe, including animals, plants, and fellow human beings. And the spirit of spreading the peaceful life. PEACE is one of the definition of Islam (Islam is derived from the Arabic root "Salema": peace, purity, submission and obedience). They also remind me about one verse in the Holy Book Al-Quran that God commands us to help one another, and to perform righteous and good deeds. They taught me how to be a good Muslim (a person who follows or practices the religion of Islam). If we can not become a useful person, at least not be the ones who make mischief.

Thank you, my friends. I learned a lot.
I just realize that to learn Islam; we need to learn from guru or ulama, 
To learn to be a good Muslim; it could be from anyone.

Thank you.
with love.
Nati Sajidah


Saturday 3 September 2016

Antara ISIS, Islam, dan Kedamaian

"And how about ISIS? Are they representation of Islam?" 
Tanyanya setelah menanyakan tentang gerakan shalat; apakah shalat menghadap ke satu arah atau bebas mengarah kemana saja; apakah shalat sama dengan meditasi, apa kegunaannya, dll. She is from Hongkong, one of my buddies study during Educator Course last week. 
Karena tempat tidur kami bersebelahan, dia yang selalu melihat saat aku melaksanakan shalat. Memerhatikan apa yang dibaca, dan mengapa menghadap "tembok". Aku perlihatkan gambar Ka'bah yang dikelilingi jutaan manusia. Dengan terkejut dia bertanya untuk meyakinkan, "Itu semua manusia? Jadi semua manusia muslim di seluruh dunia shalat menghadap benda itu? Mengapa menyembah benda hitam itu?"
"Ya! Ka'bah sebuah bangunan, kami tidak menyembah bangunan mati. Melainkan itu simbol bahwa kami hamba dari Tuhan yang Maha Satu. Apapun warna kulit kami, dari mana pun asal kami, di hadapan Dia kami sama-sama hamba." Jawabku sambil memerlihatkan gambar Ka'bah yang lain. Dia masih terpana dengan fenomena jutaan manusia mengelilingi satu titik. Beberapa saat kemudian dia sedikit memundurkan posisi tempat duduknya, dan bertanya, "And how about ISIS? Are they representation of Islam?"

Ini dia... Seperti seluruh pertanyaan yang lainnya, aku selalu merasa harus sangat hati-hati menjawab. Memohon kepada Allah agar di setiap jawaban yg keluar ini mengandung kebaikan, tidak menyakiti perasaan siapapun. 
Selama seminggu merasakan menjadi minoritas, sebuah pengalaman yang warrbiyasah. Gak bisa berprilaku seenaknya, harus selalu memerhatikan yang lain. Teringat pesan Abi sebelum pergi haji bersamaan dengan aku harus pergi ke acara ini. Abi bilang, "Membaur tanpa harus melebur." Bergabung dengan 25 peserta Educator Course dari 12 negara berbeda di tanah subur Bali, dan menjadi satu di antara dua peserta muslim, memberikanku banyak pelajaran. Bahwa hal pertama yang orang lain rasakan dari kehadiran kita adalah perilaku diri. Bukan hafalan teori, dalil, dan segudang argumen. Melainkan akhlaq, bagaimana kita membawakan diri kita di antara sebuah komunitas. Aku punnn masih jauuuuh dari akhlaq terpuji. Tapi sangat terpatri dengan pepatah sunda, "Someah, Hade Ka Semah", atau "ramah, berlaku baik kepada tamu." 
Temanku ini seorang pencinta hewan. Di pagi hari ketiga Course aku kehilangan dia, ternyata dia berjalan-jalan sendiri di sekitaran hutan. Menemukan seekor babi, yang menurutnya sangat lucu, sedang makan dan mengorek-ngorek tanah. Dengan bahagianya dia memerlihatkan kepadaku video babi-lucunya itu, dan aku? "Ahya, lucu banget!" Sambil menahan meringis.. Rupanya dia sedang merindukan ternak babi dan anjingnya di Hongkong.

Lalu tentang pertanyaannya tadi.. Sejujurnya aku takut saat menjawab pertanyaan ini, akhirnya aku menjawab, "Well, do you know what ISLAM means? Islam taken from arabic word, its means: PEACE. Why? Karena Islam mengajarkan kedamaian. Dalam kitab suci kami tertulis tentang tujuan mengapa manusia dihidupkan adalah untuk menjadi seorang Leader yang spread love and kindness on earth. Not only to human, but to the mother nature, and even the animals! Dalam agama kami, ada kisah yang ditutur; seorang wanita pezina yang sudah lumur dengan dosa dia masuk surga karena kasih sayangnya kepada seekor anjing. Dia memberikan minum saat anjing itu kehausan. Dan saya belajar banyak bagaimana menyayangi binatang dari kamu looh..!" Dia tersenyum bahagia, "Oh, really?!"

"Tentang ISIS, aku ga bisa menjawabnya. Terorisme tidak memiliki agama, artinya bisa saja terjadi di agama mana pun, dan mengaku-aku sebagai agama mana saja. Islam agama yang penuh kasih sayang, nabinya aja bermakna "Yang Terpuji".. Jadi kamu bisa menilai mana yang sebenarnya yg merepresentasikan Islam. Agama kami tidak mengajarkan kekerasan, sebaliknya, agama kami agama yang penuh kasih sayang dan kebaikan."

Temanku mengangguk-angguk menyimak dengan simpati, lalu menimpali, "Terima kasih, Nati. Ini baru kali pertama aku punya teman muslim. Selama ini aku dengar Islam hanya tentang ISIS dan terorisme. Itulah kenapa aku menanyakan hal ini, karena apa yang aku dengar tentang Islam teroris sangat berbeda dengan yang aku saksikan langsung dengan praktek bagaimana kamu beragama!"


Allahumma shalli 'alaa sayyidinaa Muhammad.. Jadi kangen sama Junjungan yang Terpuji..



###
Nati Sajidah

Memori dari Educator Course yang diselenggarakan Green School Bali, 29 Agustus - 2 September 2016.


Thursday 1 September 2016

Sebagai Tanda Cinta


"Are you believe in One God?" tanya teman dari Brazil sepulang aktivitas Educator Course menuju tempat kami menginap. Sambil berjalan menyusuri komplek hijau Green School dan Sungai Ayung, kami terus berdialog dengan pertanyaannya yang berkembang terus; apa kamu yakin ada kehidupan setelah kematian?; Apa manusia hanya punya satu kesempatan?; Apa kamu percaya Jesus anak Tuhan?;

Dan sampailah pada pertanyaan, "I am sorry to asking you this question, kenapa kamu menutup seluruh badanmu kayak gini?" langkahnya dihentikan dan menunjuk aku yang berjilbab.
Mungkin ini pertanyaannya yang paling membuatnya penasaran. Di tengah cuaca Bali yang fanas, ditambah aktivitas selama Educator Course yang padat mudah banget ngucurin keringat, tapi aku malah memakai baju tertutup. Aku mencoba menjawabnya dengan bahasa inggris seadanya, pacampur dengan lintasan kosakata Bahasa Arab dan Bahasa Sunda yang suka ojol-ojol eksis. 
"Kenapa aku menutup badanku seperti ini? Karena Tuhan memintaku untuk melakukannya, sebagai tanda cintaNya Dia menjaga hambaNya."
Kelopak matanya membulat, "Apa kamu merasa terjaga dengan berpakaian seperti ini?"
"Sure. Bukan hanya merasa terjaga, tapi juga merasa dicinta. Tuhanku selalu menginginkan yang terbaik bagi hamba-Nya."
Kali ini dia menghentikan langkahnya, "Nice! His obligation make you feeling loved. Its so amazing!"

Aku tersenyum. Mengingat di hari sebelumnya, salah seorang teman dari Portugal juga bertanya, "Apa kamu gak ngerasa kepanasan? Kelihatannya ngga yaa, pasti karena kamu udah biasa."
Waktu itu aku hanya menjawabnya dengan senyuman. Hari ini aku sadar. Bukan karena hanya sudah terbiasa, tapi ini tanda cinta Tuhan pada hamba. Dia selalu inginkan yang terbaik, maka Ia menjaga.



###
Nati Sajidah
*Memori dari Educator Course yang diselenggarakan Green School Bali, 29 Agustus - 2 September 2016.


Tuesday 16 August 2016

Dalam Kendaraan Bernama INDONESIA

Melewati jalanan Jakarta yang pucuk gedung-gedung tingginya menyentuh langit hitam. Di sana menggantung bulan hampir utuh. Halte-halte Transjakarta dipenuhi mereka yang pulang bekerja.

Sebuah bis Transjakarta berlalu dengan kecepatan sedang. Aku terpaku di mulut pintu halte. Jendela bus itu panjang, memajang anak manusia. Ada yang duduk, dan tidak sedikit yang menggelantungkan tangannya. Dari kejauhan bus itu seperti akuarium manusia. Bedanya kaca jendela panjang itu bertuliskan satu kalimat:

DIRGAHAYU RI KE-71

Tiba-tiba berdegup. 
Esok tanah airku berulangtahun ke 71. Aku, dan anak manusia lainnya, seperti penumpang bis Transjakarta. Menumpang dalam kendaraan bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kami terus berjalan, di kendaraan yang telah dibangun oleh para pendahulu. Dengan tenaga, pikiran, dan bahkan darah. 

Di kendaraan ini, ada yang ikut berkarya mempercantik, ada yang mencaci mengapa tak seperti kendaraan lain, tapi di waktu yang bersamaan dia tetap tak beranjak, tak berbuat apapun. 
Kendaraan ini tetap melaju. Tak lantas pilih kasih hanya membawa penumpang yang memuja atau menurunkan penumpangnya yang mencaci. Tak. Ia tetap melaju, dengan terus memberikan kebaikannya sebagai tempat tumpangan. 

Digerakkan oleh para pemimpin bangsa, yang memang tak sepenuhnya kami kenal betul. Hanya berbasis percaya, bahwa mereka siap memimpin, maka seharusnya pula kami siap dipimpin. Sesekali kami bertanya-tanya hendak kemana kami kan dibawa? Ada yang bertanya dengan berteriak, ada yang membuat gaduh memukul-mukul jendela dan menghentakkan kakinya, ada yang diam bergumam terserah saja akan dibawa kemana, ada pula yang dengan bijak merangkak bertanya kepada petugas-petugas yang berwenang. Berusaha memberi saran semampunya, dan kembali memupuk percaya. Tak mengingkari dengan segala kekurangan yang ada di sana-sini, sambil tak lupa mengapresiasi setiap kebaikan dan kemajuan yang ada. Bukankah itu makna terdalam dari a-d-i-l ? Kebencianmu pada sesuatu tak menjadikanmu kemudian berlaku semena-mena.

Kendaraan ini terus melaju. 
Negeriku esok berulangtahun ke-71. Para pendahulu telah bersusah payah membuat kendaraan ini berbentuk. Para Kiai menggelorakan semangat jihad bela-negaranya kepada santri-santri. Para negarawan mencurah pikir dan siasatnya untuk mempertahankan negeri. Maka segala kurangnya bukan lagi tanggungjawab mereka, melainkan untuk itulah kita berada.


Seperti bulan yang hampir utuh di langit malam ini. Ia tak lantas mengundurkan diri karena belum purnama. Ia memilih menerangi dengan apa yang ada dalam diri. Ia memilih menyalakan setitik cahaya, tak sekadar mengutuk kelam gulita.
Bus yang kutumpangi terhenti di depan bendera Merah-Putih yang berjejer. Tingginya kalah oleh gedung-gedung pencakar langit itu. Namun apalah kami, tanpa tanah air ini. Setinggi apapun, sebesar bagaimanapun, tak ada artinya jika tak memiliki tempat berpijak.

Merah-putihku, Indonesiaku. Terima kasih untuk tetap berkibar. Salam takzhimku kepada para pahlawan bangsa. Tanah ini tanah para syuhada. Bagaimana bisa aku membencimu, padahal kau tempat segala cinta bermula. 
Indonesia, 
Aku akan tetap mencintaimu, dengan keras kepala.

***
Nati Sajidah,
Transjakarta, 16 Agustus 2016.


Tuesday 9 August 2016

Dulu, Aku Suka Gereget Sama Orang yang Terlalu Sholeh

Dulu, aku suka gereget sama orang yang terlalu sholeh
Dia dianiaya, tapi tidak ngotot membalas atau menjelaskan dengan gamblang sampai si lawan bicara benar-benar mengerti. Gereget, karena sebenarnya dia bisa saja membalas dengan lebih pedas, sampai si lawan keok mati kutu, tapi dia ga melakukannya. Gereget, karena kok rela aja dihinakan. Kenapa ga membalas? Kenapa ga terus menjelaskan bahwa sebenarnya dia bersih, tidak seperti yang orang lain pikirkan. Iya sih, dia tidak menerima begitu saja. Dia menjelaskan, tapi tidak terus menerus sampai si lawan mengerti dan menghentikan segala sikap aniayanya.

Dulu, aku ga ngerti dan gereget pakai bangat. Sekarang, aku mulai mengerti.
Ternyata, usaha yang paling melelahkan adalah bicara dengan orang yang ga ngerti, dan parahnya dia juga ga mau ngerti. Orang yang tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu, dan dia tidak mau tahu. 
Jadi sebusa apa pun menjelaskan, dia akan tetap begitu dengan segala sangkanya. Lebih baik memilih jadi orang waras, biarkan dia dengan ketidakngertiannya. 
Karena ternyata, tidak semua penjelasan harus keluar dari mulut kita. Tidak semua penjelasan harus disampaikan saat itu juga. Tidak semua penjelasan itu berbentuk kata-kata.
Allah swt bekerja dengan cara yang jauuuuuh dari jangkauan pikiran manusia. Makin ke sini aku makin banyak menyaksikan, bagaimana cara Allah menolong hamba-Nya yang dizholimi. Bagaimana Allah memutarbalikkan keadaan, awalnya si yang dizholimi yang dihinakan, kemudian dibalik yang menghinakan malah jadi hina dan dihinakan orang lain atas perilakunya. Ini bukan karma. Ini kehendak Allah yang luar biasa tak kan pernah ada yang bisa memprediksi. Tidak sesempit sebab akibat. Tidak sesempit setelah angka tiga adalah empat.

Dulu aku gereget, karena merasa semua pembalasan harus melalui tangan kita. Ternyata memendam rasa ingin membalas dendamnya saja udah bikin hati ga tenang, apalagi benar-benar balas dendam. Itulah kenapa diri ini harus berlapang dada memaafkan, perkara bagaimana membuat si penganiaya sadar biarlah diserahkan ke Allah. Dia Maha Adil, Maha Bijaksana. Yang pembalasan-Nya lebih waw dari yang bisa kita lakukan. Lagi pula bisa jadi memang ada yang salah dengan prilaku kita, sehingga mengakibatkan terjadinya kejadian aniaya tersebut. Jadi sambil intropeksi diri, sambil memaafkan orang lain. 
Toh, memaafkan itu bukan tentang mengalah. Justru memilih memenangkan kedamaian hati. Memaafkan itu gak ada urusannya dengan orang lain. Memaafkan adalah pilihan hati, untuk kedamaian hati.
(Tentang memaafkan, aku pernah menuliskannya di sini)

Aku juga jadi beranjak mengerti, bahwa memilih merelakan tindakan lawan --setelah usaha menjelaskan dan melawan-- adalah bukan sikap kalah dan tanpa daya. Melainkan sikap seorang pemberani. Berani memutuskan kebahagiaan diri sendiri. Dia paham bahwa tidak ada gunanya berurusan dengan orang yang gak tahu bahwa dirinya gak tahu. Dia paham bahwa hidup akan lebih berguna dengan tidak mengurus hal-hal yang hanya akan memakan waktu saja. 
Dia paham, bahwa seseorang tidak lantas menjadi hina hanya karena dihinakan. Seseorang dapat menjadi mulia bukan karena dia menghinakan orang lain. Dia paham, seseorang menjadi hina ketika dia menghinakan diri sendiri dengan menghinakan orang lain. Dia paham, bahwa seseorang menjadi mulia adalah karena memilih sikap yang mulia untuk membalas sikap penghinaan pada dirinya. 
Dia memutuskan untuk tidak menyamakan dirinya dengan si penghina. Dia memilih membalas penghinaan dengan kebaikan. Karena dia cintai dirinya. Tak rela dirinya melakukan sikap hina. Tak rela dirinya sama hinanya dengan sikap si penghina.

Aku juga makin mengerti, bahwa aku banyak ga ngertinya. 
Itulah mengapa sikap terbaik memandang sikap orang lain adalah diawali dengan landasan husnuzhon. Misalnya saat memandang sikap penganiayaan; mungkin dia tidak tahu bahwa sikapnya itu menganiaya orang lain. Atau, mungkin dia tahu tapi dia tidak tahu cara lain yang bisa dilakukan kecuali dengan cara yang kemudian mengakibatkan orang lain rugi. Atau kemungkinan-kemungkinan lainnya.
Jika sudah menjadikan husnuzhon sebagai landasan berpikir, maka kita akan bisa menyikapi penganiayaan atau si penganiaya dengan cara terbaik.

Aku juga jadi mengerti, kenapa doa yang dizholimi mustajab? 
Bisa jadi sebenarnya itu adalah tantangan dari Allah. Seolah-olah berbunyi: sekarang kamu dianiaya, dan doamu mustajab. Coba, apa yang akan kamu doakan? Kejelekan atau kebaikan?
Jika doa keburukan yang kita panjatkan, dan itu mustajab, maka apa bedanya kita dengan si penganiaya yang melakukan keburukan?

Teringat kisah Abiku tentang Aki R. H. M. Karta Mangkualam, kakek buyutku. Beliau dulu bekerja di sebuah bengkel milik orang luar. Suatu hari juragannya memaki-maki Aki Karta. Menghinanya sampai keluar kata-kata yang tidak pantas. Aki Karta sakit hati bukan main. Sambil menahan panas amarah dalam dadanya, Aki Karta memanjatkan doa, "Ya Allah, hari ini aku dihina. Semoga Engkau jadikan anak cucuku menjadi orang yang sholeh, mulia, dan dimuliakan!"
Allah Maha Kuasa, Maha Mendengar. Aki Karta memiliki 3 anak lelaki, dan semuanya menjadi Kiai terpandang di masyarakat. Masing-masing putranya memiliki keturunan yang banyak, dan hampir semuanya menjadi Ustadz serta memiliki lembaga pendidikan. Cicit-cicitnya berprofesi macam-macam, menempati jabatan penting dan dimuliakan. Masya Allah, berkah doa dari yang dianiaya. 
Jika kita imani benar doa yang dianiaya itu dikabulkan, maka mengapa tak menjadikannya sebagai kesempatan emas untuk berdoa kebaikan?
Ya Allah, 
Aku makin ngerti dengan banyaknya ketidakmengertianku tentang rahasia-rahasiaMu. 
Tolong bikin aku terus kecanduan untuk mengenal-Mu.. 
Tolong bikin aku kalem memandang segala persoalan dengan kacamata husnuzhon dan keimanan. 
Karena ternyata ke-gereget-an dan sikap reaktif hanya akan berbuah rasa malu serta penyesalan.


---
Natisa,
Bandung, Agustus 2016


Monday 8 August 2016

Sesungguhnya Tidak Mudah Menjadi Dirimu

Sesungguhnya tidak mudah menjadi dirimu...
Kau sering menyeretnya untuk bisa memenuhi standar orang lain,
Sering pula bertubi-tubi meminta melakukan hal-hal di luar kemampuan.
Sesungguhnya tak mudah menjadi dirimu...
Tersenyum saat ingin sekali kau tunjukkan kesedihanmu,
Menghibur saat ingin sekali mendapatkan penguatan dari orang lain,
Berdiri tegap, saat yang lain berusaha merontokkan tegar senyum dan kokoh pendirianmu...

Sungguh,
Amat tak mudah menjadi dirimu..
Dirimu itu paling membutuhkan kelembutanmu.
Apakah engkau tak merasa kasihan melihat upayanya untuk menggembirakan orang lain?
Bersabarlah dengan kelambanannya dalam memperbaiki dirinya.
Bukankah engkau yang selalu mengatakan bahwa manusia tak sempurna?
Lalu, mengapakah kau memarahinya karena ketidaksempurnaannya?

Turunkanlah suaramu sebentar, 
dan berbicaralah dalam nada suara yang lebih penyayang kepada dirimu.
Duduklah lebih dekat dengan dirimu sendiri. 
Bersahabatlah dengannya. 
Janganlah kau membuatnya merasa tak dibutuhkan,
karena kau sesali semua kekurangannya, sambil melupakan kelebihan dan kebaikannya.
Sesungguhnya tak mudah menjadi dirimu...
Berlakulah lebih jujur kepada dirimu.
Inginkanlah yang besar,
tapi ikhlaslah melakukan yang sederhana dan yang dalam kemampuanmu untuk melakukan.
Lalu berterimakasihlah padanya, dengan rasa cinta yang tulus.

Mudah-mudahan,
dalam persahabatan yang ramah, penuh hormat, dan penuh kasih dengan dirimu sendiri itu,
Tuhan mengutuhkanmu. 
Memberimu kekuatan yang lebih. 
Kasih sayang yang purna. 
Mendekapmu, hingga tak lagi putus asa.
---
Natisa ~
Agustus, 2016


Musikalisasi puisi berjudul "Sesungguhnya, Tidak Mudah Menjadi Dirimu" yang terinspirasi dari salah satu tulisan Pak Mario Teguh. Lalu diadaptasikan ke dalam puisi ini oleh Nati Sajidah atau Natisa, penulis Buku Crayon Untuk Pelangi Sabarmu (Quanta: 2015).


Saturday 6 August 2016

Menuntut Allah dengan Tak Patut

Selalu ada cara Allah Swt menyampaikan jawaban-Nya kepada hamba-Nya. Salah satunya lewat tulisan di bawah ini, yang saya nukil dari Buku:


Kitab Al-Hikam karya Syaikh Ibnu 'Athoillah menjadi kitab favorit saya untuk mencambuk diri, mengingatkan lagi tentang kehambaan, dan keaguangan Allah yang Maha Esa. Bait-bait kebijaksanaannya yang sangat dalam, ditambah penjelasan dari KH. Sholeh Darat yang mengena dan membuat malu diri. Ini salah satu bait dan uraian yang membuat pagi ini terasa lebih memikat:

----
"Jangan menuntut Tuhan lantaran permintaanmu terlambat dikabulkan. Akan tetapi, tuntutlah dirimu lantaran terlambat melaksanakan kewajiban."
(Bait dari Kitab Al-Hikam, Syaikh Ibnu 'Athoillah)

"Jangan menuntut Tuhan lantaran permintaanmu terlambat dikabulkan.
Jangan menuntut dan berprasangka buruk kepada Tuhanmu lantaran lamanya pengabulan permintaanmu.
Ketika engkau berdoa kepada Allah memohon sesuatu dan tidak lekas dikabulkan, maka jangan berprasangka buruk kepada-Nya dan juga jangan menuntut apa pun kepada-Nya. Karena Allah melakukan sesuatu atas kehendak-Nya sendiri, tidak menuruti kehendak hamba-Nya, dan tidak diperkenankan menuntut apa pun dari-Nya. Jika keinginanmu dikabulkan, jangan berprasangka bahwa pengabulan itu karena permintaanmu, Allah mustahil dipaksa. Allah memberikan sesuatu pada hamba karena fadhal-Nya, bukan semata-mata karena amal atau permintaanmu.

 "Akan tetapi, tuntutlah dirimu lantaran terlambat melaksanakan kewajiban."
Jika permohonanamu lama tidak dikabulkan, maka berprasangkalah pada dirimu sendiri yang tidak punya tata krama kepada Allah. Karena tuntutanmu agar permintaanmu segera dikabulkan itu termasuk ketidaksopanan kepada Allah.

Tidak sepantasnya seorang hamba menuntut sesuatu dari Tuhannya agar lekas mengabulkan permintaannya. Selain itu, engkau berdoa agar diberi apa yang kau pinta, itu menunjukkan bahwa engkau berdoa sebab ingin diberi, bukan sebab menjalankan perintah Allah. Berdoa agar tercapainya tujuanmu itu sungguh tidak layak bagi seorang yang menghamba kepada-Nya. Dan juga prasangkamu bahwa Allah sudah tidak berkenan mengabulkan doamu itu disebut su'ul adab (tidak punya tatakrama) kepada-Nya.

---
(Halaman 128-129)
---

Ya Rabb,
Maafkan diri,
yang meminta dan menuntut
dengan cara tak patut
Ya Rabb,
Bimbinglah diri,
agar meminta
semata karena peribadatan dan cinta.



---
Natisa,
Bandung, 6 Agustus 2016



Tuesday 26 July 2016

Bagaimanakah Kondisi Hati Nabi Yusuf Saat itu?

Bagaimanakah kondisi hati Nabi Yusuf saat itu?

Ia tertampan di antara saudaranya,
Ia terkasih di mata ayahnya,
Namun apa daya, sepuluh saudaranya membencinya.

Dengan gagah, para abangnya ingin mengajaknya bermain.
Yusuf kecil girang bukan kepalang.
Ia merasa dilibatkan.
Namun apa nyana, di tengah padang pasir ia dimasukkan ke dalam sumur.
Perih tak terperi. Ia dianiaya saudara sendiri.

Berhari-hari dilalui,
Ia seorang diri tanpa pakaian melindungi,
Lembab, juga sunyi.
Datanglah sekelompok kafilah.
Ia berseri menyambut ketetapan Ilahi.
Tali dijuulur,
Akhirnya ia keluar dari sumur,
Namun apa yang terjadi, ia dijual jadi budak dengan harga yang teramat rendah.

Yusuf kecil menerimanya,
ia beralih dari satu ketetapan Allah ke ketetapanNya yang lain.

Datang seorang pejabat membelinya
Bahkan ia dibeli bukan untuk dijadikan budak,
Pejabat itu ingin menjadikannya sebagai anak,
Akhirnya Yusuf kecil terbina di keluarga mulia,
Namun apa sesudahnya, ia disayang ia pun jadi mangsa.

Ibu tirinya terpikat
oleh pesona Yusuf
dimintanya agar memenuhi syahwatnya

Yusuf berlari,
dan berkata, "Penjara lebih aku sukai"

Yusuf menjadi tahanan,
Lalu selesaikah di sini segala ujian?
Ia seorang yang mulia, anaknya dari Nabi Ya'qub yang mulia, dari kakeknya Nabi Ishaq yang mulia, dan Datuknya Nabi Ibrahim yang mulia,
Ayah-kakek moyangnya seorang Nabi,
Kemuliaan apa lagi yang kurang untuk mendapatkan hidup tanpa ujiaan?
Nabi Yusuf seorang yang penuh kemuliaan harus berlapang mendekam di penjara.
Di sinilah terpampang,
Bahwa ujian Allah bukan berarti penghinaan, 
melainkan tanda cinta, tanda kemuliaan, tanda kasih-sayangNya..
ujian adalah tangga untuk dipijaki.

Berbelas tahun lamanya Nabi Yusuf ditahan,
Ia hampir saja bebas,
2 tahanan yang ia bantu,
berjanji akan membantu Yusuf keluar dari penjara itu,
Namun ketika bebas, lupalah meraka pada jasanya yang dulu.

Lihatlah,
Bagaimanakah kondisi hati Nabi Yusuf saat itu?
Dari harapan yang tinggi, kemudian jatuh.
Berkali-kali..

Tak sekali,
Tapi tiap kali ia berharap, dan merasa seolah keadaan akan membaik,
tiap kali itu pula Allah mencandainya.

Duhai,
Benarlah kata Ulama,
Surat Yusuf adalah surat yang banyak mencerita tentang putus asa,
Nabi Yusuf harusnya sudah terputus asanya.
Sebaliknya, keyakinannya semakin berlipat tebalnya
Pada pertolongan Allah.
Pada janji Allah.

Atas dasar apa Yusuf dianiaya?
Apakah karena buruk perangainya?
Sekali-kali tidak.
Ia Yusuf sang pemilik hati yang lembut.
Bahkan manusia seperti Yusuf saja dibenci,
apatah lagi kita yang kebaikannya bisa dihitung jari.

Jika hari ini kita dibenci, disalahsangkai,
katakan pada diri,
Berbahagialah, duhai hati.. 
Kebencian orang padamu tak membuatmu dijerumuskan dalam bahaya, 
tak membuatmu dipisahkan dari orang yang dicintai berpuluh tahun lamanya, 
dan kau tak dibenci oleh saudara sendiri.
Berbahagialah, duhai hati.. 
sangka buruk orang lain padamu sekali-kali tak membuatmu lantas jadi buruk, 
lihatlah Yusuf, ia disangka sedemikian buruk, namun ia tetap terpilih dan termuliakan.


Nabi Yusuf, yang lembut..
Ajari kami mengobati hati,
yang berkali disakiti,
bahkan oleh orang yang dicintai,
Bagaimanakah memberikan penawar padanya?
Bagaimanakah memaafkan, tanpa hati mendendam?


Nabi Yusuf, terkasih..
Ajari kami agar tak pernah putus asa,
pada pertolongan Allah yang Maha Kuasa,
pada kebenaran janji-Nya yang tak pernah alpa.

Duhai,
Benarlah kata Ulama;

Yusuf dipenjara, karena ketampanan parasnya,
Yusuf bebas dari penjara, karena ketampanan hati dan akhlaknya.

Apakah itu pertanda,
Kunci menghadapi ujian adalah mempersolek hati dan perangai kita?

Duhai, Nabi Muhammad Al-Musthofa,
Kini kami tahu, mengapa surat ini turun ketika Baginda dilanda kesedihan tak berujung,
Ialah karena Nabi Yusuf seolah menghibur,
Bahwa cerita duka yang bertubi-tubi pun pasti miliki akhir.

Duhai, Nabi Muhammad Al-Musthofa,
Kini kami tahu, atas sabdamu; sesiapa yang membaca Surah Yusuf maka hilanglah kesedihan,
Karena kami menjadi malu, kesedihan dan luka kami belum seberapa dibanding segala ujian Nabi Yusuf.

dan kami jadi mengerti, 
sering kali Allah sedang menguji, 
di waktu yang bersamaan Ia pun sedang melindungi.


***
Natisa,
Bandung, Syawal 1437 H.



Sunday 3 July 2016

Membeli Buku NATISA

Assalamu'alaikum wr wb

Dear Para Pembaca, 



Saat ini Buku #CrayonUntukPelangiSabarmu sudah HABIS, dan tidak bisa dipesan lagi.
Mohon doanya, semoga ada kesempatan untuk mencetaknya ulang. 

Kabar baiknya, buku kedua Natisa, yaitu MEREBUT PERAN TUHAN, masih bisa dibeli di Toko Buku Gramedia (tertentu, di beberapa kota sudah habis) atau bisa juga dipesan ke:

WA/SMS:
EKO
0895-3576-11691




Terima kasih,
Semoga menjadi jalan kebaikan :)

Wassalamu'alaikum Wr Wb

Natisa