Tuesday 27 September 2016

"NATI, SIAPA TUHANMU?"

Sore itu kami diajak duduk melingkari sebuah batu kristal yang dipercantik dengan kalung bebungaan. 
Suasana menjelang matahari tenggelam di dalam komplek Green School, Sibang Kaja, Bali, terasa sangat tenteram dengan alunan nyanyian alam, gesekan dedaunan bambu, suara-suara serangga bersahutan, dan aliran sungai ayung. Salah seorang panitia Educator Course membimbing kami untuk melakukan Mindfulness. Sebuah metode mirip meditasi-tapi beda, dimana kami dibimibing untuk memusatkan perhatian sedemikian rupa, menghayati apa yang sedang dilakukan, tanpa melakukan penilaian.

Sejenak merasakan badan dengan seutuhnya kesadaran. Mendengarkan suara-suara di sekeliling. Mengulas apa yang terjadi seharian, menerima segala bentuk perasaan, dan let it go. 
Biasanya mindfulness dilakukan oleh para guru GS sebelum memulai pelajaran. Sekitar 10-15 menit.

Mindfulness sore itu terasa istimewa, hampir dua jam kami diberikan waktu untuk s a d a r. Diajak untuk bersatu dengan alam, menyimak apa yang ada dalam diri, dan mensyukuri nikmat-nikmat. Aku merasa diberi waktu untuk "pause", menyimak ke kedalaman diri, tanpa sedikitpun menilai/judge. Diiringi alunan musik yang bernada lambat, para peserta mulai menyanyikan lagu-lagu "pujian".
Aku duduk di samping Michelle, seorang ibu yang berasal dari Sydney. Karena tak ma(mp)u mengikuti nyanyian, aku pilih mindfulness dengan cara sendiri; dzikir sore. Menyimak lamat-lamat dzikir yang terucap, menelisik maknanya, seakan alam ikut bertasbih dengan caranya. Tiba di surat An-Nas, aku terpaku. Allah membahasakan diriNya sebagai Tuhan Manusia. Bukan sekadar Tuhannya orang Islam. Saat itu aku duduk bersama sekitar 30-an orang dari berbagai negara dan juga keyakinan, menyanyikan puja pujian rasa syukurnya. Pikiranku melayang, ya Allah kami semua makhlukMu. Aku yakin, semua hati di sini menyadari adanya Sang Maha yang menggerakkan kehidupan sedemikian rupa. Aku yakin, semua hati di sini bersyukur akan segala nikmat, nikmat yang telah Kau limpahkan. Aku yakin, kami semua adalah makhlukMu, dalam tatapanMu. Dengan bahasa masing-masing, dengan sedikit cahaya kesadaran sebagai makhluk, tunjukkanlah kami jalan yang lurus.. Ihdinasshiraathal mustaqiim..
Michelle melirikku yang sibuk komat-kamit sendiri. Lalu dia terdiam, menghentikan nyanyiannya dan membenarkan posisi duduknya. Dia pun mulai komat-kamit sendiri.
Dua jam berlalu, akhirnya sesi Mindfulness ini selesai.
Sambil berjalan pulang menuju Lodge, aku terus berfikir mengenai mindfulness ini, yang mengajari kesadaran terhadap apa yg dilihat, didengar, dan dilakukan. Tidak sekadar gerak random atau rutinitas, tapi benar-benar living in the moment. Begitu mungkin definisi lain dari khusyu'. Aku bergidik ketika membayangkan, andai di setiap shalat, dzikir, dan doa kita benar-benar hadir, benar-benar sadar. Apa yang akan terjadi?
Tiba-tiba seseorang dari belakang menyusul mensejajarkan langkahnya denganku. Tanpa basa-basi, dia bertanya,
"Nati, who is your God?" 
Dia, Michelle! Wajahnya penuh tanya.
Tadi Michelle bilang apa? Oh, dia bertanya siapa Tuhanku. Mungkin karena tadi dia melihatku tidak mengikuti nyanyian puji-pujian seperti yang lainnya, atau mungkin karena melihat pakaianku yang tertutup beda dengan yang lainnya, atau mungkin penasaran dengan apa yang aku baca? Belum sempat aku jawab, dia kembali bertanya, "is He in heaven or in Earth?"

Pertanyaan tentang Tuhan.. Ya Allah, hanya Engkau yang dapat menjelaskan siapa Engkau.. 
"My God is who created me, dan yang menciptakan surga juga bumi." Jawabku. Wajahnya masih menyimpan tanda tanya besar. Aku berusaha untuk menahan penjelasan yang lebih rumit, padahal di kepala ini udah pengen jelasin 20 sifat wajib Allah yang di antaranya Allah berbeda dengan makhlukNya yang membutuhkan tempat, atau letupan2 tafsir surat Alfatihah dimana Allah mengenalkan Zat-Nya dari ayat pertama sampai ayat ketiga. Aku tahan. Dia membutuhkan jawaban dari yang dia tanyakan, bukan semua isi kepalaku, dan aku belum tahu arah pertanyaannya kemana. Seperti yang kuduga dia kemudian bertanya, "Tadi kamu baca apa?"

"Tadi aku baca doa-doa yang diajarkan Tuhanku lewat nabinya, Nabi Muhammad Saw. Doa-doa itu ada dalam kitab suci kami, Al-Qur'an."
Kerutan di dahinya bertambah, "Tuhanmu berkata-kata? Apa isi dari doa-doa itu?"
Aku mereview kembali apa yang kubaca tadi; alfatihah, penggalan ayat-ayat surat AlBaqarah, surat-surat pendek, dan beberapa doa dari hadits Nabi. Jadi apa isi semua doa itu?
"Iya, Tuhanku berfirman kepada Nabi kami, seluruh firmanNya adalah petunjuk hidup bagi kami. Doa-doa yang tadi aku baca isinya meminta perlindungan kepada Allah Swt, memujaNya, dan menyampaikan rasa syukur kepadaNya yang telah menciptakan, melindungi, dan memelihara makhluk-Nya."
Raut muka Michelle seketika cerah, "So beautiful, Nati!"
Aku bertanya balik, "Michelle, tadi selama dua jam kamu membaca apa?"
Michele tersenyum manis. Mata beningnya ikut berbicara,
"Aku menyampaikan rasa terima kasihku, rasa syukurku kepada My Jesus, He saves my life. Suamiku meninggal dalam usia muda pernikahan kami. Aku membesarkan anak-anakku sendirian. Aku bersyukur aku dapat melalui masa-masa sulit. Jika tanpaNya sepertinya aku gak akan bisa melalui semua itu."

Lalu mengalirlah cerita hidupnya yang luar biasa. Sambil menyimak ceritanya tanpa sengaja mataku menangkap ukiran tato di lengannya. Sebuah kalimat yang indah, "Don't cry because it's over, smile because it happened." Kalimat yang penuh kekuatan dan penerimaan.
Dia menceritakan kesedihan hidupnya, tapi sama sekali aku tak menangkap raut kesedihan melainkan kebahagiaan. Hati yang penuh syukur. Bayangkan, dia selama dua jam tadi komat-kamit mengucapkan rasa syukurnya, dengan bahasanya sendiri. Apakah aku bisa dalam waktu dua jam melakukan hal yang sama? "Bercengkrama" dengan Tuhan selama itu, tidak meminta apa pun-tidak mengkomplain apa pun-tidak merajuk sedikit pun, hanya bersyukur. Apakah bisa? Apakah rasa syukur ini yang membuatnya mampu melalui cobaan-cobaan hidupnya? Allah Swt menjanjikan kepada yang bersyukur, niscaya akan Ia tambah nikmatNya. Apakah hati yang kuat adalah bentuk lain "tambahan nikmat" bagi makhluk-Nya yang bersyukur? Semakin aku sadar, bahwa bersyukur ialah cara termudah untuk bersabar.
Aku menggenggam tangannya yang lembut, "Michele, you really own beautiful heart, beautiful soul!" Aku berkaca-kaca, dan tak menyangka wanita 50 tahunan itu pun sama harunya. Dia menghentikan langkahnya, dan memelukku, mencium kedua pipiku. "Oo Nati! Aku baru kali ini bertemu orang seperti kamu. Baru kali ini aku merasa berharga!" 
Kami terhanyut bahagia yang ambigu. Masih terdekap keheranan mengapa dia begitu terharu. Aku hanya mengungkapkan rasa kagumku kepada hatinya yang penuh syukur. Rasa cemburuku.

Masya Allah.. 
Teringat perkataan Imam At-Tabari dalam kitab tafsirnya. Makna Rabb tak sekadar Tuhan. Rabb ialah Al-Khaaliq; yang menciptakan. Rabb ialah Al-Maalik; yang Menguasai. Rabb ialah Sang Pemelihara. Dan Allah adalah Rabbul 'aalamiin.. Tuhan Pencipta-Penguasa-Pemelihara semesta alam.

Dialah Rahman Rahim. Yang kasihNya dirasakan oleh semua makhluk-Nya, baik yang beriman ataupun tidak. Senja itu, aku menyaksikan kuasa dari Kasih SayangNya, yang mengokohkan hati rapuh menjadi sekuat senyuman indah di langit jingga.
Bila manusia benar-benar khalifah Allah di muka bumi, wakil Allah di muka bumi, dan Allah adalah Rahman Rahim; maka semoga aku termasuk dari sekumpulan para pecinta yang menghadirkan Rahmatan lil 'alamin ...


###
Nati Sajidah
27 Sept 2016

Memori dari Educator Course yang diselenggarakan Green School Bali, 29 Agustus - 2 September 2016.

No comments :

Post a Comment