Wednesday 30 December 2015

Manusia pada Huruf Ba


Manusia bisa naik meninggi dengan alat. Bisa turun, juga dengan alat. Selalu ada "dengan" di posisi mana pun manusia berada. 

Manusia bisa apa, tanpa "dengan".. Bisa bertahan di tengah ujian, karena membersamakan diri dengan Allah Sang Sumber Kekuatan. Bisa tetap tersenyum dan seolah baik-baik saja, itu pun dengan kekuatan dari Allah. Bisa mengatasi satu per satu kekusutan permasalahan pun karena daya upaya dari Allah. Karena manusia membersamakan dirinya dengan Allah.

Tapi manusia tetap manusia. Kepengecutan sesekali hadir membuatnya terpuruk. Rasanya ingin berteriak, mengibarkan bendera putih. Mengumumkan pada dunia; ia memilih putus asa dan game over saja.

Dalam kondisi seperti itu manusia tidak sedang membersamakan dirinya "dengan" Allah. Dia memilih untuk memeluk permasalahannya seorang diri. Mengulum duka sendirian. Memegahkan kesedihan sedemikian rupa. Hingga akhirnya ia digagahi oleh keterpurukan. Kondisi seperti inilah kondisi dimana manusia tidak membersamakan dirinya "dengan" Allah.


source: here

“Dengan”

Sebuah kata sederhana, namun menentukan bagaimana manusia menjalani kehidupan. Mungkin itulah kenapa basmalah, diawali BI yang berarti "dengan". Agar manusia sadar, dia tak ada apa-apanya, tanpa alat bantu. Dan kalimat sesudah "dengan" yang paling mewah adalah;

"Dengan menyebut nama Allah.. bismillaah.."

Ternyata untuk mengamalkan 1 huruf al-Quran pun luar biasa payahnya kita.
Jangankan mengamalkan basmalah dalam 1 kalimat utuh, di huruf BA saja manusia pasang surut "membersamakan" diri "dengan" Allah.

Jika kita ulas lagi, kita bisa bertahan kuat itu ketika membersamakan diri dengan Allah. Sebaliknya, kondisi memburuk ketika kita memutuskan menanggung beban sendirian. Jadi sebenarnya yang membuat semuanya terasa sulit itu ketika kita tidak menggunakan huruf BA! Ketika kita tidak membersamakan diri dengan Allah.

Pada huruf Ba atau “dengan”, ada pengekspresian kedekatan kita dengan yang disebut setelahnya. Allah. Sehingga membersamakan-Nya di setiap aktivitas kita adalah bentuk penghambaan diri yang senantiasa mencari pertolongan dari-Nya, dan mencari kebaikan yang senantiasa bertambah dari-Nya.

Huruf Ba adalah huruf Jar yang senantiasa dibaca kasrah (pecah, kalah). Menunjukkan keagungan Tuhan dan kebutuhan seorang hamba yang hatinya senantiasa diliputi rasa gelisah, pecah oleh kerisauan. Maka kebersamaan kita dengan Allah di setiap kondisi bermakna membersamakan diri yang rapuh dengan Dzat yang Maha Kokoh.
Apa yang terjadi ketika kita tidak menggunakan BA; ketika kita tidak membersamakan diri dengan Allah Swt? Kita terjauh dari sumber kekuatan, kedamaian, kasih sayang. Otomatis kita pun terjauh dari Maha Pemberi Pertolongan, Maha Pemberi Kebaikan. Hidup gelap dan sempit.

Apakah hari ini kita gelisah? Memandang segalanya terasa buntu, dan tak lagi ada jalan? Tak mampu lagi untuk lanjutkan kehidupan? Seakan semuanya suram? Dan ingin sudahi saja segalanya?

Mungkin inilah waktunya untuk kembali menggunakan huruf BA. Kembali membersamakan diri dengan Dzat Allah. Tanpa-Nya, kita ini siapa? Tanpa-Nya, kita ini tak tahu harus bagaimana. Tanpa-Nya, kita ini tiada.

Bismillaah, lanjutan kehidupan.

Bersama Allah. Dari Allah. Kepada Allah.


***
Bandung, penghujung 2015.



Tuesday 15 December 2015

Antara Kita dan DOA

BERDOALAH karena itu termasuk bagian dari usaha kita sebagai manusia. Bahkan doa adalah sebenar-benarnya usaha. Bagaimana tidak? Manusia dihidupkan untuk ibadah, dan inti dari semua kegiatan ibadah manusia adalah doa. Itu artinya sepanjang hidup kita merupakan doa. 

Maka berhentilah berdoa dengan pikiran untung rugi, "Aku sudah berdoa sekian kali, tapi kenapa tak juga dikabulkan?!" 
Hai, yang jadi kewajiban kita adalah berdoa, bukan mendapat ijabahnya. Ketika pengijabahan yang diinginkan belum juga diraih, tak perlu ambil pusing, karena toh kita dalamberdoa tak diwajibkan untuk mendapatkan pengijabahan. Tak.



Pengijabahan mutlak hak Allah. Apa-apa yang kita minta, mau dikabulkan atau ditangguhkan atau diganti dengan yang lebih baik, itu HAK ALLAH. Apa-apa yang kita minta dalam doa, bukanlah hak manusia, sehingga kita dengan enaknya terus menagih. Sekali lagi, bukan hak kita. Kita hanya diperintah berdoa.

Di sini ada keadilan Allah. Kita diperintah untuk fokus saja pada yang bisa kita lakukan; berusaha, berdoa. Tak perlu ikut pusing memikirkan pengijabahannya. Tugas kita hanya berdoa. Kita manusia kan, bukan Tuhan?

Nikmati masa-masa berdoa. 
Manusia jika diminta terus-terusan, pasti kesal. Apalagi dalam jangka waktu lama, dengan permintaan sama. Pasti semakin jengah. Tak begitu dengan Tuhan kita. Justru Ia cintai rayuan hamba. Berdoa, karena kita cinta untuk berkomunikasi denganNya. Berdoa, karena kita dimintaNya untuk terus mendekat merayu berbahasa doa. Berdoa dengan tidak mendikte Tuhan, tapi mesra menyambut seruanNya; berdoalah kepadaKu, niscaya akan Aku penuhi. Maka kita datang dengan hati yang penuh rindu. Memuji asmaNya, menyampaikan hajat, dan berpasrah kepada kuasaNya.


Betul, Ia menjanjikan ijabah doa. Tetaplah Ia yang berhak memberikan pengijabahan untuk setiap doa, dan kita pun tetap pada peran yang memenuhi panggilanNya; berdoa.

"Berdoa, bukan untuk mendapatkan,  
tapi karena Tuhan pengasih memerintahkan. 

Jika pun hidup ini sepenuhnya berdoa, 
sungguh, duhai Tuhan, 
aku tak mengapa..."


###
Natisa,
Bandung, 15 Desember 2015


Saturday 12 December 2015

TALK SHOW: MENEMBUS BATAS-BATAS SABAR




Batas-batas itu dari mana datangnya?
Sehingga ingin begitu saja berteriak, dan berhenti.
=============

InsyaAllah akan berbincang :
"Menembus Batas-batas Sabar"
Pada Hari Minggu, 13 Desember 2015, di Gramedia Asia Plaza, TASIKMALAYA! 
Jam 13.00 - 15.30 WIB 
😊

Dipandu oleh perempuan super Nurasiah Jamil

Yuk gabung, free dan untuk umum.
Kita hadir untuk saling menguatkan, menembus batas-batas.


Thursday 10 December 2015

Kantung Waktu


Allah, 
betapa nafas ini berada dalam kuasaMu yang bernama waktu.
Sejauh apa pun meninggalkan titik awal, 
pasti ada kenangan yang mengikuti. 
Begitu pula, 
sejengkal atau sedekat apapun kita melangkah ke hadapan 
pasti ada sesuatu baru yang kita dapatkan.
Manusia tak kuasa mengubah kenangan atau kehidupan yang telah tertinggal di belakang sana.
Manusia tak kuasa mengetahui bentuk kenyataan di hadapan,
walau hanya sepersekian detik setelah detik ini, kecuali dengan menapakinya.

Nafas dan waktu. 
Selagi bernafas, selama itu pula kita berada dalam sebuah kantung bernama waktu.
Nafas ini ada dalam genggaman Tuhan. Begitu pula dengan Waktu, ada dalam kuasa Tuhan.
Bila Ia berkehendak untuk memberhentikan saat ini juga, berhentilah. 

Maka, apalah kita ini? Bisa berjalan, karena diperjalankan. 
Bisa meraih ini dan itu, karena diberi izin bernafas dalam kuasaNya: waktu.
Apakah masih ingin berontak tentang kehidupan yang di belakang, 
sedang waktu terus berjalan?
Apakah masih ingin lanjutkan memintal benang kekhawatiran, 
sedang Tuhan terus memperjalankanmu ke hadapan, menyicil kenyataan.
Penyesalan dan kekhawatiran
mengapa tak kau ubah jadi; 
penerimaan dan harapan. 



Kereta melanjutkan perjalanannya. 
Seorang gadis di tepi jendela termangu. 
Betapapun matanya masih terpaku pada deretan rumah di belakang, kereta ini tetap melaju.
Mengajaknya pada pilihan; penyesalan atau penerimaan

Seorang gadis di tepi jendela, menatap ragu ke hadapan. 
Setebal apapun awan keraguannya, takkan mampu menolak laju kereta. 
Mengajaknya pada pilihan; 
tetap memintal kekhawatiran ataukah mulai meniti harapan.

Hidup ini perjalanan, 
dan kita hanya diperjalankan di atas kendaraan nafas. 
Di dalam kantung, bernama waktu.

Hidup ini perjalanan,
yang sering kali menemui kerikil dan pendakian,
kepada siapa lagi memohon pertolongan; 
agar dikaruniai hati yang penuh penerimaan dan selalu terisi harapan,
kecuali kepada Tuhan Sang Penggenggam Nafas dan Waktu.


###
Natisa
Jakarta - Jogja
Maret, 2015



Saturday 28 November 2015

Saat Disakiti



Bila ada yang merasa bebas menyakiti kita, kita pun memiliki kebebasan untuk menyikapinya. Apakah mempersilakan hati untuk tersakiti, atau mengacuhkan dan tetap melanjutkan kehidupan. Pilihan ada di tangan kita.

Tapi kita punya hati, yang tak bisa begitu saja disakiti!

Ya! Kita punya hati yang tak boleh disakiti, yang berhak atas kedamaian. Apakah ada kedamaian dalam keterpurukan? Apakah ada kedamaian dalam kedendaman? Apakah ada kedamaian di hati yang tak mau memaafkan?

Ketika hati disakiti oleh orang lain, seringkali kita pun ikut menyakitinya lebih-lebih lagi. Dengan apa? Dengan terus mendendam, dengan terus memeluk lutut di ruang keterpurukan.  Kita tak sadar, dengan begitu sebenarnya kita sedang mengekalkan luka kesedihan berumur lebih panjang.

Maka, ketika ada yang bebas menyakiti, ketika itu pula kita miliki kebebasan menyikapinya dengan sebaik-baik sikap.

Memaafkan bukan berarti mengalah, tetapi memilih kedamaian hati. Tidak semua pembalasan harus keluar dari tangan kita. Tuhan Mahaadil.  Dan pembalasan belum tentu membuat hati tenang. Sekali lagi, memaafkan adalah memilih kedamaian hati untuk terus melanjutkan kehidupan. Tidak mudah? Memang. Itulah kenapa memaafkan menjadi akhlaq agung berbuah penghapusan dosa dari Sang Maha. Kata Tuhan; maafkanlah, apakah kau tak mau dimaafkan? 
Menarik diri untuk menenangkan bukan berarti tak punya sikap, tapi sering kali sikap yang diambil dalam keadaan marah selalu berujung penyesalan dan permasalahan yang bertambah. Tenangkan diri, agar semua jelas. Kita baru bisa menangkap ikan saat airnya tenang dan jernih, kan? Sikap terbaik baru dapat kita tampilkan setelah semuanya tenang. Dalam proses menarik diri itu, kita bisa tersedu sambil terus memohon pertolongan Tuhan. Agar ditunjuki jalan yang bukan dituntun oleh nafsu. Tahukah? Kekuatan itu ada saat kita berbagi resah dengan Tuhan sambil terus berdzikir; Allah.. Allah.. Allah..
Memilih membalas hinaan dengan senyuman bukan berarti lemah, tapi kita memilih untuk tidak menyamakan level dengannya. Ketika hinaan dibalas dengan hinaan, maka akan ada dua orang hina. 
Memilih tuli dan tak mengacuhkan suara sumbang bukan berarti membiarkan diri dihinakan, tapi diri begitu sadar; untuk menjadi orang baik tak perlu kita membuktikan. Buat apa? Tetap melaju. Kita baik untuk diri kita. 

Disakiti atau didzhalimi itu seperti kita dilempari batu. Mengapa tak kumpulkan batu-batu itu untuk kita bangun jadi istana? Suatu hari setelah batu-batu itu telah tersusun menjadi istana yang indah, kita akan berterima kasih kepada mereka.

Biarkan mereka hidup dengan kebencian dan segala sikapnya yang menyakitkan. Di sini kita sibuk berbenah diri dan menabung kebaikan. Karena kita tak mau waktu habis begitu saja oleh rasa sakit dan segala duka nian.

Tidak akan ada rasa sakit hati yang membuat kita mati. Tidak akan ada. Tuhan menguji kita Tuhan pula yang memberi garansi; kita sanggup menghadapinya. 

Kita berhak bahagia, maka kita berkewajiban memilih sikap terbaik atas segala kejadian yang menghampiri. 

Nikmati dan hadapi.
Sikapi dengan sebaik-baik sikap, wahai diri.


###
Natisa






Friday 27 November 2015

Mengundang Masa Kecil


Lagu Iman Adalah Mutiara/Raihan, 10 tahun yang lalu saya mendengarkannya sambil menatap hujan rintik di balik kaca. Pemandangan yang terhampar adalah jalanan menikung khas Cadas Pangeran. Curam dan rawan kecelakaan. Mobil-mobil di sore itu berjalan penuh kehati-hatian. Plang-plang pemberi peringatan agar mengemudi di bawah kecepatan wajar terpampang di mana-mana. Nati kecil memandang ke luar, ke arah para penjaja dagangan. Bukan makanan atau minuman biasa yang dijaja oleh mereka. Namun sejenis sayuran yang mereka ambil langsung dari tebing-tebing Cadas Pangeran, katanya. Sambil terus mendengar lagu raihan, Abi menceritakan apa sayuran itu kepada saya yang terus bertanya-tanya. Ternyata itu jamur. Tapi bukan sembarang jamur yang biasa saya temukan di samping rumah, yang besarnya sama dengan jempol. Jamur yang mereka jajakan besar sekaliii. Sudah besar, lebar pula. Nampak sangat segar ditambah dengan butiran hujan yang menghiasinya. Wajahku semakin menempel di jendela mobil. Seperti lagu dari Grup Nasyid Raihan yang terus mengiringi perjalanan sore itu.

Jika boleh meminta, saya ingin meminta Grup Raihan kembali bangkit meramaikan jagat musik dunia. Saya juga akan meminta kepada mereka agar membuatkan lagu yang tak kalah hebat pengaruhnya dengan album pertama mereka. Jika boleh meminta, tapi tidak bisa. Itu sama saja menuntut sesuatu untuk kembali pada masa lalu. Itu sama saja saya merengek agar bisa kembali ke masa kecil. 



Masa kecil yang tak menghiraukan permasalahan kehidupan yang semakin pelik. Tak disibukkan dengan penjagaan image yang penuh kepura-puraan. Kembali bermain air di samping masjid. Hujan-hujanan di kebun orang. Pulang-pulang membawa beberapa singkong, entah punya siapa, tapi kuniatkan untuk berbagi denga teman-teman pengajian. Atau menaiki tebing di samping tower pesantren dekat rumah. Tanpa harus memikirkan malu atau takut. Atau bermain sepeda sambil terguling-guling jatuh tidak juga kena jera. Hampir selalu gagal ketika mencoba untuk membelokkan stang, dan tidak bisa mengerem ketika jalan menurun sudah mentok, alhasil saya mengerem secara alami: terjerembab di tembok rumah orang. Tapi saat itu sakit ataupun luka tidak seberapa. Tidak pernah sampai menjadi alasan untuk berhenti. Sakit hati dimusuhi teman-teman pengajian karena melarang mereka berlarian di masjid, juga tak membuatku berhenti melakukannya lagi dan lagi. Atau ketika uring-uringan melerai dua teman yang bermusuhan, saya tak lantas berhenti untuk mengadu domba mereka dalam kebaikan. Menyampaikan salam dari satu sama lain, padahal omong kosong hanya akal-akalan saya saja yang jengah dengan permusuhan. Atau ketika berlama-lama berdiskusi dengan Kakak Santri, yang mesantren di bawah asuhan Abi. Mendiskusikan ayat-ayat. Anak SD yang membuat repot santri-santri dengan pertanyaan tak berujung. Tapi tak pernah bosan walau dilakukan berjam-jam. Meninggalkan teman-teman yang asyik bermain “bebentengan” di luar masjid. Saya duduk betah berdiskusi dengan Kakak Santri yang lama kelamaan dia mencari-cari alasan untuk menghentikan diskusi. Semua terasa mengasyikkan. Seperti tak mengenal lelah, bosan, malu, takut ….


Seharusnya hari ini pun tak jauh beda.
Harusya tetap berani bertindak walau sendiri.
Harusnya tetap ceria walau mendapat tekanan.
Harusnya tetap tersenyum walau disakiti.
Harusnya tetap dalam kebaikan walau di tengah arus.
Harusnya tak kenal putus asa walau terjerembab kegagalan berkali-kali.
Harusnya, bagaimanapun masa kecil kita, segala kebaikannya harus tetap ada di diri yang sekarang. 
Bahkan lebih kompleks dengan segala kekokohannya.


Yang harus diingat, kepribadian kita saat ini tidak pernah lepas dari kepribadian kita di masa kecil. Maka menjadi satu hal yang tidak mustahil, kita dapat mengembalikan kebaikan-kebaikan masa lalu. Bisa! Karena jiwa kita hari ini dengan jiwa kita yang dulu adalah SAMA! Kita miliki bekal untuk kembali mengundang mereka menghiasi kepribadian. Tidak semata romantisme mengenang masa yang sudah berlalu.
Seperti lagu Raihan ini. Tentang harapan hamba yang mengiba agar cinta dan rindunya hanya milik Tuhannya, tidak pada yang lain.

~Tuhan hadiahkanlah kasih Mu kepadaku
~Tuhan kurniakanlah rinduku kepada Mu

~Moga ku tahu

~Syukur ku hanyalah milik Mu

Dulu, saya ikut mendendangkan bait-bait syahdu ini dengan tanpa pemaknaan. Tanpa penghayatan pada kata-katanya. Hari ini, saya kembali dapat menikmatinya, dengan menyimak per kata, mendengar dengan perasaan, kemudian memikirkan kedalaman maknanya.

Ini bukti bahwa kita bisa terbang ke masa lalu, kepada aktivitas-aktivitas yang pernah kita lakukan, namun dengan kepribadian yang lebih matang. Lebih memaknai. Lebih berorientasi pada kebaikan yang terencana.

Bagaimana dengan kepribadian masa lalu? Tentu hal ini menjadi modal bagi ketinggian pribadi kita saat ini. Kau yang dulu sangat ceria, yakinkan dirimu bahwa hari ini pun kau dapat menempuh segala rintangan kehidupan dengan keceriaan optimisme! Jika kau tak juga yakin, maka saya bertanya, apa telah amnesia miliki masa kecil yang ceria? Memang jelas beda hari ini dengan masa kanak-kanak, tapi Tuhan tak pernah curang, Dia selalu memberi kehidupan yang berbanding lurus dengan kesiapan jiwa kita.

Kau yang dulunya Sang Pemberani, beranilah untuk kembali menjadi pemberani! Rasakan letupan impianmu, rasakan pula keinginan yang menghentak untuk mewujudkanya. Sama seperti kau sangat menginginkan sebuah mainan, dengan beraninya merengek pada ibu dan ayahmu. Kau pun berani membela teman-temanmu yang disakiti. Kau Sang Pemberani! Undanglah! Undang kembali keberanianmu dalam bermimpi dan mewujudkannya! Tak pernah ada impian yang terlalu besar, yang ada hanyalah kekerdilan dalam berusaha. 

Impian selamanya akan terasa besar dan berat, jika dilakukan dengan usaha yang tersendat-sendat. Beranilah! Berani mendobrak kemalasan yang menggunung. Berani merubah segala kebiasaan buruk. Berani menghadapi resiko ketika diri telah bulat memutuskan untuk berubah menjadi lebih baik! Beranilah untuk berani, hei Sang Pemberani!

Lihat, betapa banyak yang dapat kita undang untuk kembali meramaikan kepribadian kita hari ini. Jangan berhenti untuk bernostalgia dengan mereka. Jiwa-jiwa kanakmu. Karena mereka selalu ada, dan menantimu untuk memainkannya.



###

Nati Sajidah
Bandung, 25 Oktober 2011.




Tuesday 17 November 2015

Ketika Menjadi Sebab dan Akibat

Di kehidupan ini, kadang kita menjadi sebab bagi hidup orang lain. Di lain waktu, kita menjadi akibat dari tindakan orang lain.

"Bagi manusia sebab-akibat itu membentuk peta dengan ukuran raksasa. Kehidupanmu menyebabkan perubahan garis kehidupan orang lain, kehidupan orang lain mengakibatkan perubahan garis kehidupan orang lainnya lagi, kemudian entah pada siklus yang keberapa, kembali lagi ke garis kehidupanmu. Saling mempengaruhi, saling berinteraksi."
Tere Liye, Rembulan Tenggelam Di Wajahmu

Ketika menjadi sebab bagi orang lain, ada kalanya kita sadar, ada kalanya kita tak menyadarinya sama sekali bahwa saat itu kita sedang menjadi penyebab bagi perubahan kehidupan orang lain. Karena kita manusia yang tak pernah selamanya memegang kendali kesadaran akan setiap laku diri, maka sikap terbaik mengisi rantai sebab-akibat itu adalah selalu mengisi setiap kesempatan dengan kebaikan.

Kita tak pernah tahu kebaikan mana yang akan menyelamatkan diri kita, atau yang berdampak pada kehidupan orang lain, maka berbuat baiklah terus. Seperti sahabat agung, Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu, ternyata yang membuatnya masuk surga adalah suatu ketika ia pernah menyelamatkan seekor burung pipit yang sekarat. Kebaikan mana yang berdampak, kita tak pernah tahu. Yang kita tahu dan bisa lakukan hanyalah terus mengisi kehidupan dengan kebaikan.

Itu ketika kita menjadi sebab.

Kehidupan juga mempergilirkan kita sebagai akibat dari tindakan orang lain.
Parahnya adalah ketika orang tersebut tidak menyadari bahwa tindakannya telah menyebabkan permasalahan berefek domino pada kehidupan kita. Berkepanjangan. Merumit di setiap fasenya. Dan dia melenggang, tak menyadarinya. Apa yang bisa dilakukan jika kita menjadi akibat dari sebab yang orang lain perbuat?

Di saat seperti itu sikap yang paling spontan ingin dilakukan pastilah menyalahkan. Menyalahkan dia yang telah membuat semua kerumitan ini terjadi. Namun apakah selesai dengan menyalahkan? Semua telah terjadi.

Di sinilah kita mainkan sudut pandang. Saat kita menjadi akibat, cobalah untuk memahami kondisi ini dengan mulai berpikir dari sudut pandang penyebab. Bahwa kita, seperti yang kita sepakati sebelumnya, tak pernah selalu menyadari sikap mana yang akan  mengubah hidup diri atau orang lain. Begitu pula ia yang menjadi sebab kerumitan hidup kita. Dia tak menyadari efeknya sebesar ini. Maka tinggalkan ia. Yang ada di hadapan kita tinggal kondisi yang harus disikapi. Dengan atau tanpa dia yang menjadi sebab semua ini, kondisi ini sudah ada dalam ketetapan-Nya yang harus terjadi. Yang bisa kita lakukan? Sikapi dan hadapi. Tinggalkan ia yang menjadi sebab semua ini, karena kita memutuskan untuk menjadi akibat yang baik.

Pada nyatanya, kehidupan ini dipergilirkan Allah tak sesempit sebab-akibat. Ada tindakan-Nya yang di luar spektrum sebab atau akibat. Karena sebab-akibat hanyalah teori yang kita kenal, sedangkan ketetapan Allah lebih luas daripada itu. Seperti kita sering bertanya-tanya, mengapa Dia seakan mudahkan jalan bagi keburukan? Mengapa seakan pelik untuk mewujudkan kebaikan? Dimana keadilan Tuhan? Justru di situlah keadilan Tuhan. Berjuta bentuknya. Tak sesempit dugaan atau definisi kita tentang makna adil itu sendiri. Bahkan jika kehidupan ini dihabiskan hanya untuk mengurai makna adilnya Tuhan pun takkan cukup waktu. 

Satu-satunya sikap terbaik menghadapi berjuta bentuk keadilan Tuhan adalah bersangka baik. Karena sering kali ketidaktahuan kita terhadap satu hal adalah bentuk kasih sayang dan perlindungan-Nya dari tahu itu sendiri. Bersangka baik bahwa segala yang berasal dari-Nya pastilah baik akan membawa kita pada penerimaan. Hanya hati yang ridha atau nerimo yang dapat menggerakkan seluruh indra untuk memberikan sikap terbaik. 

Untuk menghadapi setiap kerumitan yang ada, kita bisa memulainya dengan bersangka baik. Lalu hadapi, dan nikmati! 

Sering kali pertanyaan-pertanyaan kehidupan
tak bertemu dengan jawaban,
namun berupa perjalanan yang harus ditempuh,
tanpa diberi tahu akan seberapa jauh,
atau berapa peluh yang akan jatuh,
kita tak pernah tahu,
kecuali dengan terus menempuh perjalanan itu.
Natisa, Crayon Untuk Pelangi Sabarmu, hlm: 78




###
Natisa,
Bandung, 17 November 2015


Wednesday 11 November 2015

Bedah Buku di MAN Cipasung


Bertepatan dengan Hari Pahlawan Nasional, saya bedah buku di lingkungan pesantren yang didirikan seorang Kiai yang juga pahlawan penggerak, Abah Ruhiat. Seakan semangat tinggi beliau ikut hadir di hari itu, 300an peserta memenuhi Aula PSBB MAN Cipasung. Antrian registrasi sampai mengular. 




Di balik panggung saya gugup bukan main. Apa yang akan saya sampaikan di hadapan mereka yang luar biasa? Dan selalu, kalimat pamungkas untuk memulai sesuaitu itu berbunyi; bismillah. Sekadar hadir untuk ngalap barokah di tempat mulia ini. Hidup ini untuk mengumpulkan kebaikan diri, maka berikan yang terbaik dari yang kita bisa. Apakah kemudian nantinya jadi bermanfaat untuk orang lain, itu kehendak Allah. Tugas kita hanya: BERKEBAIKAN buat diri sendiri. *mantra itu yang akhirnya aku tancapkan. Bismillah, ini kesempatan untuk ngaji diri.


Alhasil tema itu pula yang dibahas di hadapan adik-adik ceria dan semangat itu. Jadilah EGOIS, melakukan kebaikan ini itu untuk mengumpulkan pundi kebaikan. Alhamdulillah, liar-luar biasa! Menangkap "aha-moment" di mata mereka. Buku CUPS ludes tak bersisa. 

Terima kasih tak terhingga kepada Ibu Kepsek MAN Cipasung, Ibu Hj. Ida Nurhalida yang telah memberikan kesempatan belajar kepada saya. Terima kasih Bu atas nasehat Ibu ini, "Tulis apa yang kamu kerjakan, dan KERJAKAN apa yang kamu tulis." *netes...
Ibu Hj. Ida Nurhalida memberikan sambutan dan nasehat jlebb. Such a present for me..
Terima kasih kepada tim pelaksana dari Ex-cool Broadcast BROWNIS MAN Cipasung yang dipimpin oleh Pak Edo. Terima kasih kepada kawan-kawan dari Bandung yang turut hadir. Terima kasih MC keceee, Fauzi Noerwenda.
Tim Broadcast BRONIS MAN Cipasung
Keseruan acara berlanjut setelah ditutup. Adik-adik menyerbu saya dengan buku tulis dan buku CUPS yang mereka beli. Semoga bisa menjadi jejak untuk kita saling mengingatkan kebaikan. Terima kasih, Bulan Utuh!







Terima kasih semuanya. Kalian liar-luar biasa! MasyaAllah 😙


###
Natisa
November, 2015