Tuesday 27 September 2016

"NATI, SIAPA TUHANMU?"

Sore itu kami diajak duduk melingkari sebuah batu kristal yang dipercantik dengan kalung bebungaan. 
Suasana menjelang matahari tenggelam di dalam komplek Green School, Sibang Kaja, Bali, terasa sangat tenteram dengan alunan nyanyian alam, gesekan dedaunan bambu, suara-suara serangga bersahutan, dan aliran sungai ayung. Salah seorang panitia Educator Course membimbing kami untuk melakukan Mindfulness. Sebuah metode mirip meditasi-tapi beda, dimana kami dibimibing untuk memusatkan perhatian sedemikian rupa, menghayati apa yang sedang dilakukan, tanpa melakukan penilaian.

Sejenak merasakan badan dengan seutuhnya kesadaran. Mendengarkan suara-suara di sekeliling. Mengulas apa yang terjadi seharian, menerima segala bentuk perasaan, dan let it go. 
Biasanya mindfulness dilakukan oleh para guru GS sebelum memulai pelajaran. Sekitar 10-15 menit.

Mindfulness sore itu terasa istimewa, hampir dua jam kami diberikan waktu untuk s a d a r. Diajak untuk bersatu dengan alam, menyimak apa yang ada dalam diri, dan mensyukuri nikmat-nikmat. Aku merasa diberi waktu untuk "pause", menyimak ke kedalaman diri, tanpa sedikitpun menilai/judge. Diiringi alunan musik yang bernada lambat, para peserta mulai menyanyikan lagu-lagu "pujian".
Aku duduk di samping Michelle, seorang ibu yang berasal dari Sydney. Karena tak ma(mp)u mengikuti nyanyian, aku pilih mindfulness dengan cara sendiri; dzikir sore. Menyimak lamat-lamat dzikir yang terucap, menelisik maknanya, seakan alam ikut bertasbih dengan caranya. Tiba di surat An-Nas, aku terpaku. Allah membahasakan diriNya sebagai Tuhan Manusia. Bukan sekadar Tuhannya orang Islam. Saat itu aku duduk bersama sekitar 30-an orang dari berbagai negara dan juga keyakinan, menyanyikan puja pujian rasa syukurnya. Pikiranku melayang, ya Allah kami semua makhlukMu. Aku yakin, semua hati di sini menyadari adanya Sang Maha yang menggerakkan kehidupan sedemikian rupa. Aku yakin, semua hati di sini bersyukur akan segala nikmat, nikmat yang telah Kau limpahkan. Aku yakin, kami semua adalah makhlukMu, dalam tatapanMu. Dengan bahasa masing-masing, dengan sedikit cahaya kesadaran sebagai makhluk, tunjukkanlah kami jalan yang lurus.. Ihdinasshiraathal mustaqiim..
Michelle melirikku yang sibuk komat-kamit sendiri. Lalu dia terdiam, menghentikan nyanyiannya dan membenarkan posisi duduknya. Dia pun mulai komat-kamit sendiri.
Dua jam berlalu, akhirnya sesi Mindfulness ini selesai.
Sambil berjalan pulang menuju Lodge, aku terus berfikir mengenai mindfulness ini, yang mengajari kesadaran terhadap apa yg dilihat, didengar, dan dilakukan. Tidak sekadar gerak random atau rutinitas, tapi benar-benar living in the moment. Begitu mungkin definisi lain dari khusyu'. Aku bergidik ketika membayangkan, andai di setiap shalat, dzikir, dan doa kita benar-benar hadir, benar-benar sadar. Apa yang akan terjadi?
Tiba-tiba seseorang dari belakang menyusul mensejajarkan langkahnya denganku. Tanpa basa-basi, dia bertanya,
"Nati, who is your God?" 
Dia, Michelle! Wajahnya penuh tanya.
Tadi Michelle bilang apa? Oh, dia bertanya siapa Tuhanku. Mungkin karena tadi dia melihatku tidak mengikuti nyanyian puji-pujian seperti yang lainnya, atau mungkin karena melihat pakaianku yang tertutup beda dengan yang lainnya, atau mungkin penasaran dengan apa yang aku baca? Belum sempat aku jawab, dia kembali bertanya, "is He in heaven or in Earth?"

Pertanyaan tentang Tuhan.. Ya Allah, hanya Engkau yang dapat menjelaskan siapa Engkau.. 
"My God is who created me, dan yang menciptakan surga juga bumi." Jawabku. Wajahnya masih menyimpan tanda tanya besar. Aku berusaha untuk menahan penjelasan yang lebih rumit, padahal di kepala ini udah pengen jelasin 20 sifat wajib Allah yang di antaranya Allah berbeda dengan makhlukNya yang membutuhkan tempat, atau letupan2 tafsir surat Alfatihah dimana Allah mengenalkan Zat-Nya dari ayat pertama sampai ayat ketiga. Aku tahan. Dia membutuhkan jawaban dari yang dia tanyakan, bukan semua isi kepalaku, dan aku belum tahu arah pertanyaannya kemana. Seperti yang kuduga dia kemudian bertanya, "Tadi kamu baca apa?"

"Tadi aku baca doa-doa yang diajarkan Tuhanku lewat nabinya, Nabi Muhammad Saw. Doa-doa itu ada dalam kitab suci kami, Al-Qur'an."
Kerutan di dahinya bertambah, "Tuhanmu berkata-kata? Apa isi dari doa-doa itu?"
Aku mereview kembali apa yang kubaca tadi; alfatihah, penggalan ayat-ayat surat AlBaqarah, surat-surat pendek, dan beberapa doa dari hadits Nabi. Jadi apa isi semua doa itu?
"Iya, Tuhanku berfirman kepada Nabi kami, seluruh firmanNya adalah petunjuk hidup bagi kami. Doa-doa yang tadi aku baca isinya meminta perlindungan kepada Allah Swt, memujaNya, dan menyampaikan rasa syukur kepadaNya yang telah menciptakan, melindungi, dan memelihara makhluk-Nya."
Raut muka Michelle seketika cerah, "So beautiful, Nati!"
Aku bertanya balik, "Michelle, tadi selama dua jam kamu membaca apa?"
Michele tersenyum manis. Mata beningnya ikut berbicara,
"Aku menyampaikan rasa terima kasihku, rasa syukurku kepada My Jesus, He saves my life. Suamiku meninggal dalam usia muda pernikahan kami. Aku membesarkan anak-anakku sendirian. Aku bersyukur aku dapat melalui masa-masa sulit. Jika tanpaNya sepertinya aku gak akan bisa melalui semua itu."

Lalu mengalirlah cerita hidupnya yang luar biasa. Sambil menyimak ceritanya tanpa sengaja mataku menangkap ukiran tato di lengannya. Sebuah kalimat yang indah, "Don't cry because it's over, smile because it happened." Kalimat yang penuh kekuatan dan penerimaan.
Dia menceritakan kesedihan hidupnya, tapi sama sekali aku tak menangkap raut kesedihan melainkan kebahagiaan. Hati yang penuh syukur. Bayangkan, dia selama dua jam tadi komat-kamit mengucapkan rasa syukurnya, dengan bahasanya sendiri. Apakah aku bisa dalam waktu dua jam melakukan hal yang sama? "Bercengkrama" dengan Tuhan selama itu, tidak meminta apa pun-tidak mengkomplain apa pun-tidak merajuk sedikit pun, hanya bersyukur. Apakah bisa? Apakah rasa syukur ini yang membuatnya mampu melalui cobaan-cobaan hidupnya? Allah Swt menjanjikan kepada yang bersyukur, niscaya akan Ia tambah nikmatNya. Apakah hati yang kuat adalah bentuk lain "tambahan nikmat" bagi makhluk-Nya yang bersyukur? Semakin aku sadar, bahwa bersyukur ialah cara termudah untuk bersabar.
Aku menggenggam tangannya yang lembut, "Michele, you really own beautiful heart, beautiful soul!" Aku berkaca-kaca, dan tak menyangka wanita 50 tahunan itu pun sama harunya. Dia menghentikan langkahnya, dan memelukku, mencium kedua pipiku. "Oo Nati! Aku baru kali ini bertemu orang seperti kamu. Baru kali ini aku merasa berharga!" 
Kami terhanyut bahagia yang ambigu. Masih terdekap keheranan mengapa dia begitu terharu. Aku hanya mengungkapkan rasa kagumku kepada hatinya yang penuh syukur. Rasa cemburuku.

Masya Allah.. 
Teringat perkataan Imam At-Tabari dalam kitab tafsirnya. Makna Rabb tak sekadar Tuhan. Rabb ialah Al-Khaaliq; yang menciptakan. Rabb ialah Al-Maalik; yang Menguasai. Rabb ialah Sang Pemelihara. Dan Allah adalah Rabbul 'aalamiin.. Tuhan Pencipta-Penguasa-Pemelihara semesta alam.

Dialah Rahman Rahim. Yang kasihNya dirasakan oleh semua makhluk-Nya, baik yang beriman ataupun tidak. Senja itu, aku menyaksikan kuasa dari Kasih SayangNya, yang mengokohkan hati rapuh menjadi sekuat senyuman indah di langit jingga.
Bila manusia benar-benar khalifah Allah di muka bumi, wakil Allah di muka bumi, dan Allah adalah Rahman Rahim; maka semoga aku termasuk dari sekumpulan para pecinta yang menghadirkan Rahmatan lil 'alamin ...


###
Nati Sajidah
27 Sept 2016

Memori dari Educator Course yang diselenggarakan Green School Bali, 29 Agustus - 2 September 2016.


Sunday 11 September 2016

Berenang dan Tuma'ninah

Apa yang membuatmu takut?
Mungkin bayangan sebuah keidealan capaian, dan kondisi diri yang merasa tak mampu menggapai.

Seorang pelatih renang sambil memegang peluitnya, ia menyeru pada si murid yang berulang kali kepayahan berenang, "Nak! Ketakutan itu yang membuatmu tidak menikmati berada di dalam air. Kamu berenang bukan untuk sampai ke tujuan, tapi nikmatilah setiap gerak tubuhmu."

Menikmati. Tapi sering kali pikiran kita digendangi penghakiman; kamu salah! Kamu tidak benar melakukannya! Seharusnya tidak begitu!

Lagi-lagi Bapak pelatih renang itu menenangkan hati si murid, "Terus saja bergerak, jangan kepikiran ini salah atau tidak. Kalau pun salah tinggal diperbaiki."

Kali ini si murid menyela, "Karena sadar aku salah, aku jadi panik, Pak! Dan tenggelam!"

Bapak pelatih itu tertawa mendengar keluhan muridnya, "Padahal kalau kamu biarkan diri mengambang saat tenggelam, badanmu akan menemukan "nafasnya" sendiri. Kepanikan yang membuat dirimu semakin tenggelam, Nak!"

Barangkali begitu adanya. Bayang-bayang keidealan, rasa rendah diri, penghakiman hati, dan kepanikan ketika melakukan kesalahan membuat diri tak bisa menikmati. Malah ketakutan semakin membesar menguasai hati.

Si murid menarik nafas dalam-dalam, kemudian dikeluarkannya secara perlahan. Mencoba memperbaiki cara berpikirnya, ia berkata pada diri sendiri, "Baik, kamu tak perlu mencapai ujung sana. Kamu hanya perlu menggerakkan kaki dan tangan. Gerakkan dua kali kaki, lalu tangan 1kali. Tak apa jika salah, it's okay! Diperbaiki setelahnya saja!"

Kemudian dia menyelam. 2 kakinya bergerak nyaris sempurna, disusul secara terburu-buru dengan gerakan tangan yang penuh interval. Dia kalut. Dia melakukan kesalahan! Tapi berusaha terus bergerak. Gerakannya semakin lama semakin tak karuan. Dia melupakan satu hal!

Kepalanya muncul di permukaan dengan nafas yang terengah. Di ujung kolam Sang Pelatih tersenyum mengacungkan jempol, "Bagus! Ada yang kamu lupa, ya?"

"Aku berusaha tidak panik saat tenggelam tadi, Pak. Tapi sesak, aku tidak menemukan nafasku!"

"Itu karena kamu terburu-buru berpindah dari satu gerakan ke gerakan. Agar tidak panik kamu perlu jeda. Berjedalah 3 detik, baru lanjut ke gerakan setelahnya. Rasakan badanmu mengambang di atas air. Ingat, ini bukan tentang cepat atau sampai."

Si murid menggigil di dalam air. Dia sadar telah mengabaikan jeda, karena merasa harus tepat dan cepat. Ternyata ada yang lebih dari kedua itu, yaitu bergerak secara sadar. Untuk sadar, kita perlu jeda di antara perpindahan gerak.

Apa yang membuatmu takut? Mungkin bayangan sebuah keidealan capaian, dan kondisi diri yang merasa tak mampu menggapai. Berjedalah. Kita hidup di dunia tidak sedang bersaing dengan siapa pun. Kecuali sebuah janji untuk terus memperbaiki diri.

Apa yang membuatmu takut? Mungkin kepanikan saat terjatuh, lalu diri dilputi penghakiman diri. Berjedalah. Melakukan kesalahan adalah kebaikan, sepanjang diikuti dengan perbaikan. Tak mengapa bersalah. Tandanya dirimu sadar apa yang harus dilakukan. Maka terus bergerak untuk memperbaiki.

Apa yang membuatmu takut? Mungkin karena lupa berjeda. Sejenak saja mengambil jeda antara satu episode ke episode lainnya. Untuk membenahi niatan awal diri, meresapi perjalanan yang sudah dilalui, dan melakukan hal yang lebih baik lagi. 

Seperti tuma'ninah dalam tiap gerakan shalat.
Seperti jeda waktu mustajab antara adzan dan iqomah.

###
Nati Sajidah 




Saturday 10 September 2016

They Taught Me How Islam Being Practiced

I believe Islam is the way of life, more than a religion. In Islam, we are taught to bring blessings, prosperity, and love for the entire universe (according to one of the verses in Holy Book Al-Quran). Our Prophet, the Prophet Muhammad (peace be upon him), his name means praiseworthy. Because he has a very commendable attitude to fellow human beings despite different groups and religions, animals, and environment.

I'm so grateful that I was be a part of EducatorCourse last week. I met many friends from different countries. I gained a lot of inspiration about how Islam is practiced which also inspired me to follow their acts.

Among the 25 participants from 13 different countries, there were friends from Depok and Hong Kong who choose not to drink cow's milk. The reason is because they know very well the process of how the cow was forced to produce milk. Cows suffer on dairy farms. They told me, “Cows produce milk for the same reason that humans do, but calves on dairy farms are taken away from their mothers when they are just 1 day old. They are fed milk replacers (including cattle blood) so that their mothers’ milk can be sold to humans.” One of them said to me firmly,”If we drink cow's milk, we took part in the cruel process.”

Another friend from Thailand is an activist who shows a great concern in saving elephant. She said, “Elephants skeletal structuring is not designed to carry weight on their backs, but rather weight from below. Many Elephants end up with deformed and broken backs as a result of years of long hours spent carrying tourists around. Walk beside elephants, it should be enough NOT riding them please! Just learn and stay with Giants.” Whoa! It changed my mindset. Before she told me, I didn't actually realize about that fact. She and her friends created a group: Cruelty Free Elelove. They created campaign for tourists to not riding elephants, and let them live freely in the forest. She also created and published a list of Cruelty Free Places Elephant Experiences to Visit Thailand.
I think she was very lucky, that she could do something meaningful with her love and passion for animals. And so does another one of my friend from Hong Kong.
Her father started an organic farm in Zhongshan, China, with a few companion animals and the intention to build a small petting zoo.
She managed to build a pretty solid team of animal caretakers, vet consultants, a stable population of around 100 animals - rabbits, pigs, dogs, turkeys, chickens, ponies, mules and cats - with a good standard of welfare and quality of life for each animal. She also scrapped the idea of a 'zoo' and instead made it into a sanctuary in the sense that the animals are NOT there for our entertainment, and they will be safe and protected in her care for the rest of their lives.

Actually I am neither an animal lover nor a hater. But what has been done by my friends made me realize about animal's rights.

The inspiration has not yet  finished. These ones about saving environment.
There was a friend from Jakarta who do not continuously use soap because of her concern about water pollution.  She choses to use coffee as a scrub as an alternative.
Green School also has a program Bio Bus. They had 3 buses which fuel is made from used cooking oil (UCO). On Wednesdays, they patrol the streets of Sibang, Ubud, Canggu and beyond, collecting UCO from local warungs and restaurants in exchange for their homemade Bio Soap. According to an article here, it is stated that: 
UCO is often used well beyond expiry and can be reheated 30+ times for frying food.  Making matters worse, middlemen may bleach or pump the UCO with chemicals before reselling to local eateries. This food is known to contain carcinogens and has been linked to pulmonary disease. River ways are another common and often final destination for UCO. Dumping UCO causes acidification and affects Bali’s watersheds and ecosystems. Polluted water threatens irrigation for growing staple foods and stresses coral reef ecosystems.Bio Bus saves the environment and health of Bali and provides their partner Lengis Hijau with a supply of UCO to be converted into Biodiesel.

Another one was Sanne, a member of the GS Events Team. When Educator Course was completed, she provide all workshop material, even those which we did not ask, but very useful. I asked her, why do I feel a very collaborative atmosphere in Green School, including her very hospitable attitude, I mean she was not exclusive about all the school's concept and documents. Then I got a wonderful answer, she said, “We like to involve our community as much as we can, because a sustainable future requires everyone, to take action by working together.”

Wow.
I learned a lot from them. I just realized many things.

My friends were very concerned whether their behavior causes damage to other beings or not. Whether their food choices would destroy nature or not. Whether her behavior could harm others or not. They actually calculated everything. In addition, they make the action to save the environment from the smallest thing that can be done, become an initiator and create movement to care about environment.

Everything they do has been taught in Islam. So I learned a lot how Islam being practiced from them. Like the spirit of bringing blessings and prosperity for the universe, including animals, plants, and fellow human beings. And the spirit of spreading the peaceful life. PEACE is one of the definition of Islam (Islam is derived from the Arabic root "Salema": peace, purity, submission and obedience). They also remind me about one verse in the Holy Book Al-Quran that God commands us to help one another, and to perform righteous and good deeds. They taught me how to be a good Muslim (a person who follows or practices the religion of Islam). If we can not become a useful person, at least not be the ones who make mischief.

Thank you, my friends. I learned a lot.
I just realize that to learn Islam; we need to learn from guru or ulama, 
To learn to be a good Muslim; it could be from anyone.

Thank you.
with love.
Nati Sajidah


Saturday 3 September 2016

Antara ISIS, Islam, dan Kedamaian

"And how about ISIS? Are they representation of Islam?" 
Tanyanya setelah menanyakan tentang gerakan shalat; apakah shalat menghadap ke satu arah atau bebas mengarah kemana saja; apakah shalat sama dengan meditasi, apa kegunaannya, dll. She is from Hongkong, one of my buddies study during Educator Course last week. 
Karena tempat tidur kami bersebelahan, dia yang selalu melihat saat aku melaksanakan shalat. Memerhatikan apa yang dibaca, dan mengapa menghadap "tembok". Aku perlihatkan gambar Ka'bah yang dikelilingi jutaan manusia. Dengan terkejut dia bertanya untuk meyakinkan, "Itu semua manusia? Jadi semua manusia muslim di seluruh dunia shalat menghadap benda itu? Mengapa menyembah benda hitam itu?"
"Ya! Ka'bah sebuah bangunan, kami tidak menyembah bangunan mati. Melainkan itu simbol bahwa kami hamba dari Tuhan yang Maha Satu. Apapun warna kulit kami, dari mana pun asal kami, di hadapan Dia kami sama-sama hamba." Jawabku sambil memerlihatkan gambar Ka'bah yang lain. Dia masih terpana dengan fenomena jutaan manusia mengelilingi satu titik. Beberapa saat kemudian dia sedikit memundurkan posisi tempat duduknya, dan bertanya, "And how about ISIS? Are they representation of Islam?"

Ini dia... Seperti seluruh pertanyaan yang lainnya, aku selalu merasa harus sangat hati-hati menjawab. Memohon kepada Allah agar di setiap jawaban yg keluar ini mengandung kebaikan, tidak menyakiti perasaan siapapun. 
Selama seminggu merasakan menjadi minoritas, sebuah pengalaman yang warrbiyasah. Gak bisa berprilaku seenaknya, harus selalu memerhatikan yang lain. Teringat pesan Abi sebelum pergi haji bersamaan dengan aku harus pergi ke acara ini. Abi bilang, "Membaur tanpa harus melebur." Bergabung dengan 25 peserta Educator Course dari 12 negara berbeda di tanah subur Bali, dan menjadi satu di antara dua peserta muslim, memberikanku banyak pelajaran. Bahwa hal pertama yang orang lain rasakan dari kehadiran kita adalah perilaku diri. Bukan hafalan teori, dalil, dan segudang argumen. Melainkan akhlaq, bagaimana kita membawakan diri kita di antara sebuah komunitas. Aku punnn masih jauuuuh dari akhlaq terpuji. Tapi sangat terpatri dengan pepatah sunda, "Someah, Hade Ka Semah", atau "ramah, berlaku baik kepada tamu." 
Temanku ini seorang pencinta hewan. Di pagi hari ketiga Course aku kehilangan dia, ternyata dia berjalan-jalan sendiri di sekitaran hutan. Menemukan seekor babi, yang menurutnya sangat lucu, sedang makan dan mengorek-ngorek tanah. Dengan bahagianya dia memerlihatkan kepadaku video babi-lucunya itu, dan aku? "Ahya, lucu banget!" Sambil menahan meringis.. Rupanya dia sedang merindukan ternak babi dan anjingnya di Hongkong.

Lalu tentang pertanyaannya tadi.. Sejujurnya aku takut saat menjawab pertanyaan ini, akhirnya aku menjawab, "Well, do you know what ISLAM means? Islam taken from arabic word, its means: PEACE. Why? Karena Islam mengajarkan kedamaian. Dalam kitab suci kami tertulis tentang tujuan mengapa manusia dihidupkan adalah untuk menjadi seorang Leader yang spread love and kindness on earth. Not only to human, but to the mother nature, and even the animals! Dalam agama kami, ada kisah yang ditutur; seorang wanita pezina yang sudah lumur dengan dosa dia masuk surga karena kasih sayangnya kepada seekor anjing. Dia memberikan minum saat anjing itu kehausan. Dan saya belajar banyak bagaimana menyayangi binatang dari kamu looh..!" Dia tersenyum bahagia, "Oh, really?!"

"Tentang ISIS, aku ga bisa menjawabnya. Terorisme tidak memiliki agama, artinya bisa saja terjadi di agama mana pun, dan mengaku-aku sebagai agama mana saja. Islam agama yang penuh kasih sayang, nabinya aja bermakna "Yang Terpuji".. Jadi kamu bisa menilai mana yang sebenarnya yg merepresentasikan Islam. Agama kami tidak mengajarkan kekerasan, sebaliknya, agama kami agama yang penuh kasih sayang dan kebaikan."

Temanku mengangguk-angguk menyimak dengan simpati, lalu menimpali, "Terima kasih, Nati. Ini baru kali pertama aku punya teman muslim. Selama ini aku dengar Islam hanya tentang ISIS dan terorisme. Itulah kenapa aku menanyakan hal ini, karena apa yang aku dengar tentang Islam teroris sangat berbeda dengan yang aku saksikan langsung dengan praktek bagaimana kamu beragama!"


Allahumma shalli 'alaa sayyidinaa Muhammad.. Jadi kangen sama Junjungan yang Terpuji..



###
Nati Sajidah

Memori dari Educator Course yang diselenggarakan Green School Bali, 29 Agustus - 2 September 2016.


Thursday 1 September 2016

Sebagai Tanda Cinta


"Are you believe in One God?" tanya teman dari Brazil sepulang aktivitas Educator Course menuju tempat kami menginap. Sambil berjalan menyusuri komplek hijau Green School dan Sungai Ayung, kami terus berdialog dengan pertanyaannya yang berkembang terus; apa kamu yakin ada kehidupan setelah kematian?; Apa manusia hanya punya satu kesempatan?; Apa kamu percaya Jesus anak Tuhan?;

Dan sampailah pada pertanyaan, "I am sorry to asking you this question, kenapa kamu menutup seluruh badanmu kayak gini?" langkahnya dihentikan dan menunjuk aku yang berjilbab.
Mungkin ini pertanyaannya yang paling membuatnya penasaran. Di tengah cuaca Bali yang fanas, ditambah aktivitas selama Educator Course yang padat mudah banget ngucurin keringat, tapi aku malah memakai baju tertutup. Aku mencoba menjawabnya dengan bahasa inggris seadanya, pacampur dengan lintasan kosakata Bahasa Arab dan Bahasa Sunda yang suka ojol-ojol eksis. 
"Kenapa aku menutup badanku seperti ini? Karena Tuhan memintaku untuk melakukannya, sebagai tanda cintaNya Dia menjaga hambaNya."
Kelopak matanya membulat, "Apa kamu merasa terjaga dengan berpakaian seperti ini?"
"Sure. Bukan hanya merasa terjaga, tapi juga merasa dicinta. Tuhanku selalu menginginkan yang terbaik bagi hamba-Nya."
Kali ini dia menghentikan langkahnya, "Nice! His obligation make you feeling loved. Its so amazing!"

Aku tersenyum. Mengingat di hari sebelumnya, salah seorang teman dari Portugal juga bertanya, "Apa kamu gak ngerasa kepanasan? Kelihatannya ngga yaa, pasti karena kamu udah biasa."
Waktu itu aku hanya menjawabnya dengan senyuman. Hari ini aku sadar. Bukan karena hanya sudah terbiasa, tapi ini tanda cinta Tuhan pada hamba. Dia selalu inginkan yang terbaik, maka Ia menjaga.



###
Nati Sajidah
*Memori dari Educator Course yang diselenggarakan Green School Bali, 29 Agustus - 2 September 2016.