Sunday 27 March 2016

Menjadi Musafir atau Penyeberang Jalan di Dunia

Tempat asal kita adalah surga, kawan. Itulah mengapa Nabi terkasih Muhammad SAW bersabda kepada Ibnu Umar ra, 

"Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau penyeberang jalan.”  (HR. Bukhari)

Orang asing yang melakukan perjalanan atau musafir memiliki 5 sifat:

1. Setiap orang yang tinggal bersama keluarganya akan merasa serba kecukupan terhadap kebutuhannya. Sedangkan seorang musafir jauh dari hal-hal tersebut, maka ketergantungan dirinya hanya kepada Allah swt dan sangat besar. Jadi hadits ini mengajarkan kepada kita agar hati kita selalu dalam kondisi tergantung dan berharap hanya kepada Allah Swt.

2. Seorang Musafir dalam perjalanannya tidak membawa seluruh hartanya, kecuali yang ia perlukan dalam perjalanannya. Karena apabila ia membawa itu semua akan menyebakan ia tidak bisa melanjutkan perjalannya, atau paling tidak akan membuatnya lambat dalam meneruskan perjalannya. Begitu pula seorang mukmin wajib mengambil di dunia ini apa-apa yang bisa membantunya dalam meraih kebahagiaan di akherat dan harus meninggalkan yg dapat merusak kedudukannya di sisi Allah.

3. Seorang musafir tidak melihat jalan sebagai tujuan, namun dia melihatnya hanya sebagai sarana yang akan mengantarkannya menuju sebuah tujuan utama. Begitu pula seorang mukmin dia harus berinteraksi dengan dunia sebagai sebuah sarana untuk mencapai tujuan yg besar yaitu bertemu dengan Allah Swt dalam kondisi ridha dan diridhai.

4.  Seorang musafir merasakan setiap langkah yang diayunkan dan setiap menit yang dilewatkan, berarti dia telah menjauh dari titik tolak perjalanannya yang pertama dan mulai mendekat ke titik akhir dari perjalanannya. Begitu pula seorang mukmin, setiap saat seorang mukmin mendekati kematian, untuk melanjutkan kehidupan di negeri keabadian.

5. Seorang musafir ketika menempuh perjalanannya ia harus berhenti di terminal-terminal yang di situ ia mengisi perbekalannya. Jika tidak melakukannya maka ia tidak bisa melanjutkan perjalanannya. Begitu pula orang beriman harus selalu memenuhi dirinya dengan perbekalan agar ia dapat menempuh perjalanannya dengan baik. Dan perbekalan tersebut didapatkan diterminal ilmu, ibadah, serta bergaul dengan orang-orang shalih.

Semoga kita dapat kembali ke tempat asal, dalam keadaan ridha dan diridhai-Nya. Kita ini musafir yang melakukan perjalanan, yang mana mungkin boleh betah menetap  di perjalanan. Ada yang kita tuju; tujuan. Bahkan kita hanya sekadar penyeberang jalan. Jika berlama-lama berdiri, kita bisa ditabrak. Jika tak mawas diri, bisa berakhir tanpa arti.

Wallahu a'lam bis showaab.
*
Nati Sajidah


Tuesday 22 March 2016

Si Mbak yang Kabur dari Suaminya

Lagi di travel. Cuma berdua, sama seorang wanita muda. Matanya sembab dan berkaca-kaca bertanya ke saya, "Mbak ke Bandung juga?"
Saya menoleh, "Iya.." jawabanku menggantung terperangkap matanya yang berkaca-kaca. Bola matanya yang terus menatap seolah sebuah pintu yang terbuka, yang ingin dimasuki. Dan saya gak bisa ngga untuk bertanya lebih lanjut, "Mbak, kenapa..?"

Wajahnya memerah. Air yang menggenang di kelopak matanya tumpah,

"Saya.. Saya kabur.. Dari suami saya.." pecahlah tangisannya.
Mulutnya bergetar, menceritakan pilu yang ia genggam. Tentang suaminya yang pemabuk, yang setiap ia tegur setiap itu pula ia kena damprat, tendangan, jambakan, bahkan diguyur air dingin dan dikunci di kamar mandi. Ia memperlihatkan luka bakar di tangannya 'peninggalan' si suami, yang tadi pagi sebelum ia kabur luka itu diremas kuat.
Katanya tadi di tempat travel suaminya sempat menyusul, dan cekcok di depan umum. Sampai akhirnya salah seorang tetangganya bilang, "Mas, biarin si Mbaknya pulang aja. Daripada tiap malem ribut dan disiksa terus." si suami terdiam, malu mungkin, lalu akhirnya melepaskan istrinya.

Saya hanya bisa menyimak. Rasanya tak kuasa untuk sekadar berkata, "Sabar ya Mbak.." pada orang yang bisa jadi sudah melewati lapis-lapis kesabaran begitu dalam. Yang saya rasakan, sering kali wanita tak butuh kalimat nasehat untuk kegundahannya, ia hanya butuh telinga untuk menyimak ceritanya. Atau genggaman tangan yang mengalirkan kekuatan dan doa.

Saya hanya bisa menyimak, tapi matanya yang berkaca-kaca itu seperti menagih saya berbicara.

"Mbak.. Hebat. Sudah sampai sejauh ini bersabar dan bertahan." akhirnya, hanya itu yang saya bisa.

Matanya yang berkaca-kaca itu kemudian menatap, tersenyum. Lebih tenang.
Tidak lama setelah itu si Mbak tertidur begitu lelap, setelah sebelumnya setiap malam ia hanya bisa tidur 1-2 jam. Mungkin ini tidurnya yang paling nyenyak, setelah 2 bulan pernikahannya. Ya, usia pernikahannya baru 2 bulan.
Mbak, Allah takkan pernah salah alamat memberikan ujian. Tiada detil kesabaranmu yang diteguhkan, kecuali ada rahmat Allah yang ditambahkan.
Semoga Allah menguatkanmu..
***

Tol Cipularang, 22 Maret 2016


Friday 11 March 2016

Bapak Becak yang Kaya

Pulang dari rumah Bibi, saya diantar becak langganan Bibi. Sebelumnya, Bibi cerita tentang keistimewaan Bapak Becak langganannya ini.

Beliau punya 4 anak, dan salah satu anaknya Haafidzhul Qur'an (penghafal AlQuran). MãsyãAllãh. Anaknya tersebut beliau pesantrenkan di salah satu pesantren AlQuran di Semarang. Untuk kebutuhan SPP tiap bulannya yang hampir mencapai nominal 1juta, Bapak Becak mengumpulkan setiap rupiah dari hasil kayuhan becaknya. Seadanya uang beliau kirimkan. Dicicil, namun TAK PERNAH NUNGGAK.

Bibi juga bilang, Bapak Becak ini selalu siap bertugas kapan pun ditelpon. Untuk tugas antar-antar atau pun beli makanan kebutuhan taklim di rumah Bibi. Uniknya, kalau beliau belanjain belanjaan Bibi dan Bibi tidak sempat ketemu beliau, beliau beli semua pesanannya kemudian diantarkan ke rumah bibi, lalu pulang. Tanpa menunggu Bibi membayar upahnya. "Gampang Mi. Besok lagi aja." katanya tiap kali Bibi minta maaf tak sempat ketemu membayar langsung.

Bapak Becak selalu siap siaga kapan pun ditelpon, kecuali saat-saat adzan berkumandang. Pasti beliau tak menjawab panggilan telpon. Beliau khusyuk menjawab panggilan dari Tuhannya terlebih dahulu.
Seperti sore ini yang sedang diguyur deras hujan. Bibi menelponnya untuk mengantarkan saya. Panggilan pertama tak diangkat. Panggilan kedua beliau menjawab. Ternyata benar, baru selesai shalat. Beberapa menit kemudian sebuah becak sudah parkir di depan rumah. Bapak becak itu berperawakan tinggi kurus. Betisnya mengkilat dan kokoh.

Selama saya di dalam becak yang dikayuhnya, rasanya  ikut tergenjot oleh kesahajaannya yang mewah. Betapa pun beliau membutuhkan uang, tapi tak lantas menjadi budak uang. Beliau masih mengutamakan panggilan adzan untuk shalat 5 waktu, membantu bukan untuk segera dibayar upahnya.
Ketika pun uang sudah ada di tangannya, beliau gunakan untuk sarana ibadah. Jadi tak berlebihan ya kalau punya kesan bahwa beliau orang kaya, sangat kaya.. Bukankah disebut kaya jika tak lagi menghiraukan uang? Disebut kaya kan ketika uang dijadikan alat, bukan tujuan.


Pak, Bapak memiliki kesahajaan yang megah.
Sudah berapa kilometer kau kayuh, Pak? Mungkin terhitung. Tapi tidak dengan doa dan semangatmu menyekolahkan anakmu, dunia akhirat.


***
Nati Sajidah


Tuesday 1 March 2016

Ingin Marah Ingin Balas Dendam



Selalu ada pertanyaan bagaimana cara meredam amarah atau dendam? Seperti saat acara bedah buku Crayon Untuk Pelangi Sabarmu 2 hari berturut-turut kemarin di Gramedia TSM Bandung (27/2) dan Cipasung Tasikmalaya (28/2).

Secara nafsu pengen banget marah bahkan balas dendam sama si penyebab masalah.. Pengeeen banget, kan? Tapi mana bisa, mana boleh.. Kenapa mau mensejajarkan diri dengan pembuat masalah? Biarlah. Tanpa adanya dia sebagai penyebab masalah pun, kehidupan yang akan terjadi ya terjadi jika Allah sudah menghendakinya begitu. Adanya orang yang jadi penyebab (padahal Allah kuasa membuat suatu kejadian terjadi tanpa ada sebab akibat) adalah mungkiiin untuk menguji kita. Sikap apa yang akan kita lakukan kepada mereka? Sikap inilah yang akan menentukan kualitas kita sebagai hamba. Sikap kita ini yang akan dihisab di pengadilan nanti. Sikap kita ini yang akan jadi penentu. Bukan tentang seberapa sakit hati, atau seberapa sakti kita bisa membalas.

Mereka para penyebab itu sudah melanjutkan kehidupan, tanpa tahu apa yang mereka tinggalkan.. Itu perih bagi kita saat menahan membalas, pasti. Hanya bisa memohon pertolongan Allah, agar Ia dapat meredamkan segala gejolak amarah di dalam dada. Memohon Ia mengganti hati yang luka, dengan hati yang penuh hikmah. Memohon hati yang penuh dendam dengan hati yang penuh cinta. Hanya dapat memohon dan terus berusaha memperbaiki kehidupan. Karena dia si penyebab pun sudah melenggang tak menoleh sedikit pun ke belakang, lalu apa kita masih mau terus memeluk duka?

Allah Maha Kuasa memperbaiki kehidupan yang sudah hancur dengan tanpa kita membalas dendam pada si penyebab. Yakin, akan datang satu masa dimana si penyebab mendapatkan pelajaran dari perbuatannya, apakah itu lewat tangan kita ataupun orang lain.

Antara membalas dengan memberikan pelajaran itu jelas beda. Sebelum bisa memberikan pelajaran dengan anggun, mari redamkan emosi saja dulu. Nabi Yusuf dianiaya para saudara kandungnya, ia tak mendendam tak membalas. Nabi Yusuf dijebloskan ke penjara oleh ibu angkatnya sendiri, ia tak mendendam tak membalas. Lalu Allah kehendaki Nabi Yusuf dapat memberikan pelajaran kepada mereka. Di waktu yang tepat, dengan cara yang tepat. Tidak hanya menohok, tapi juga meninggalkan kebaikan bagi si penyebab.

Mari lanjutkan kehidupan. Menjalani taqdir yang telah Allah pilihkan. Adanya penyebab bukan berarti kita harus mengubah orientasi hidup kita dengan menjadikan kehidupan ini hanya diisi penyesalan atau perasaan dendam. Bukan. Capek sekali jika begitu. Adanya sesosok penyebab pembuat masalah adalah untuk menguji kita; menguji kelapangan hati untuk memaafkan dan terus memperbaiki kehidupan. Allah Maha Kuasa kok membuat segalanya lebih baik dengan tanpa kita membalas. Tugas kita menyikapi kehidupan ini dengan sebaik-baik sikap.


###
Natisa