Monday 6 March 2017

Kearifan Diri yang Menjaga Negeri




Bertemu dengan Novi dan Ibunya di Sentra Tenun Desa Poto, Kecamatan Moyo, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Ibunya, Ibu Jaida, adalah ketua kelompok tenun tradisional di sana. Aku takjub memegang karya tangan telaten itu. Kain tenun tebal dengan pattern apik, dan warna merah yang menyala. Untuk membuat kain ini beliau menghabiskan waktu 1 bulan. Beliau bercerita tentang seorang desainer dari Jakarta yang sengaja mendatanginya untuk meminta pada Ibu Jaida, mengubah pattern pada kain tenunnya. Untuk kemudian diolah menjadi bahan baju hasil desain si Desainer tersebut.


Seharusnya ini menjadi tawaran menarik. Mengingat desainer tersebut sudah kondang, dan berniat membawa kain tenun Ibu Jaida ke pasar yang lebih luas lagi. Tapi ternyata Ibu Jaida mundur. Karena apa...? "Saya tidak mau mengubah khas daerah saya, Sumbawa. Kalau saya berani mengubah, lalu dia akan membawa kain ini ke pasaran, trus dibilangnya ini tenun Sumbawa, padahal khas Sumbawa bukan begitu..siapa yang akan salah? Saya! Makanya saya mundur. Saya gak mau mengubah ciri khas Sumbawa. Biar desainer itu nyari orang lain saja." .

Andai setiap orang memiliki idealisme yang kuat seperti Ibu Jaida, maka makna modernisasi takkan bergeser makna seperti yang terjadi sekarang-sekarang ini. .


Menjadi modern bukan berarti latah pada hal-hal yang sedang "in". Menjadi maju bukanlah dengan mengekor, dan meninggalkan kekhasan diri. Sebaliknya. Negara atau budaya yang maju, justru mereka yang dengan kokoh memegang kearifan lokalnya, tanpa berhenti belajar untuk terus memperbaiki dan menciptakan karya-karya barunya. .

Sikap tawasuth atau moderat dalam hal ini digambarkan dengan kalam ulama yang masyhur; "Menjaga tradisi-tradisi lama sembari menyesuaikan dengan tradisi-tradisi modern yang lebih baik." Seperti Ibu Jaida. Beliau tetap telaten berkarya dalam tenun khas Sumbawa, sambil terus memperluas kerjasama baik dengan pemerintahan atau swasta. .

Mengapa makanan sushi dari Jepang bisa tenar di mana-mana? Karena mereka punya keukeuh tidak ingin mengubah, malah ingin orang lain pun ikut menikmati makanan khasnya. 

Berandai-andai Sate Maranggi kelak ada dimana-mana. Bala-bala haneut, tauco Cianjur, dan kawan-kawannya, tak lagi hanya daerah setempat yang tahu, tapi orang lain pun juga mengenali bahkan menikmatinya. 

Syaratnya apa? Seperti Ibu Jaida, ia memiliki sense of belonging. Rasa memiliki. Ketika kita memiliki sesuatu yang disayangi, kita inginkan yang terbaik baginya. Selalu memeliharanya, dan selalu ingin orang lain tahu tentangnya. 


Dari pedalaman Sumbawa, aku menyaksikan keteguhan seorang wanita dapat menjadi kekuatan bagi kearifan lokal tempatnya. Terima kasih, Ibu Jaida. Hatimu mencipta tenun kecintaan pada negeri ini.


---
Natisa
Sumbawa, 2016

No comments :

Post a Comment