Tuesday 16 August 2016

Dalam Kendaraan Bernama INDONESIA

Melewati jalanan Jakarta yang pucuk gedung-gedung tingginya menyentuh langit hitam. Di sana menggantung bulan hampir utuh. Halte-halte Transjakarta dipenuhi mereka yang pulang bekerja.

Sebuah bis Transjakarta berlalu dengan kecepatan sedang. Aku terpaku di mulut pintu halte. Jendela bus itu panjang, memajang anak manusia. Ada yang duduk, dan tidak sedikit yang menggelantungkan tangannya. Dari kejauhan bus itu seperti akuarium manusia. Bedanya kaca jendela panjang itu bertuliskan satu kalimat:

DIRGAHAYU RI KE-71

Tiba-tiba berdegup. 
Esok tanah airku berulangtahun ke 71. Aku, dan anak manusia lainnya, seperti penumpang bis Transjakarta. Menumpang dalam kendaraan bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kami terus berjalan, di kendaraan yang telah dibangun oleh para pendahulu. Dengan tenaga, pikiran, dan bahkan darah. 

Di kendaraan ini, ada yang ikut berkarya mempercantik, ada yang mencaci mengapa tak seperti kendaraan lain, tapi di waktu yang bersamaan dia tetap tak beranjak, tak berbuat apapun. 
Kendaraan ini tetap melaju. Tak lantas pilih kasih hanya membawa penumpang yang memuja atau menurunkan penumpangnya yang mencaci. Tak. Ia tetap melaju, dengan terus memberikan kebaikannya sebagai tempat tumpangan. 

Digerakkan oleh para pemimpin bangsa, yang memang tak sepenuhnya kami kenal betul. Hanya berbasis percaya, bahwa mereka siap memimpin, maka seharusnya pula kami siap dipimpin. Sesekali kami bertanya-tanya hendak kemana kami kan dibawa? Ada yang bertanya dengan berteriak, ada yang membuat gaduh memukul-mukul jendela dan menghentakkan kakinya, ada yang diam bergumam terserah saja akan dibawa kemana, ada pula yang dengan bijak merangkak bertanya kepada petugas-petugas yang berwenang. Berusaha memberi saran semampunya, dan kembali memupuk percaya. Tak mengingkari dengan segala kekurangan yang ada di sana-sini, sambil tak lupa mengapresiasi setiap kebaikan dan kemajuan yang ada. Bukankah itu makna terdalam dari a-d-i-l ? Kebencianmu pada sesuatu tak menjadikanmu kemudian berlaku semena-mena.

Kendaraan ini terus melaju. 
Negeriku esok berulangtahun ke-71. Para pendahulu telah bersusah payah membuat kendaraan ini berbentuk. Para Kiai menggelorakan semangat jihad bela-negaranya kepada santri-santri. Para negarawan mencurah pikir dan siasatnya untuk mempertahankan negeri. Maka segala kurangnya bukan lagi tanggungjawab mereka, melainkan untuk itulah kita berada.


Seperti bulan yang hampir utuh di langit malam ini. Ia tak lantas mengundurkan diri karena belum purnama. Ia memilih menerangi dengan apa yang ada dalam diri. Ia memilih menyalakan setitik cahaya, tak sekadar mengutuk kelam gulita.
Bus yang kutumpangi terhenti di depan bendera Merah-Putih yang berjejer. Tingginya kalah oleh gedung-gedung pencakar langit itu. Namun apalah kami, tanpa tanah air ini. Setinggi apapun, sebesar bagaimanapun, tak ada artinya jika tak memiliki tempat berpijak.

Merah-putihku, Indonesiaku. Terima kasih untuk tetap berkibar. Salam takzhimku kepada para pahlawan bangsa. Tanah ini tanah para syuhada. Bagaimana bisa aku membencimu, padahal kau tempat segala cinta bermula. 
Indonesia, 
Aku akan tetap mencintaimu, dengan keras kepala.

***
Nati Sajidah,
Transjakarta, 16 Agustus 2016.

No comments :

Post a Comment