Tuesday 9 August 2016

Dulu, Aku Suka Gereget Sama Orang yang Terlalu Sholeh

Dulu, aku suka gereget sama orang yang terlalu sholeh
Dia dianiaya, tapi tidak ngotot membalas atau menjelaskan dengan gamblang sampai si lawan bicara benar-benar mengerti. Gereget, karena sebenarnya dia bisa saja membalas dengan lebih pedas, sampai si lawan keok mati kutu, tapi dia ga melakukannya. Gereget, karena kok rela aja dihinakan. Kenapa ga membalas? Kenapa ga terus menjelaskan bahwa sebenarnya dia bersih, tidak seperti yang orang lain pikirkan. Iya sih, dia tidak menerima begitu saja. Dia menjelaskan, tapi tidak terus menerus sampai si lawan mengerti dan menghentikan segala sikap aniayanya.

Dulu, aku ga ngerti dan gereget pakai bangat. Sekarang, aku mulai mengerti.
Ternyata, usaha yang paling melelahkan adalah bicara dengan orang yang ga ngerti, dan parahnya dia juga ga mau ngerti. Orang yang tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu, dan dia tidak mau tahu. 
Jadi sebusa apa pun menjelaskan, dia akan tetap begitu dengan segala sangkanya. Lebih baik memilih jadi orang waras, biarkan dia dengan ketidakngertiannya. 
Karena ternyata, tidak semua penjelasan harus keluar dari mulut kita. Tidak semua penjelasan harus disampaikan saat itu juga. Tidak semua penjelasan itu berbentuk kata-kata.
Allah swt bekerja dengan cara yang jauuuuuh dari jangkauan pikiran manusia. Makin ke sini aku makin banyak menyaksikan, bagaimana cara Allah menolong hamba-Nya yang dizholimi. Bagaimana Allah memutarbalikkan keadaan, awalnya si yang dizholimi yang dihinakan, kemudian dibalik yang menghinakan malah jadi hina dan dihinakan orang lain atas perilakunya. Ini bukan karma. Ini kehendak Allah yang luar biasa tak kan pernah ada yang bisa memprediksi. Tidak sesempit sebab akibat. Tidak sesempit setelah angka tiga adalah empat.

Dulu aku gereget, karena merasa semua pembalasan harus melalui tangan kita. Ternyata memendam rasa ingin membalas dendamnya saja udah bikin hati ga tenang, apalagi benar-benar balas dendam. Itulah kenapa diri ini harus berlapang dada memaafkan, perkara bagaimana membuat si penganiaya sadar biarlah diserahkan ke Allah. Dia Maha Adil, Maha Bijaksana. Yang pembalasan-Nya lebih waw dari yang bisa kita lakukan. Lagi pula bisa jadi memang ada yang salah dengan prilaku kita, sehingga mengakibatkan terjadinya kejadian aniaya tersebut. Jadi sambil intropeksi diri, sambil memaafkan orang lain. 
Toh, memaafkan itu bukan tentang mengalah. Justru memilih memenangkan kedamaian hati. Memaafkan itu gak ada urusannya dengan orang lain. Memaafkan adalah pilihan hati, untuk kedamaian hati.
(Tentang memaafkan, aku pernah menuliskannya di sini)

Aku juga jadi beranjak mengerti, bahwa memilih merelakan tindakan lawan --setelah usaha menjelaskan dan melawan-- adalah bukan sikap kalah dan tanpa daya. Melainkan sikap seorang pemberani. Berani memutuskan kebahagiaan diri sendiri. Dia paham bahwa tidak ada gunanya berurusan dengan orang yang gak tahu bahwa dirinya gak tahu. Dia paham bahwa hidup akan lebih berguna dengan tidak mengurus hal-hal yang hanya akan memakan waktu saja. 
Dia paham, bahwa seseorang tidak lantas menjadi hina hanya karena dihinakan. Seseorang dapat menjadi mulia bukan karena dia menghinakan orang lain. Dia paham, seseorang menjadi hina ketika dia menghinakan diri sendiri dengan menghinakan orang lain. Dia paham, bahwa seseorang menjadi mulia adalah karena memilih sikap yang mulia untuk membalas sikap penghinaan pada dirinya. 
Dia memutuskan untuk tidak menyamakan dirinya dengan si penghina. Dia memilih membalas penghinaan dengan kebaikan. Karena dia cintai dirinya. Tak rela dirinya melakukan sikap hina. Tak rela dirinya sama hinanya dengan sikap si penghina.

Aku juga makin mengerti, bahwa aku banyak ga ngertinya. 
Itulah mengapa sikap terbaik memandang sikap orang lain adalah diawali dengan landasan husnuzhon. Misalnya saat memandang sikap penganiayaan; mungkin dia tidak tahu bahwa sikapnya itu menganiaya orang lain. Atau, mungkin dia tahu tapi dia tidak tahu cara lain yang bisa dilakukan kecuali dengan cara yang kemudian mengakibatkan orang lain rugi. Atau kemungkinan-kemungkinan lainnya.
Jika sudah menjadikan husnuzhon sebagai landasan berpikir, maka kita akan bisa menyikapi penganiayaan atau si penganiaya dengan cara terbaik.

Aku juga jadi mengerti, kenapa doa yang dizholimi mustajab? 
Bisa jadi sebenarnya itu adalah tantangan dari Allah. Seolah-olah berbunyi: sekarang kamu dianiaya, dan doamu mustajab. Coba, apa yang akan kamu doakan? Kejelekan atau kebaikan?
Jika doa keburukan yang kita panjatkan, dan itu mustajab, maka apa bedanya kita dengan si penganiaya yang melakukan keburukan?

Teringat kisah Abiku tentang Aki R. H. M. Karta Mangkualam, kakek buyutku. Beliau dulu bekerja di sebuah bengkel milik orang luar. Suatu hari juragannya memaki-maki Aki Karta. Menghinanya sampai keluar kata-kata yang tidak pantas. Aki Karta sakit hati bukan main. Sambil menahan panas amarah dalam dadanya, Aki Karta memanjatkan doa, "Ya Allah, hari ini aku dihina. Semoga Engkau jadikan anak cucuku menjadi orang yang sholeh, mulia, dan dimuliakan!"
Allah Maha Kuasa, Maha Mendengar. Aki Karta memiliki 3 anak lelaki, dan semuanya menjadi Kiai terpandang di masyarakat. Masing-masing putranya memiliki keturunan yang banyak, dan hampir semuanya menjadi Ustadz serta memiliki lembaga pendidikan. Cicit-cicitnya berprofesi macam-macam, menempati jabatan penting dan dimuliakan. Masya Allah, berkah doa dari yang dianiaya. 
Jika kita imani benar doa yang dianiaya itu dikabulkan, maka mengapa tak menjadikannya sebagai kesempatan emas untuk berdoa kebaikan?
Ya Allah, 
Aku makin ngerti dengan banyaknya ketidakmengertianku tentang rahasia-rahasiaMu. 
Tolong bikin aku terus kecanduan untuk mengenal-Mu.. 
Tolong bikin aku kalem memandang segala persoalan dengan kacamata husnuzhon dan keimanan. 
Karena ternyata ke-gereget-an dan sikap reaktif hanya akan berbuah rasa malu serta penyesalan.


---
Natisa,
Bandung, Agustus 2016

No comments :

Post a Comment