Thursday 20 August 2015

API SEJARAH dan Kebaikan yang Tak Kasat

Yang dibayangkan jika bersilaturahim ke sejarawan pastilah perbincangan seputar sejarah, kan? Alhamdulillah, bahkan saya mendapatkan lebiih! Ini dia yang namanya barokah. Hari Rabu, 19 Agustus 2015, saya bersama 20an kawan-kawan yang tergabung di Gerakan Husnuzhon bersilaturahim ke rumah Pak Ahmad Mansur Suryanegara, sejarawan dan penulis buku fenomenal API SEJARAH. Yang kami peroleh bukan hanya wawasan kenegaraan tapi juga tuturan nasihat dan hikmat yang luar biasa. Kami benar-benar merasakan keberkahan; kebaikan yang bertambah.

Penampilan beliau untuk mengenang jasa ulama yang berjihad untuk kemerdekaan Indonesia

Hari itu Pak Mansur  menyambut kami dengan sumringah. Beliau memakai baju koko merah, sarung dan jas, bersurban putih yang dililitkan ke kepala, dan surban merah putih yang melingkari lehernya dibiarkan menjuntai. Mengenai penampilannya yang kearaban ini beliau menjelaskan, "Sehari-hari bapak tidak berpenampilan seperti ini, hanya sekarang-sekarang saja pada Bulan Ramadhan dan Syawal. Mengingat peristiwa proklamasi yang berlangsung Bulan Ramadhan, dan mengingat ada ribuan ulama di belakang Bung Karno saat proklamasi. Para ulama itu berjuang merebut kemerdekaan Indonesia dengan menggelorakan jihad. Jadi penampilan ini bukan karena arabnya, tapi karena Islam dan keindonesiaannya." tutur beliau penuh takdzhim saat menyebut ulama yang amat berperan pada kemerdekaan Indonesia. Dari pemaparan beliau, tersirat jelas peran ulama dan santri amat besar di kemerdekaan Indonesia. Beliau menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia ini, seperti yang dikatakan para kiai penyusun UUD,  adalah berkat rahmat Tuhan yang Maha Esa. Diraihnya atas perjuangan, bukan hadiah. Adakah negara yang memiliki banyak pejuang melebihi Indonesia? Tanah ini penuh keberkahan karena mengalir di atasnya darah-darah pejuang, yang tak sedikit di antaranya adalah para Kiai. 

Saat memaparkan tentang kebaikan-kebaikan negeri ini baik yang tampak ataupun tidak, beliau membahas ayat "yu'minuuna bil ghaib.. beriman kepada yang ghaib"
Surat Al-Baqarah ayat 1 s.d. 3; AlQuran ini diturunkan sebagai petunjuk bagi yang bertaqwa. Siapakah yang bertaqwa ini? Mereka yang beriman kepada yang ghaib (ayat 3). Ghaib: yang tak nampak. Pak Mansur menuturkan, jika seorang lelaki telah melafalkan akad menikahi seorang wanita, maka sejak itu ia mengikrarkan perjanjian yang amat berat. Jika berpuluh tahun kemudian, ketika istrinya telah menua dan tak lagi cantik, sang suami menyakiti istrinya, artinya dia tidak yu'minuunal bil ghaib. Tidak mampu melihat kebaikan yang kasat mata. 

Aku terhenyak di sini. Pak Mansur memberikan pemaknaan lain yang tak terduga dari kalimat yu/minuuna bilghaybi. Bukan hanya mengimani makhluk atau kejadian ghaib, tapi lebih dari pada itu. Alquran menjadi petunjuk manusia agar mendapatkan kebaikan dari apa yang tak nampak sebagai kebaikan sekalipun. Seringnya kita manusia lebih sibuk pada apa yang lahir, yang kasat mata. Kita menyukai pujian, karena terasa baik dan menyenangkan. Kita menyukai waktu lapang, karena terasa bebas melakukan apa saja. Kita menyukai keberlimpahan uang, karena merasa dapat leluasa. Kita menyukai hal-hal yang indah dipandang mata. Semua itu indah karena terlihatnya indah. Dan kita manusia tak menyukai yang lahirnya terlihat seperti keburukan, tak indah, tak menyenangkan. Padahal di situlah ujian keimanan; menemukan kebaikan dari yang ghaib, dari yang tak nampak sebagai kebaikan. Sebaliknya, sering kali pada apa-apa yang kasatnya indah-baik malah tersimpan bahaya yang harus kita waspadai. Ini pun hal yang ghaib. 
Mata hati seorang mukmin dituntut untuk dapat menembus yang kasat. Tidak hanya berhenti bahwa sesuatu itu indah, tapi dapat menembus di baliknya, dapat memperoleh kebaikan darinya. Tidak hanya melihat lahirnya bahwa sesuatu itu tak menyenangkan, tapi juga dapat memperoleh kebaikan darinya. Tentu untuk menembus hal-hal ghaib ini bukan perkara yang mudah. Itulah mengapa, AlQuran ada. Kita diberikan alatnya agar memperoleh kebaikan yang tak kasat, yaitu AlQuran. 


Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui."  
(Al-Baqarah: 216) 

Sebuah kehormatan dan semoga barokah
Obrolan selama dua jam lebih itu tak terasa, dan sarat pembelajaran. Rasanya gak ingin pamit, ingin terus mendapatkan limpahan ilmu beliau. Sebelum pamit, aku malu-malu memberikan bingkisan kecil Buku Crayon Untuk Pelangi Sabarmu kepada Pak Mansur. Malu sekali sebenarnya, karena jika dibandingkan dengan buku beliau yang selama penulisannya tak batal wudhu dan dalam kondisi puasa, apalah arti coretan buku sederhanaku ini. Jauh. Karena ketawadhuannya, beliau menyambut buku itu. Membuka halaman demi halamannya, dan bertanya buku ini inspirasinya dari mana? Aku jawab dari Surat Ali Imran ayat 200 dan firmanNya tentang kebersamaan Allah Swt beserta hamba yang bersabar. Tak diduga, wajah Pak Mansur langsung terangkat dan berkata sungguh-sungguh kepadaku, "Ayat ini sering dilupakan oleh orang-orang, terkhusus pada kata bersama-nya." Beliau mulai lagi menjelaskan panjang lebar, aku yang tadinya dalam posisi berpamitan kembali duduk sempurna siap menyimak limpahan ilmunya. 

"Saya pernah makan jamuan yang sangat nikmat di Istana Presiden bersama beliau. Dikawal sejak dijemput dari rumah Bandung sampai ke Istana, tidak merasakan macet sama sekali. Tiba di istana jamuan yang terhidang semuanya nikmat. Ice creamnya nikmat sekali. Bapak Presiden juga hadir saat itu bersama saya. Itu baru hidangan yang dibersamai Presiden. Kita sering lupa ayat "Sesungguhnya Allah bersama orang yang bersabar." Kita lupa kalimat BERSAMA-nya. Baru dibersamai Presiden saja sudah luar biasa nikmatnya, apalagi dibersamai Allah. Menjadi hamba sabar itu kenikmatan luar biasa. Diberikan hidangan yang nikmat dan juga bersama Allah Sang Maha Pemberi Nikmat."

Subhanallah. Betul sekali. Ketika kita bersabar atas sesuatu, sering kali kita lupa bahwa saat itu kita sedang dibersamai Allah. Yang kita ingat hanyalah penderitaannya, sehingga kesabaran yang ada pun hanya sebatas menahan derita, bukan membersamakan diri dengan Sang Kuasa. Jika sabar yang dilaksanakan sesuai bimbingan Allah, tentulah kita akan merasakan manisnya hidangan Allah, manisnya kebersamaan dengan Allah walau sedang dalam himpitan. 

Gerakan Husnuzhon bersama Pak Ahmad Mansur Suryanegara, Sejarawan penulis Buku API SEJARAH.
Pak Mansur, terima kasih banyak atas kebaikan Bapak menerima kami. Semoga rahmat dan ridha Allah senantiasa menyertai Bapak. Terima kasih telah mendirikan masjid di hati kami. 




No comments :

Post a Comment