Friday 11 March 2016

Bapak Becak yang Kaya

Pulang dari rumah Bibi, saya diantar becak langganan Bibi. Sebelumnya, Bibi cerita tentang keistimewaan Bapak Becak langganannya ini.

Beliau punya 4 anak, dan salah satu anaknya Haafidzhul Qur'an (penghafal AlQuran). MãsyãAllãh. Anaknya tersebut beliau pesantrenkan di salah satu pesantren AlQuran di Semarang. Untuk kebutuhan SPP tiap bulannya yang hampir mencapai nominal 1juta, Bapak Becak mengumpulkan setiap rupiah dari hasil kayuhan becaknya. Seadanya uang beliau kirimkan. Dicicil, namun TAK PERNAH NUNGGAK.

Bibi juga bilang, Bapak Becak ini selalu siap bertugas kapan pun ditelpon. Untuk tugas antar-antar atau pun beli makanan kebutuhan taklim di rumah Bibi. Uniknya, kalau beliau belanjain belanjaan Bibi dan Bibi tidak sempat ketemu beliau, beliau beli semua pesanannya kemudian diantarkan ke rumah bibi, lalu pulang. Tanpa menunggu Bibi membayar upahnya. "Gampang Mi. Besok lagi aja." katanya tiap kali Bibi minta maaf tak sempat ketemu membayar langsung.

Bapak Becak selalu siap siaga kapan pun ditelpon, kecuali saat-saat adzan berkumandang. Pasti beliau tak menjawab panggilan telpon. Beliau khusyuk menjawab panggilan dari Tuhannya terlebih dahulu.
Seperti sore ini yang sedang diguyur deras hujan. Bibi menelponnya untuk mengantarkan saya. Panggilan pertama tak diangkat. Panggilan kedua beliau menjawab. Ternyata benar, baru selesai shalat. Beberapa menit kemudian sebuah becak sudah parkir di depan rumah. Bapak becak itu berperawakan tinggi kurus. Betisnya mengkilat dan kokoh.

Selama saya di dalam becak yang dikayuhnya, rasanya  ikut tergenjot oleh kesahajaannya yang mewah. Betapa pun beliau membutuhkan uang, tapi tak lantas menjadi budak uang. Beliau masih mengutamakan panggilan adzan untuk shalat 5 waktu, membantu bukan untuk segera dibayar upahnya.
Ketika pun uang sudah ada di tangannya, beliau gunakan untuk sarana ibadah. Jadi tak berlebihan ya kalau punya kesan bahwa beliau orang kaya, sangat kaya.. Bukankah disebut kaya jika tak lagi menghiraukan uang? Disebut kaya kan ketika uang dijadikan alat, bukan tujuan.


Pak, Bapak memiliki kesahajaan yang megah.
Sudah berapa kilometer kau kayuh, Pak? Mungkin terhitung. Tapi tidak dengan doa dan semangatmu menyekolahkan anakmu, dunia akhirat.


***
Nati Sajidah

No comments :

Post a Comment