Wednesday 23 September 2015

Ibu Yusuf dan Segelas Teh Manis

Aku tak pernah tahu nama aslinya. Beliau biasa disapa Ibu Yusuf. Usianya sekitar 60-an lebih, tapi semangatnya luar biasa. Semenjak suaminya meninggal, Ibu Yusuf memilih untuk berkelana dari masjid ke masjid. I'tikaf dan menghadiri kajian-kajian. Salah satu masjid yang paling disukainya adalah Masjid Al-Hikmah, di Jl. Bangka, Mampang Prapatan, Jaksel. Tempatku dan kawan-kawan menghafal Al-Quran.
Waktu itu, tahun 2008 Jakarta dilanda banjir besar. Hujan deras sudah turun dari sore hari. Gemeletuk gigiku menahan dingin di lantai 3 Masjid Al-Hikmah. Aku dan beberapa kawan sengaja duduk di lantai keramik yang tak berkarpet, agar tidak diserang kantuk saat mengulang hafalan al-Quran. Sore begini seharusnya kami sudah pulang, tapi karena hari ini akan ada kajian ba'da isya, kami niatkan akan i'tikaf sampai esok pagi.

Di tengah murajaah, Ibu Yusuf datang. Seperti biasa beliau membawa dua jinjingan tas yang setia menemani perjalanannya. Bajunya basah terkena derasnya hujan di luar. Setelah menyalami kami satu per satu dan menyimpan bawaannya, beliau mengambil pakaian ganti, lalu pergi ke toilet untuk membersihkan badan. Tak lama berselang, Ibu Yusuf sudah sibuk mengeluarkan seplastik daun teh dan gula putih. Ini rutinitas beliau di setiap masjid manapun, beliau akan membuat teh manis beberapa gelas. Aku dan kawan-kawan selalu kebagian teh manis hangatnya. Harum daun teh asli serta hangatnya nikmat sekali. Tentang rutinitasnya ini beliau berkata, 
"Saya denger dari Pak Ustadz di Masjid anu, kita itu harus punya amal andalan. Amal andalan saya ya ini. I'tikaf di masjid sambil bikinin teh manis buat yang ada di masjid." Ujar Ibu Yusuf dengan logat jawanya yang khas. 
Aku berhenti menyeruput teh manis. Menatap kagum pada kesederhanaan beliau. Lalu amal andalanku apa ya?

"Nati, tadi saya dengar kajian di sini dibatalin. Ikut saya yuk, ke Masjid DT. Kita ikut kajian di sana aja. Setelah maghrib ini." Aku segera melihat ke balkon masjid. Hujan masih deras. "Bu, masih hujan. Emangnya ibu gak capek? Baru aja dateng udah mau pergi lagi."
"Nggak, kan udah seger minum teh. Ayo, kita naik bajaj aja." Sejujurnyaaa aku enggan ikut. Selain karena hujan deras, uang saku mahasiswi di akhir bulan selalu memprihatinkan. Tapi bukan Ibu Yusuf namanya kalau rayuannya gak nampol. Akhirnya aku mengikuti langkah Ibu Yusuf ke luar masjid. Tak disangka hujan benar-benar deras. Bajaj yang kami stop banyak yang menolak, hingga akhirnya ada juga bajaj yang kena rayuan maut Ibu Yusuf. Benar juga. Jalanan banyak yang ditutup. Banjir dimana-mana. Sampai di Masjid DT, hampir seluruh pakaianku kuyup. Bagaimana mau ikut kajian? Ibu Yusuf terkekeh melihatku yang manyun bete. "Kita di dapurnya aja. Masih kedengeran kok kajiannya. Sambil saya mau bikinin teh buat panitia di sini." Aku melongo. Ya Allah. Kayaknya beliau gak rela jika ada waktu yang terlewatkan tanpa kebaikan, tanpa amal andalannya. Ibu Yusuf dengan ceria membuat teh manis untuk sejumlah panitia. Saat aku membawakan baki dan membagikan teh manis, wajah-wajah para panitia itu cerah menyambut. Mungkin ini yang dirasakan oleh Ibu Yusuf, kebahagiaan dalam melayani mereka yang berbuat kebaikan. Indahnya.
Sebelum pulang, seorang dari mereka memberikan oleh-oleh kerupuk udang ke Ibu sambil menghaturkan terima kasih atas segelas teh manisnya yang nikmat. Waktu menunjukkan jam 10 malam dan hujan makin deras. Ibu Yusuf pengen pulang saat itu juga, agar bisa i'tikaf di Masjid Al-Hikmah. Aku ikuti saja. Hujan bukan mereda malah semakin deras. Bukan main derasnya. Dordar halilintar di luar sana membuat aku makin berpikir dramatis; bajaj ini bisa saja terguling terbawa arus banjir atau tertiup angin. Lalu aku ditelan hilang! Ibu Yusuf yang duduk di sampingku berbisik, "Nati, kamu bawa uang gak? 10 ribu ada?" Buyar drama ketakutanku, berganti jadi cemas. "Gak ada Bu. Cuma ada 5 ribu." 
Ibu Yusuf nyengir, "Sini 5 ribunya. Sisanya kita bayar pake kerupuk aja, ya?!" Belum sempat aku larang, Ibu Yusuf sudah 'menggoda' supir bajaj dengan sejuta jurus rayuannya, "Bang, kita ini abis pulang ngaji Aa Gym, kehabisan uang. Saya doain abang makin lacar rezekinya. Anak-anak Abang pada sholeh dan berhasil semua. Ini saya adanya 5ribu, terus kita punya kerupuk barokah nih dari pengajian. Abang bawa aja semuanya!" Aku menggigit bibir sambil tertunduk, tak kuasa melihat respon si Abang.
Tiba di Masjid al-Hikmah disambut kawan-kawan dengan wajah khawatir, dan juga kaget melihatku basah kuyup. Barulah dari mereka aku tahu, malam itu sejumlah daerah Jakarta lumpuh total. Jadi... baru saja aku bersama seorang Ibu usia 60-an tahun menerjang banjir? Bu, satu lagi yang aku pelajari dari ibu: kegigihan dalam berbuat baik!
Ada lagi yang membuat aku kagum pada Ibu Yusuf. Pernah suatu kali, kelompok tahfidz kami melaksanakan mabit untuk muraja'ah atau mengulang hafalan al-Quran 10 juz. Aku memilih untuk mengulang hafalan Juz 21 yang di dalamnya terdapat Surat As-Sajdah dan Luqman. Saat asyik muraja'ah dengan mata terpejam, tiba-tiba aku merasa ada yang ikut mengulang surat yang sama. Ternyata Ibu Yusuf yang mengikuti, dan tanpa melihat mushaf! "Ibu hafal al-Quran? Subhaanallah. Saya kalah!" Ibu Yusuf tersenyum merendah, "Gak pernah diniatin ngapal sih. Tapi dijadiin wirid aja." Lagi-lagi aku kagum. Subhaanallah. Amal andalan dan wirid adalah aktivitas yang membutuhkan keistiqomahan tingkat tinggi. Kita bisa saja semangat untuk satu hal, tapi menjaga semangat itu lebih berat.
Selepas kuliah, aku sudah jarang ke kawasan Masjid Al-Hikmah. Hampir 4 tahunan lebih tidak bertemu dengan sosok bersahaja itu. Menurut kawan-kawan yang tinggal dekat masjid, Ibu Yusuf sudah lama tidak terlihat di Masjid Al-Hikmah. Ingin sekali silaturahim lagi dengan beliau, tapi repotnya Ibu Yusuf tak pernah membawa ponsel. Anak-anak kandungnya protes karena sang ibu sulit dihubungi. Ibu Yusuf bersikeras tak mau punya HP, mengganggu ketenangan ibadah katanya. Dan lagi, "Kalau mau cari saya, ya tinggal ke masjid saja." Seperti hari itu. Sepulang kerja aku mampir ke Masjid Blok M Square untuk ngadem dan ikut shalat. Sekilas ada bayangan seorang ibu yang membawa dua tas jinjing. Langkahnya amat aku hafal, apalagi bau tehnya. "Ibu Yusuuuf!" Aku berteriak sambil menghampiri. Beliau masih seperti dulu betah berlama-lama di masjid. Kami berpelukan, kangen! "Ibu, ini kartu nama saya. Hubungi saya kalau mau ke Bandung atau mau ngajak i'tikaf bareng."
Beberapa bulan berlalu, hingga kemarin sore ada 2 panggilan tak terjawab dari nomor yang tak dikenal. Aku telpon balik. Suara di sebrang sana menyapaku hangat penuh kerinduan. "Natii, ini Ibu Yusuf. Inget kan?" Deg. "Ibuu, gimana kabarnya? Ibu dimana sekarang? Ini pakai HP siapa?" Aku membrondongnya dengan pertanyaan. Ibu Yusuf terkekeh. "Aku lihat kamu di koran Republika. Aku gemeeees. Aku bilang ke orang-orang aku kenal kamu. Pernah bayar bajaj pakai kerupuk.." tawanya berderai. Aku geli dan juga haru. Beliau banyak mengajariku kesungguhan yang tulus. Ketulusan yang sungguh.
Betapa capaian diri kita hari ini adalah kebaikan-kebaikan orang di sekitar kita. Kepemurahan Allah menutup aib diri. Dan semoga hanya kebaikan yang bertambah di setiap detiknya.

Rasanya tak ada yang bisa menyaingi Teh Manis rasatulus-mu, Bu.

---
Tol Cipularang, 12 Jan 15

No comments :

Post a Comment