Lagu Iman Adalah Mutiara/Raihan, 10 tahun yang lalu saya
mendengarkannya sambil menatap hujan rintik di balik kaca. Pemandangan yang
terhampar adalah jalanan menikung khas Cadas Pangeran. Curam dan rawan
kecelakaan. Mobil-mobil di sore itu berjalan penuh kehati-hatian. Plang-plang
pemberi peringatan agar mengemudi di bawah kecepatan wajar terpampang di
mana-mana. Nati kecil memandang ke luar, ke arah para penjaja dagangan. Bukan
makanan atau minuman biasa yang dijaja oleh mereka. Namun sejenis sayuran yang
mereka ambil langsung dari tebing-tebing Cadas Pangeran, katanya. Sambil terus
mendengar lagu raihan, Abi menceritakan apa sayuran itu kepada saya yang terus
bertanya-tanya. Ternyata itu jamur. Tapi bukan sembarang jamur yang biasa saya
temukan di samping rumah, yang besarnya sama dengan jempol. Jamur yang mereka
jajakan besar sekaliii. Sudah besar, lebar pula. Nampak sangat segar ditambah
dengan butiran hujan yang menghiasinya. Wajahku semakin menempel di jendela
mobil. Seperti lagu dari Grup Nasyid Raihan yang terus mengiringi perjalanan sore itu.
Jika boleh meminta, saya ingin meminta Grup Raihan kembali bangkit
meramaikan jagat musik dunia. Saya juga akan meminta kepada mereka agar
membuatkan lagu yang tak kalah hebat pengaruhnya dengan album pertama mereka.
Jika boleh meminta, tapi tidak bisa. Itu sama saja menuntut sesuatu untuk
kembali pada masa lalu. Itu sama saja saya merengek agar bisa kembali ke masa kecil.
Masa kecil yang tak menghiraukan permasalahan kehidupan yang semakin pelik. Tak disibukkan
dengan penjagaan image yang penuh kepura-puraan. Kembali bermain air di samping
masjid. Hujan-hujanan di kebun orang. Pulang-pulang membawa beberapa singkong,
entah punya siapa, tapi kuniatkan untuk berbagi denga teman-teman pengajian.
Atau menaiki tebing di samping tower pesantren dekat rumah. Tanpa harus
memikirkan malu atau takut. Atau bermain sepeda sambil terguling-guling jatuh
tidak juga kena jera. Hampir selalu gagal ketika mencoba untuk membelokkan
stang, dan tidak bisa mengerem ketika jalan menurun sudah mentok, alhasil saya
mengerem secara alami: terjerembab di tembok rumah orang. Tapi saat itu sakit
ataupun luka tidak seberapa. Tidak pernah sampai menjadi alasan untuk berhenti.
Sakit hati dimusuhi teman-teman pengajian karena melarang mereka berlarian di
masjid, juga tak membuatku berhenti melakukannya lagi dan lagi. Atau ketika
uring-uringan melerai dua teman yang bermusuhan, saya tak lantas berhenti untuk
mengadu domba mereka dalam kebaikan. Menyampaikan salam dari satu sama lain,
padahal omong kosong hanya akal-akalan saya saja yang jengah dengan permusuhan.
Atau ketika berlama-lama berdiskusi dengan Kakak Santri, yang mesantren di
bawah asuhan Abi. Mendiskusikan ayat-ayat. Anak SD yang membuat repot
santri-santri dengan pertanyaan tak berujung. Tapi tak pernah bosan walau
dilakukan berjam-jam. Meninggalkan teman-teman yang asyik bermain “bebentengan”
di luar masjid. Saya duduk betah berdiskusi dengan Kakak Santri yang lama
kelamaan dia mencari-cari alasan untuk menghentikan diskusi. Semua terasa
mengasyikkan. Seperti tak mengenal lelah, bosan, malu, takut ….
Seharusnya hari ini pun tak jauh beda.
Harusya tetap berani bertindak walau sendiri.
Harusnya tetap ceria walau mendapat tekanan.
Harusnya tetap tersenyum walau disakiti.
Harusnya tetap dalam kebaikan walau di tengah arus.
Harusnya tak kenal putus asa walau terjerembab kegagalan
berkali-kali.
Harusnya, bagaimanapun masa kecil kita, segala kebaikannya harus
tetap ada di diri yang sekarang.
Bahkan lebih kompleks dengan segala
kekokohannya.
Yang harus diingat, kepribadian kita saat ini tidak pernah lepas
dari kepribadian kita di masa kecil. Maka menjadi satu hal yang tidak mustahil,
kita dapat mengembalikan kebaikan-kebaikan masa lalu. Bisa! Karena jiwa kita
hari ini dengan jiwa kita yang dulu adalah SAMA! Kita miliki bekal untuk
kembali mengundang mereka menghiasi kepribadian. Tidak semata romantisme
mengenang masa yang sudah berlalu.
Seperti lagu Raihan ini. Tentang harapan hamba yang mengiba agar
cinta dan rindunya hanya milik Tuhannya, tidak pada yang lain.
~Tuhan hadiahkanlah kasih Mu kepadaku~Tuhan kurniakanlah rinduku kepada Mu
~Moga ku tahu
~Syukur ku hanyalah milik Mu
Dulu, saya ikut mendendangkan bait-bait syahdu ini dengan tanpa
pemaknaan. Tanpa penghayatan pada kata-katanya. Hari ini, saya kembali dapat menikmatinya,
dengan menyimak per kata, mendengar dengan perasaan, kemudian memikirkan
kedalaman maknanya.
Ini bukti bahwa kita bisa terbang ke masa lalu, kepada
aktivitas-aktivitas yang pernah kita lakukan, namun dengan kepribadian yang
lebih matang. Lebih memaknai. Lebih berorientasi pada kebaikan yang terencana.
Bagaimana dengan kepribadian masa lalu? Tentu hal ini menjadi
modal bagi ketinggian pribadi kita saat ini. Kau yang dulu sangat ceria,
yakinkan dirimu bahwa hari ini pun kau dapat menempuh segala rintangan
kehidupan dengan keceriaan optimisme! Jika kau tak juga yakin, maka saya
bertanya, apa telah amnesia miliki masa kecil yang ceria? Memang jelas beda
hari ini dengan masa kanak-kanak, tapi Tuhan tak pernah curang, Dia selalu
memberi kehidupan yang berbanding lurus dengan kesiapan jiwa kita.
Kau yang dulunya Sang Pemberani, beranilah untuk kembali menjadi
pemberani! Rasakan letupan impianmu, rasakan pula keinginan yang menghentak
untuk mewujudkanya. Sama seperti kau sangat menginginkan sebuah mainan, dengan
beraninya merengek pada ibu dan ayahmu. Kau pun berani membela
teman-temanmu yang disakiti. Kau Sang Pemberani! Undanglah! Undang kembali
keberanianmu dalam bermimpi dan mewujudkannya! Tak pernah ada impian yang
terlalu besar, yang ada hanyalah kekerdilan dalam berusaha.
Impian
selamanya akan terasa besar dan berat, jika dilakukan dengan usaha yang
tersendat-sendat. Beranilah! Berani mendobrak kemalasan yang menggunung. Berani
merubah segala kebiasaan buruk. Berani menghadapi resiko ketika diri telah
bulat memutuskan untuk berubah menjadi lebih baik! Beranilah untuk berani, hei
Sang Pemberani!
Lihat, betapa banyak yang dapat kita undang untuk kembali
meramaikan kepribadian kita hari ini. Jangan berhenti untuk bernostalgia dengan
mereka. Jiwa-jiwa kanakmu. Karena mereka selalu ada, dan menantimu untuk
memainkannya.
###
Nati Sajidah
Bandung, 25 Oktober 2011.
Karya2 sangat nyentuh, menggugah hati & fikiran, setelah baca buku "Crayon Untuk Pelangi Sabarmu" saya jd tau apa arti kehidupan yg sebenar.a, walau hanya sejengkal. Trima kasih buat ba' Nati yg sudah menjadi motivator bagi kami.
ReplyDelete#FLP Ranting DUBA
Alhamdulillah, semoga barokah..
Delete