Di kehidupan ini, kadang kita
menjadi sebab bagi hidup orang lain.
Di lain waktu, kita menjadi akibat
dari tindakan orang lain.
"Bagi manusia sebab-akibat itu membentuk peta dengan ukuran raksasa. Kehidupanmu menyebabkan perubahan garis kehidupan orang lain, kehidupan orang lain mengakibatkan perubahan garis kehidupan orang lainnya lagi, kemudian entah pada siklus yang keberapa, kembali lagi ke garis kehidupanmu. Saling mempengaruhi, saling berinteraksi."
―Tere
Liye, Rembulan Tenggelam Di Wajahmu
Ketika menjadi sebab bagi
orang lain, ada kalanya kita sadar, ada kalanya kita tak menyadarinya sama
sekali bahwa saat itu kita sedang menjadi penyebab bagi perubahan kehidupan
orang lain. Karena kita manusia yang tak pernah selamanya memegang kendali
kesadaran akan setiap laku diri, maka
sikap terbaik mengisi rantai sebab-akibat itu adalah selalu mengisi setiap
kesempatan dengan kebaikan.
Kita tak pernah tahu kebaikan
mana yang akan menyelamatkan diri kita, atau yang berdampak pada kehidupan
orang lain, maka berbuat baiklah terus. Seperti sahabat agung, Umar bin Khattab
radhiyallahu 'anhu, ternyata yang membuatnya masuk surga adalah suatu ketika ia
pernah menyelamatkan seekor burung pipit yang sekarat. Kebaikan mana yang
berdampak, kita tak pernah tahu. Yang kita tahu dan bisa lakukan hanyalah terus mengisi kehidupan dengan kebaikan.
Itu ketika kita menjadi sebab.
Kehidupan juga mempergilirkan
kita sebagai akibat dari tindakan
orang lain.
Parahnya adalah ketika orang
tersebut tidak menyadari bahwa tindakannya telah menyebabkan permasalahan
berefek domino pada kehidupan kita. Berkepanjangan. Merumit di setiap fasenya.
Dan dia melenggang, tak menyadarinya. Apa yang bisa dilakukan jika kita menjadi
akibat dari sebab yang orang lain perbuat?
Di saat seperti itu sikap
yang paling spontan ingin dilakukan pastilah menyalahkan. Menyalahkan dia yang
telah membuat semua kerumitan ini terjadi. Namun apakah selesai dengan
menyalahkan? Semua telah terjadi.
Di sinilah kita mainkan sudut pandang. Saat kita menjadi akibat, cobalah untuk memahami kondisi ini dengan mulai berpikir dari sudut pandang penyebab. Bahwa kita, seperti yang kita sepakati sebelumnya, tak pernah selalu menyadari sikap mana yang akan mengubah hidup diri atau orang lain. Begitu pula ia yang menjadi sebab kerumitan hidup kita. Dia tak menyadari efeknya sebesar ini. Maka tinggalkan ia. Yang ada di hadapan kita
tinggal kondisi yang harus disikapi. Dengan atau tanpa dia yang menjadi sebab semua ini, kondisi ini sudah ada
dalam ketetapan-Nya yang harus terjadi. Yang bisa kita lakukan? Sikapi dan
hadapi. Tinggalkan ia yang menjadi sebab semua
ini, karena kita memutuskan untuk menjadi akibat
yang baik.
Pada nyatanya, kehidupan ini
dipergilirkan Allah tak sesempit sebab-akibat. Ada tindakan-Nya yang di luar
spektrum sebab atau akibat. Karena sebab-akibat
hanyalah teori yang kita kenal, sedangkan ketetapan Allah lebih luas
daripada itu. Seperti kita sering bertanya-tanya, mengapa Dia seakan mudahkan
jalan bagi keburukan? Mengapa seakan pelik untuk mewujudkan kebaikan? Dimana
keadilan Tuhan? Justru di situlah keadilan Tuhan. Berjuta bentuknya. Tak
sesempit dugaan atau definisi kita tentang makna adil itu sendiri. Bahkan jika
kehidupan ini dihabiskan hanya untuk mengurai makna adilnya Tuhan pun takkan
cukup waktu.
Satu-satunya sikap terbaik menghadapi berjuta bentuk keadilan Tuhan adalah bersangka baik.
Karena sering kali ketidaktahuan kita terhadap satu hal adalah bentuk kasih
sayang dan perlindungan-Nya dari tahu itu sendiri. Bersangka baik bahwa segala
yang berasal dari-Nya pastilah baik akan membawa kita pada penerimaan. Hanya hati yang ridha atau nerimo yang dapat menggerakkan seluruh indra untuk memberikan sikap terbaik.
Untuk menghadapi setiap kerumitan yang ada, kita bisa memulainya dengan bersangka baik. Lalu hadapi, dan nikmati!
Sering kali pertanyaan-pertanyaan kehidupan
tak bertemu dengan jawaban,
namun berupa perjalanan yang harus ditempuh,
tanpa diberi tahu akan seberapa jauh,
atau berapa peluh yang akan jatuh,
kita tak pernah tahu,
kecuali dengan terus menempuh perjalanan itu.
―Natisa, Crayon Untuk Pelangi Sabarmu, hlm: 78
Natisa,
Bandung, 17 November 2015
No comments :
Post a Comment