Nenek Uka Sukaesih (1914 - 2021)
Nek Uka,
Aku? Bukan sesiapa beliau secara darah daging. Aku mengenalinya sebagai aku si orang asing. Namun cinta dan kedekatannya dengan Allah yang Maha Kasih, menyibakkan tabir dunia. Hari itu, ia memanggilku dengan matanya yang hangat, ia mengatakan bahwa ia mengenali siapa aku. Rasanya hidup seakan berhenti. Entah apa yang bisa kukatakan. Aku hanya terdiam, seperti sedang menyelam, di dalam tatapannya yang penuh pelukan dan sayang.
Hari dimana ia mengenaliku, adalah hari yang paling bersejarah dalam hidupku. Hari yang paling hangat dan membahagiakan. Ketika diri sendiri saja berlaku sebagai orang asing, ia datang dengan hati yang kasih dan memelukku, mengakuiku, mengenaliku, tanpa siapapun yang memberi tahu.
Suatu waktu,
Saat aku berada dalam Goa Safarwadi, goa tempat kumpulnya para wali, aku bersholawat dengan bertawashul kepada Bunda Aisyah. Aku sampaikan salam dan rindu yang bertubi. Aku rindu berada di Raudhah dan berdekatan dengannya. Sekelebat bayangan wanita berkerudung putih terlihat nampak di hadapanku. Duduk, menunduk dan tersenyum.
Mungkin hanya bayangan yang terpantul dari rasa dan pikirku. Mungkin hanya khayalku. Mungkin hanya rindu.
Sepulang dari Goa, kami berjalan kaki menuju rumah Nenek, dengan hati yang masih dipenuhi bayangan wanita berkerudung putih itu.
Ketika tiba di rumah Nenek,
Beliau memanggilku masuk ke dalam kamar. Senyum Nenek yang khas itu memintaku untuk mendekat. Lalu aku menghampirinya, meraih kemudian mencium tangan keriput yang tak pernah berhenti memetik dzikir itu.
Nenek kemudian berbisik, "Ini ada kerudung putih, Nenek dapat dari orang yang baru pulang dari Madinah. Ini buatmu, Neng. Pakai ya.."
Seketika itu juga bayangan di dalam Goa berkelebat lagi semakin nyata. Baru sedetik rasanya aku menganggap ia hanya halusinasi saja, namun sedetik kemudian Nenek seakan menjadi perantara yang meyakinkan bahwa setiap doa dan rindu, pasti dibalas nyata.
Tangannya mengambil kerudung putih yang telah dilipat dan disiapkan di sampingnya. Ya Allah..
Beberapa bulan kemudian, Allah perkenankan aku kembali ke tanah cinta, Madinah Al-Munawwarah. Aku memakai kerudung putih dari Nenek, lalu menuju Raudhah Asy-Syarifah. Melunasi rindu, kepada wanita mulia berkerudung putih..
Kerudung darimu, Nek, sering aku pakai untuk bersholawat bersama teman-teman yang lain. Ia kerudung putih sederhana, tapi megah dengan cintanya.
Nenek, di waktu lain, pernah memanggilku lagi ke kamarnya. Beliau memintaku tidur bersamanya. Aku gugup. Dan malu. Tapi Nenek yang mau. Maka aku beranikan diri. Ku gelar beberapa helai karpet di bawah ranjang tempat tidurnya. Melihat itu, Nenek menegurku dan memintaku untuk tidur bersama di kasurnya. Aku tak kuasa, aku memohon izin untuk tidur di bawahnya saja. Akhirnya Nenek mengizinkan, namun aku harus mau menerima bantal-bantal hangatnya. Kali ini aku tak menolak. Lalu Nenek bertanya, aku biasa bersholawat apa? Aku bilang aku biasa bersholawat dari kitab shalawat Dalail. Nenek ingin aku membaca untuknya. Dengan senang hati aku membaca di samping Nenek yang sedang rebahan karena merasa tidak enak badan seharian. Satu wirid shalawat berjumlah 5 lembar aku baca, dan luarbiasanya Nenek mengikuti bacaanku. MasyaAllah.
Seusainya bershalawat Nenek bilang Nenek suka bacaan yang aku baca, "Tapi panjang ya.. Nenek mah yang pendek-pendek aja. Neng yang bagian panjangnya ya.."
Saat tiba waktu istirahat, mataku sudah berat menahan kantuk, sayup-sayup aku melihat Nenek masih terjaga. Beliau terus merapal banyak doa. Bershalawat dengan lisannya. Dengan matanya. Dengan air matanya. Setiap satu jam sekali aku terbangun, dan masih saja Nenek terjaga duduk merunduk, dalam doanya yang semakin khusyuk. Hingga adzan subuh.
Sungguh malam yang indah. Bisa bersama seorang wanita ahli ibadah. Bahkan dalam usianya yang melebih 1 abad.
Aku suka kalau Nenek sudah bercerita.
Dua minggu yang lalu, ketika katanya Nenek tak lagi bisa diajak ngobrol nyambung, Nenek tetap hangat menyambutku. Kali ini dengan wajah sendu, Nenek bercerita. Akhir-akhir ini Nenek merasa sering sekali didatangi oleh Ayahnya Nenek, Aki Halek. Nenek bilang, beliau masih ada. Masih pulang pergi ke kebun dan masjid. Bahkan Nenek marah ketika orang-orang bilang Aki telah tiada sudah lama. Nenek tidak terima, Nenek yakin bahwa Aki masih ada. Hanya pergi sebentar. Nenek bilang, "Jangan bodohi aku bahwa Aki Halek sudah tiada. Dia masih ada. Jangan gak sopan dengan bilang Aki sudah ga ada. Dia masih ada." Nenek kemudian tergugu menangis. Aku tak pernah melihatmu sesedih itu, Nek. Aku pun tak berani mengatakan kenyataan bahwa Aki Halek memang sudah lama mendahului kami semua. Nenek seyakin itu, pastilah karena Nenek mengetahui dan merasakan apa yang tidak kami -orang-orang biasa- rasakan.
Aku lama termenung mengingat Nenek yang tersedu. Apakah memang sebuah bentuk ketidaksopanan ketika kita mengaggap yang meninggal dunia itu tiada, padahal mereka ada? Apakah sebenarnya arti meninggal? Apakah sebenarnya arti ditinggal? Bagaimanakah merasakan 'ada' yang seperti 'tiada'? Ingin kutanyakan semua itu kepadamu, Nek.
Kau sungguh berhati malaikat.
Di usia senjamu memasuki 1 abad, aku tak merasa mengenalimu terlambat. Semua sudah ada waktunya. Semua hanya berjalan sesuai waktunya. Termasuk hari kemarin hari kepergianmu juga..
Belum sempat kutanyakan semua pertanyaanku, kau telah terlebih dahulu memenuhi panggilan Tuhanmu. Belum sempat kutanyakan, namun kabar kepergianmu seakan kau hadirkan sebagai jawaban.
Nek, kini aku mencicipi apa itu rasanya ditinggalkan.
Kini aku mengenali apa itu meninggalkan.
Kini aku belajar, merasakan kehadiran di tengah ketiadaan.
Kini aku tahu, kenapa kau merasa mereka yang tiada selalu ada, sebab bagimu semuanya senantiasa bersama, seperti juga dirimu dan cintamu, yang selalu ada.
Bahkan kepada aku, seorang asing,
yang kau anggap darah daging.
-
Nati
140221